Rizal De Loesie
Tetiba saja aku lewati kursi biasa kau duduki, ada wangi tubuhmu yang utuh. Berlabuh di serat-serat kainnya mungkin. Wangi itu tak mungkin bisa aku hapus, selalu saja mendera dalam rongga jiwa.
Sesekali tanpa sengaja, aku lewati jalan setapak, di sana pernah kita injaki rerumputnya. Kembali kulihat sandalmu meninggalkan bekas yang terlalu sulit di sapu angin dan embun.
Kini, kunikmati keping malam dengan merajut mimpi-mimpi. Kusesali sesekali, lalu tersenyum lagi. Karena sesungguhnya yang terpapar bukanlah desau angin malam, tetapi layaknya penyair yang dilahirkan rahim kata, menjelma bagai cahaya kunang-kunang. Di kerumunannya kutautkan noktah cahaya selayak dirimu dikeremangan malam.
Syair, ya kupagut kata-kata, kupagut dosa-dosa, kupagut segenap kelam dalam rangka diksi yang tak usai-usai.
Aku telah terbagun dari pagut subuh, dalam panggilan-Nya itu. Keterjagaankah atau tak sedetak pun waktu lelap kugenggam, itu tak lagi masalah.... Karena ada dan tiada, benar dan salah hanyalah rangkai peristiwa yang sebenar hikmah. Dan tiap bulir hikmah adalah berkah..... dan aku hanyalah insan yang belajar tabah....
Bandung, 2019