Mohon tunggu...
Yakobus Sila
Yakobus Sila Mohon Tunggu... Human Resources - Pekerja Mandiri

Penulis Buku "Superioritas Hukum VS Moralitas Aparat Penegak Hukum" dan Buku "Hermeneutika Bahasa Menurut Hans Georg-Gadamar. Buku bisa dipesan lewat WA: 082153844382. Terima kasih

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Guru dan Wajah Pendidikan di Indonesia

14 Maret 2019   13:15 Diperbarui: 14 Maret 2019   13:51 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

*YAKOBUS SILA

Pendidikan menjadi kata kunci dalam proses pencerdasan suatu bangsa. Kecerdasan lahir dari orang-orang yang pernah merasakan pendidikan formal, walaupun pada zaman dahulu orang-orang (pintar) mampu belajar secara otodidak. Dalam dunia pendidikan ada berbagai komponen yang turut membentuk kualitas sebuah lembaga pendidikan. Salah satu komponen penting adalah peran para guru. Guru menjadi sosok penting, yang memungkinkan adanya kreatifitas dalam dunia pendidikan sebelum daya kreatifitas itu ditularkan kepada para peserta didik.

Beberapa waktu yang lalu, dan mungkin sistem pengujian kompetensi akan berlaku selamanya, pemerintah secara serentak menguji kinerja para guru dengan uji kompetensi guru (UKG) sebelum mendapat 'pangkat' sertifikasi. Uji kompetensi menjadi kesempatan bagi para guru untuk mengingat kembali dan menguji pengetahuan, sejauh mana wawasan ilmu pengetahuan mereka sebagai pendidik. 

Angka kelulusan uji kompetensi guru menunjukkan suatu situasi yang memprihatinkan. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mengungkap hasil UKG yang tidak memuaskan, dengan nilai 44,55 di bawah rata-rata nasional. Yang paling memprihatinkan, skor paling rendah ditemukan di UKG bahasa Indonesia. Padahal bahasa Indonesia adalah bahasa resmi bangsa Indonesia.

Uji Kompetensi Guru memang bukan menjadi standard yang dijadikan tolok ukur kemampuan guru di Indonesia. Namun, setidaknya hasil tes tersebut dapat dijadikan bahan evaluasi terhadap kemampuan dan kapasitas guru-guru sekarang. Apa yang bisa diharapkan kalau guru sendiri kurang kompeten sebagai pendidik. Mental 'penguasa ilmu' mesti segera dikikis dari persepsi para guru. 

Menjadi guru bukan berarti perkara belajar sudah selesai. Guru bukan pemilik ilmu pengetahuan dan kebenaran. Kemampuan intelektual harus direvisi terus-menerus sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Karena itu, guru mestinya tidak merasa mapan dengan pengetahuan. Ada usaha terus- menerus, melengkapi diri dengan pengetahuan yang luas dan memadai.

Ada pengalaman yang menunjukkan bahwa banyak guru, enggan membaca buku, majalah atau koran karena merasa mapan dengan pengetahuan yang ada, atau ada juga guru merasa bosan dengan membaca dan menulis. Bahkan banyak guru yang tidak sanggup menulis dalam jurnal, majalah atau media massa (baca: Koran-koran harian). 

Padahal membaca dan menulis secara kontinyu akan memampukan para guru menjadi lebih kritis terhadap setiap situasi sosial, wawasan berpikirnya menjadi lebih luas, dan berpartisipasi dalam upaya mencerahkan masyarakat, tentunya lewat dunia pendidikan. Dalam lembaga pendidikan, guru adalah fasilitator dan pembimbing yang memungkinkan para murid menemukan kebenaran ilmu pengetahuan. 

Kalau guru sendiri kurang memadai memahami bidang yang mesti dia bimbing, bagaimana dengan nasib para murid? Karena itu, kompetensi seorang guru menjadi syarat mutlak,karena turut mempengaruhi peserta didik yang menerima share pengetahuan dari para guru.

Bukti bahwa guru juga belajar sekurang-kurangnya tampak ketika mereka mengerjakan soal-soal dalam Uji Kompetensi Guru. Ketidakmampuan mengerjakan soal-soal Uji Kompetensi, paling kurang menjadi bukti bahwa guru-guru kurang belajar, kurang mendalami ilmu pengetahuan dan hanya merasa mapan dan puas dengan pengetahuan yang ada. Kemapanan semu seperti ini bisa menjadi virus dalam dunia pendidikan, karena dunia pendidikan mengandalkan kehadiran sosok guru yang kompeten. 

Dengan argumen ini, kita bukan mengabaikan kemampuan dan kreatifitas seorang peserta didik yang mampu belajar sendiri. Namun, hanya sedikit murid yang memiliki kompetensi seperti ini. Tidak semua pelajar yang memiliki kemampuan akademis-bawaan yang mumpuni. Karena itu, dia membutuhkan bimbingan seorang guru, bagai bidan, untuk melahirkan ide-ide yang brilian dan mencerahkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun