Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Hukum Artikel Utama

Ini Dampak Jika Omnibus Law Ciker Disahkan

18 Februari 2020   14:26 Diperbarui: 20 Februari 2020   04:26 1736
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menkumham Yasonna Laoly. Foto: KOMPAS.com/Tsarina Maharani

Pasal 1 ayat 5 UU Nomor 15 Tahun 2019 yang merupakan perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan jelas menyebutkan bahwa "Peraturan Pemerintah adalah Peraturan Perundangundangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan Undang- Undan g sebagaimana mestinya".

Sementara sebagaimana bunyi pasal 1 ayat 3 UU Nomor 15/2019 "UU adalah Peraturan Perundang- undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden".

Mengapa harus dihapus sebelum dibawa ke DPR? Sebab jika sampai dibawa ke DPR dan menjadi perdebatan hingga voting, dipastikan kubu pemerintah akan menang.

Seperti diketahui, saat ini kubu pemerintah menguasai lebih dari 70 persen kursi DPR. Bukan mustahil akan ada deal-deal politik untuk mengegolkan UU Ciker tanpa revisi.

Jika Omnibus Law Ciker disahkan dan diberlakukan, secara politik dampaknya sangat berbahaya. Bukan hanya mengembalikan DPR hanya sebagai tukang stempel kebijakan pemerintah seperti di masa Orde Baru, namun juga memberi jalan lahirnya pemerintahan otoriter.

Kedua, pemilik modal akan menjadi "tuan" yang mengendalikan kebijakan pemerintah. Jika di masa Orde Baru pembangunan menjadi panglima sehingga rakyat tidak boleh bersuara jika menyangkut pembangunan, maka dengan UU Ciker sangat mungkin tidak ada yang boleh mengkritik pengusaha atau investor yang mebayar gaji murah atau bahkan merusak lingkungan.

Ketiga, kebebasan pers akan tinggal kenangan karena benar-benar telah menjadi komoditi atau industri di mana tolok ukurnya bukan lagi menjadi pilar demokrasi tetapi meraup keuntungan. Meski tidak menafikan hal itu sudah terjadi selama ini, tetapi masih ada sedikit rambu-rambu di dalam UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Di dalam UU Nomor 40/1999  pemerintah tidak memiliki otoritas untuk membredel perusahaan pers. Sedang di UU Ciker, pemerintah dapat menjatuhkan sanksi administratif sebagaimana bunyi pasal 18 ayat 4, "Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis, besaran denda, tata cara, dan mekanisme pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat 3 diatur dengan Peraturan Pemerintah".

Meski untuk sampai kepada sanksi administratif cukup panjang, tetapi pengalaman menunjukkan, tangan kekuasaan dengan mudah "menciptakan" hal-hal yang akhirnya dapat dijadikan syarat untuk menjatuhkan sanksi tersebut.

Itu baru beberapa pasal yang mencuat dan menjadi polemik saat ini. Sangat mungkin masih banyak pasal yang tidak sesuai dengan semangat demokrasi karena didorong keinginan untuk memberikan karpet merah kepada pemilik modal.

Kita berharap, pemerintah tidak terburu-buru membawa draft Omnibus Law Ciker ke DPR. Kita menuntut transpransi dan pelibatan masyarakat secara luas sebagaimana diamanatkan UU Nomor 15/2019 bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik adalah keterbukaan.

Salam @yb

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun