Mohon tunggu...
Farid Muhammad
Farid Muhammad Mohon Tunggu... penikmat kopi dan buku -

read, share, happy...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sukarnois dan Sakralitas 1 Juni 1945

1 Juni 2017   13:57 Diperbarui: 1 Juni 2017   14:05 437
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Bagi saya, "Dia tidak dikandung oleh hanya seorang. Tetapi oleh orang-orang. Diperbincangkan oleh mulut-mulut. Lalu dilahirkan bersama-sama. Dialah yang kita kenal bernama 'Pancasila'...."

Setelah Indonesia merdeka, pekerjaan rumah besar yang mendesak adalah merumuskan fundamen Negara yang berdaulat. Adalah Dr. Radjiman Wedyodiningrat sebagai ketua BPUPKI yang bertanya kritis; "Indonesia merdeka yang akan kita dirikan nanti dasarnya apa?"

Mr. Mohammad Yamin yang berdiri pertama lalu berkata, “Orang Timur pulang kepada kebudayaan timur”. Maksud Yamin, bahwa rakyat Indonesia mestilah meng'asal'kan dasar Negara dari Indonesia, bukan yang lain. Dia lalu mengusulkan lima asas; Peri Kebangsaan, Peri Kemanusiaan, Peri Ketuhanan, Peri Kerakyatan, dan Kesejahteraan Sosial. Hari itu 29 Mei 1945.

Dua hari setelah Moh.Yamin menyampaikan usulannya itu, Mr.Soepomo mengajukan gagasannya yang juga terdiri dari 5 butir, yaitu; Persatuan, Kekeluargaan, Keseimbangan Lahir-Batin, Musyawarah, dan Keadilan Rakyat. Tercatat pada hari itu tanggal 31 Mei 1945.

Barulah pada 1 Juni 1945, Bung Karno mendapat giliran mengusulkan gagasannya yang berbentuk philosophische grondslag atau sebuah filsafat bernegara. Bung Karno “berfilsafat” dengan cara “menggali”nya dari dasar bumi Indonesia. Seperti diakui dalam salah satu pidatonya; “Malam itu aku menggali….Menggali dalam ingatanku, menggali dalam ciptaku, menggali dalam hayalku, apa yang terpendam di bumi Indonesia ini, agar hasil dari penggalian itu dapat dipakainya sebagai dasar Negara Indonesia yang merdeka …”

Penggalian itu lalu menghasilkan apa yang dia sebut “pancasila”. Terdiri dari 5 butir sila, yaitu; kebangsaan, internasionalisme, demokrasi, keadilan social, dan ketuhanan yang maha esa. Di muka persidangan, sang proklamator bukan saja menunjukkan kemahiran berfilsafat, tapi juga keberhasilannya membumikan tiap-tiap butirnya dengan argumentasi yang mengagumkan. Memukau para hadirin persidangan yang bertepuk tangan riuh.

Sampai disini, cerita tentang “lima butir sila” berakhir dalam segmen pertama.  

Lalu dibentuklah panitia kecil dibawah pimpinan Soekarno dengan beranggotakan; Moh.Yamin, Moh. Hatta A.Maramis, M.Sutardjo, O.Iskandardinata, Ki Bagoes Hadikoesoemo, dan KH. Wahid Hasyim. Diskusi berjalan alot, perdebatan diseputar dasar Negara dan bentuknya. Di akhir pertemuan, Bung Karno berinisiatif membentuk lagi panitia kecil yang beranggotakan Sembilan orang, yaitu, Soekarno, Hatta, Yamin, Maramis, A.Soebardjo, Wahid Hasyim, Kahar Moezakir, Agus Salim, dan R.Abikusno. Panitia Sembilan akhirnya bermufakat tentang suatu rumusan pembukaan bagi Undang-Undang Dasar yang namanya saat itu bermacam-macam; oleh Soekarno diberi nama “mukaddimah”, Sukiman menyebutnya “gentlemens agreement”, sementara Moh.Yamin memilih “piagam Jakarta”. 

14 Juli 1945 rumusan mukadimah disepakati dengan nama “Jakarta Charter” atau piagam Jakarta. Berisikan; (1) Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, (2) kemanusiaan yang adil dan beradab, (3) persatuan Indonesia, (4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, (5) Keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia. 

Tapi, Piagam Jakarta mendapat “protes keras” dari saudara-saudara di Timur Indonesia. Ada kekhawatiran, bahwa “tujuh kata” dalam sila pertama akan berpotensi mengarahkan Indonesia kepada Negara Islam. Terjadi debat panjang. Soekarno yang sejak awal memperjuangkan agar BPUPKI menerima isi piagam Jakarta menarik diri dari perdebatan itu. Bung Hatta lah yang menyampaikan alasan kuat, bahwa kepentingan merangkul semua komponen bangsa adalah yang utama. Semua tokoh mengamini. Tujuh kata pun dihapus. Dan menyisakan 5 sila seperti saat ini.

Diskursus atas pancasila dan undang-undang dasar Negara terus berlanjut. Dalam rapat-rapat berikutnya, Bung Karno yang mencoba menjelaskan bahwa Undang-Undang Dasar yang tersusun tidak perlu mencantumkan hak-hak azasi manusia lalu dikritik keras oleh Bung Hatta. Bagi Hatta, pikiran Bung Karno memberi peluang hadirnya kekuasaan tak terbatas kepada Negara sebagai Negara kekuasaan (machtsstaat).  Kritik Hatta sekaligus mengisyaratkan perbedaan tajam keduanya, yang terbukti di kemudian hari.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun