Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Dilema RB Leipzig

27 Februari 2017   13:45 Diperbarui: 27 Februari 2017   13:58 582
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bola. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pada era sepakbola modern, terutama di liga-liga papan atas Eropa, tidak banyak klub, yang mampu membuat lesatan prestasi cepat, segera setelah klub itu didirikan. RB Leipzig (Jerman), menjadi satu, dari sedikit contoh klub, yang mampu melakukannya. RB Leipzig mulai berdiri pada tahun 2009, dan, pada tahun yang sama, mereka masih berkompetisi di Divisi Lima Liga Jerman. Setelahnya, mereka mampu naik divisi dengan cepat, hingga akhirnya promosi ke Budesliga 1 Jerman pada akhir musim 2015/2016.

Meski sukses mencapai kasta tertinggi Liga Jerman, klub ini tidak lepas dari suara miring publik, yang muncul karena kuatnya dukungan finansial dari Perusahaan Minuman Berenergi Red Bull, selaku pemilik klub. Klub ini dianggap berpola pikir instan, dan menjadi perseden buruk, untuk sepakbola Jerman. Karena, di Jerman, sebuah klub dianggap sebagai sebuah institusi olahraga, sekaligus institusi sosial. Memang, ada aspek bisnis yang juga berjalan di klub. Tapi, aspek sosial, dan bisnis di klub, adalah hal yang tak bisa disatukan. Meski dapat berjalan bersama.

Di sisi lain, tak bisa dipungkiri, bahwa pendirian Si Banteng Merah, salah satunya didasari oleh misi bisnis Red Bull. RB Leipzig, dijadikan sebagai media promosi, sekaligus representasi Red Bull di Jerman, seperti halnya RB Salzburg di Liga Austria. Bedanya, RB Salzburg tidak memulai dari divisi terbawah, dan sudah mendominasi Liga Austria.

Sekilas, fenomena RB Leipzig ini, terlihat sebagai proyek instan. Tapi, faktanya tidak demikian. RB Leipzig, dibangun berdasarkan proyek jangka panjang yang terencana dengan rapi. Mereka menerapkan kebijakan transfer yang jelas, hanya merekrut pemain berusia 17-24 tahun. Kebijakan ini, sejalan dengan identitas yang ingin dibentuk klub; klub yang bermain cepat, atraktif, dan fokus membina pemain muda. Di area teknis, mereka juga merekrut Ralf Ragnick (direktur teknik), dan Ralph Hassenhuettl (pelatih), yang sudah cukup berpengalaman, dan sejalan dengan kebijakan klub.

Hasilnya, RB Leipzig mampu membuat kejutan, dengan menempel ketat Bayern Munich, di peringkat 2 Bundesliga. Hingga pekan ke 22, Leipzig mampu meraih 48 poin, tertinggal 5 poin dari Bayern Munich (53), yang duduk di puncak klasemen sementara Bundesliga. Raihan ini diperoleh, setelah kedua tim sama-sama menang di pekan ke 22; Bayern membantai Hamburg 8-0, sedangkan Leipzig mengalahkan FC Koln 3-1.

Jika performa mereka dapat konsisten, bukan tak mungkin mereka akan lolos ke Liga Champions Eropa musim depan. Tapi, masalah muncul, karena adanya regulasi UEFA. Terutama jika RB Salzburg juga lolos ke Liga Champions Eropa musim depan. Karena, aturan dari UEFA pasal 5 melarang dua klub yang dimiliki/dikelola oleh satu sponsor, organisasi, atau orang yang sama terlibat di satu kompetisi yang sama di Eropa. Dalam hal ini, RB Salzburg dan RB Leipzig sama-sama dimiliki, dan dikelola Red Bull. Sehingga, muncul dilema, klub mana yang harus dikorbankan, untuk tidak tampil di Eropa.

Dalam konteks kompetisi, pasal 5 regulasi UEFA ini, bertujuan mencegah potensi pengaturan skor, dan praktek kartel dalam sepakbola. Tapi, pada saat yang sama, jika sudah terlanjur ada klub, yang terjebak dalam situasi ini, perlu ada tindakan.

Agaknya, Red Bull bisa meniru langkah yang diterapkan Roman Abramovich, pemilik Chelsea (Inggris), dan CSKA Moskwa (Rusia). Ketika itu, tak lama setelah membeli Chelsea tahun 2003, Abramovich mem-'balik nama'-kan kepemilikan CSKA Moskwa, kepada Sibneft, perusahaan minyak miliknya. Sehingga, meski sebetulnya sama-sama dimiliki Abramovich, kedua klub ini tidak terkena larangan tampil, jika sama-sama lolos, ke Liga Champions. Karena, keduanya dimiliki/dikelola dua pihak berbeda.

Apa yang sedang dialami RB Leipzig, dan RB Salzburg, mencerminkan; aspek bisnis memang adalah aspek krusial, dalam era industrialisasi sepakbola seperti sekarang. Tapi, aspek bisnis tersebut, harus berjalan seimbang, dengan aspek-aspek lainnya, termasuk aspek olahraga. Supaya, tidak merugikan pihak manapun, yang terlibat di dalamnya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun