Pada Pilkada 2017 silam, salah satu janji Calon Walikota Banda Aceh Aminullah Usman adalah akan membuka kembali bioskop di Banda Aceh, kini setelah ia terpilih muncul kembali wacana membuka bioskop di Banda Aceh, tapi anehnya sang Walikota itu ingin studi banding terlebih dahulu ke Arab Saudi, untuk melihat pengelolaan bioskop disana.Â
Wacana tersebut tentu saja menjadi viral dan menjadi isu nasional, yang menjadi pertanyaan, "separah itukah stigma negatif warga Aceh terhadap bioskop?" sehingga wacana pembukaan bioskop pun harus dilakukan studi banding jauh ke negeri orang, dalam hal ini saya yakin, keluarga sang Walikota sudah pernah keluar daerah dan menonton di bioskop, setidaknya tanyakan terlebih dahulu kepada keluarga, apakah ada kesan "bioskop tempat mesum".
Studi banding jauh-jauh ke Arab hanya untuk melihat bioskop adalah suatu tindakan berlebihan dan menghambur-hamburkan uang rakyat. Dari pada jauh-jauh kesana hanya untuk menghindari warga berbuat mesum, lebih baik warganya di didik agar memiliki iman dan aklak yang baik, sehingga tidak melulu soal "Selangkangan dan Mesum".
Wacana yang dimunculkan untuk studi banding ke Arab itupun telah pupus diterjang waktu, bioskop juga tak kunjung hadir dipusat ibukota Aceh ini, namun soal masih adanya larangan terhadap hadirnya bioskop di Aceh masih saja menjadi perhatian masyarakat nasional, mungkin mereka masih menertawakan "Lucu Aceh ini, bioskop saja dilarang", apalagi kala Arab yang terkenal sebagai awalnya peradaban Islam memberikan kehadiran bioskop sebagai sarana hiburan diantara banyak sarana hiburan lainnya yang berdiri secara resmi di negara itu.
Namun menurut catatan sejarah, Aceh pernah menjadi daerah jaya terhadap sarana-sarana hiburan, seperti daerah Langsa, Bireun dan Banda Aceh, seperti Banda Aceh misalnya yang pernah memiliki bioskop berkisar 9 tempat sejak tahun 1930-an sampai tahun 2004, jumlah tersebut tentu sangat fantastis di ibukota Provinsi yang memiliki luas sangat sempit itu.