Mohon tunggu...
Yesi Hendriani Supartoyo
Yesi Hendriani Supartoyo Mohon Tunggu... Penulis - Peneliti

Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengembalikan Romantisme Kejayaan Pasar Rakyat

22 Januari 2017   15:16 Diperbarui: 22 Januari 2017   15:34 625
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dok: galeri-nasional.or.id/collections/634-pasar

Saya sejenak memandangi lukisan berjudul “Pasar” hasil karya Suromo pada tahun 1957. Dijelaskan bahwa karya lukisan ini mengungkapkan tentang keramaian sekaligus suasana dan ciri pasar pada tahun 1950-an. Lukisan yang bernilai karya seni tinggi ini pun menggambarkan kombinasi tradisional, kesederhanaaan dengan keramaian sebagai penanda perubahan zaman. Tampak kontras memang tapi menjadi mudah dimengerti oleh orang awam sekalipun.

Memperbincangkan tentang pasar maka konon pernah ada seorang Sosiolog Belanda menuliskan bahwa sebelum tahun 1600 beberapa kota di Jawa terdiri atas beberapa zona yaitu: keraton, alun-alun dan pasar. Ya, pasar! Letaknya di dekat alun-alun dan berdampingan dengan rumah para bangsawan. Hal ini jelas membuktikan bahwasanya pasar rakyat telah memberikan gambaran sejarah perjalanan perkembangan ekonomi di suatu kebudayaan. Lebih jelasnya pasar ibarat ruang publik yang penting dalam perkembangan suatu wilayah.

Bila kita berkenan sedikit mengenang awal mula pembentukan negara kolonial di tanah air yaitu sekitar tahun 1596 ketika proses panjang kolonisasi baru saja akan dimulai saat pertama kalinya kapal Belanda datang berlabuh di Banten tepatnya di pantai selatan Jawa. Maka kita akan mengingat sebuah perusahaan swasta yang disebut Vereenigde Oost – indische Compagnie (VOC) yang berhasil menguasai bagian terpenting dari kepulauan Nusantara dan dalam proses selanjutnya berupaya membangun sebuah kuasi – negara kolonial.

Seiring berjalannya waktu perusahaan swasta VOC ini membutuhkan sebuah pasar pusat untuk memonitor perdagangannya di wilayah Asia Tenggara, maka Batavia (sekarang Jakarta) dipilih pada tahun 1619 untuk memainkan peran tersebut. Batavia lantas menjadi pasar pusat dan memegang kendali perdagangan. Hal ini semakin menegaskan sejarah panjang pasar di tanah air Indonesia yang seakan melekat erat di kehidupan tiap penduduknya.

Pasar secara harfiah mengandung arti tempat bertemunya penjual dan pembeli. Tempat dimana transaksi jual-beli dan pertukaran uang dengan barang terjadi. Sayang sekali ketika peranan pasar terutamanya pasar rakyat seakan perlahan tergerus zaman seiring berubahnya selera masyarakat seperti yang banyak terjadi belakangan ini. Dede Kosasih, selaku pemerhati budaya sekaligus Dosen Pengajar di UPI Bandung dalam tulisannya yang berjudul “Pasar Tradisional: Ruang Publik yang Makin Terpinggirkan” seakan menjelaskan bahwasanya pasar rakyat yang telah berjaya semenjak dulu kala, saat ini seolah berada di ujung tanduk.

Bagaimana tidak, dapat kita saksikan bersama realita pasar rakyat yang semakin kewalahan menghadapi persaingan dengan sesama ritel atau bahkan pasar modern. Banyak terjadi gejala mulai ditinggalkannya pasar rakyat oleh para konsumen dikarenakan berubahnya pola hidup masyarakat. Saya pun harus mengakui terkadang enggan mengunjung pasar rakyat dengan alasan kepraktisan. Lantas minimarket yang mudah dijangkau, serta faktor keamanan, kenyamanan dan kebersihan menjadi alternatif pilihan.

Nah, melihat realita yang terjadi di lapang maka disinilah letak urgensi perlu dikukuhkannya Hari Pasar Rakyat Nasional. Bukan hanya menjadi sekedar jargon atau seremonial belaka melainkan ada misi besar dibelakangnya yang memang perlu diwujudkan guna mengapresiasi dan menyelamatkan masa depan pasar rakyat. Minimal membuat pasar rakyat mampu menunjukkan keberadaan dan eksistensinya.


Urgensi tentunya perlu ditunjang oleh beberapa alasan masuk akal yang melatarbelakanginya. Selain atas dasar permasalahan yang ada, tentu ada semacam faktor eksternal maupun internal yang dapat menjadi parameter bagi pasar rakyat untuk melakukan pembenahan agar mampu terlibat dalam kondisi persaingan. Hal ini guna meyakinkan bahwasanya pasar rakyat akan benar-benar mampu berkompetisi didalamnya.

Di satu sisi, tidak dapat dipungkiri bahwa pasar rakyat diyakini telah menyatu dan memiliki tempat penting dalam kehidupan bermasyarakat. Hal ini dapat menjadi peluang kekuatan pasar rakyat untuk bersaing. Pasar rakyat kerap menjadi wadah interaksi sosial dan representasi nilai tradisional yang ditunjukkan oleh perilaku para aktor didalamnya. Kita percaya bahwa suasana pasar yang terjalin bukan sekedar hubungan formal jual beli melainkan saling bertegur sapa dan bercengkerama. Oleh karenanya bagi sebagian masyarakat berbelanja ke pasar rakyat yang ramai tersebut seperti telah menjadi kebutuhan hidup.

Ibaratnya, berada di pasar rakyat semacam memberikan kesenangan tersendiri karena dapat bertemu dan berkomunikasi dengan banyak orang. Semisal, salah satunya dalam proses kegiatan tawar menawar. Kegiatan di pasar rakyat lantas memperlihatkan keterkaitan antara kebudayaan dan ekonomi. Dede Kosasih bahkan menegaskan bahwa “Pasar itu bukan tempat suci tetapi solidaritas dan kepercayaan terbangun disini”. Saya mengamini pernyataan beliau tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun