Mohon tunggu...
Hendry Julian Noor
Hendry Julian Noor Mohon Tunggu... -

Concern bidang hukum, sosial, olahraga..

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Fenomena Pidana dalam Dunia Kenotariatan

4 April 2011   03:08 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:09 2469
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa waktu belakangan ini, dunia hukum Indonesia semakin mendapat sorotan tajam dari masyarakat, terutama berkaitan dengan semakin banyaknya para penegak hukum yang disorot akibat dari keterkaitannya dalam suatu kasus yang sedang ditanganinya, semisal yang menimpa pada Instansi Kejaksaan, profesi advokat, dan profesi Notaris.

Berkaitan dengan profesi Notaris, belakangan ini profesi (sebenarnya profesi ini berkedudukan cukup prestisius di mata masyarakat) seolah (bila boleh dikatakan) mulai ditarik keluar dari bidangnya (hukum perdata-red) ke dalam bidang lain, semisal dalam hukum pidana. Ini dikaitkan dengan semakin banyak Notaris yang minimal terseret dalam BAP (Berita Acara Pemeriksaan) suatu kasus pidana, entah itu sebagai tersangka, saksi, ataupun aktanya yang digunakan sebagai suatu alat bukti. Mengapa hal ini bisa terjadi? Bagaimana seharusnya?

Notaris dan Asasnya

Dalam menjalankan profesi jabatan Notaris, mereka (Notaris-red) berpayung hukum pada Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Dalam UU tersebut telah secara jelas dinyatakan bahwa Notaris adalah Pejabat Umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lain sebagaimana diatur oleh Undang-Undang. Dapat diartikan bahwa Notaris merupakan Pejabat Pemerintah (walaupun tidak diberi gaji oleh pemerintah) yang merupakan kepanjangan tangan untuk melaksanakan sebagian kewenangan pemerintah, ini dapat dibuktikan dengan penggunaan lambang Negara pada cap Notaris yang berlambang Burung Garuda. Karena tugasnya tersebut yang merupakan salah satu tugas pemerintah dan Negara, maka hasil pekerjaannya tersebut mempunyai akibat hukum, notaris dibebani sebagian kekuasaan Negara dan memberikan pada aktanya kekuatan otentik dan eksekutorial[1]

Secara teori, dalam menjalankan tugasnya, Notaris harus berpegang teguh pada asas Tabellionis Officium Fideliter Exercebo yang berarti bahwa Notaris itu harus bekerja secara tradisional. Artinya bahwa semaju apapun zaman itu, secanggih apapun alat elektronik, apa yang dilakukan oleh Notaris dalam mencari kebenaran formal haruslah tetap sama dengan yang sudah ditetapkan. Hal itu seperti dapat dikatakan bahwa hal tersebut sudah merupakan Standar Operasional Prosedur (SOP) yang harus dilaksanakan oleh Profesi Notaris.

Hal ini sesuai dengan karakter yuridis dari notaris dan akta notaris lahir dari tiga yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung, yaitu: Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia nomor 702 K/Sip/1973, tanggal 5 September 1973; Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia nomor 3199 K/Pdt/1992, tanggal 27 Oktober 1994; dan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia nomor 1140 K/Pdt/1996, tanggal 30 juni 1998.

Berdasarkan yuriprudensi tersebut, maka karakter yuridis notaris dan akta notaris itu adalah[2]: Pertama, pembatalan akta notaris oleh hakim tidak dapat dibenarkan, karena akta tersebut merupakan kehendak para penghadap. Kedua, bahwa fungsi notaris hanya mencatatkan keinginan penghadap yang dikemukakan di hadapan notaris. Ketiga, notaris tidak memiliki kewajiban materiil atas hal-hal yang dikemukakan di hadapan notaris. Keempat, akta notaris mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna bagi para pihak, ahli warisnya dan siapa saja yang mendapat hak dari akta tersebut. Kelima, tiap akta notaris (atau satu akta notaris) hanya memuat satu tindakan atau perbuatan hukum saja. Jika satu akta notaris memuat lebih dari satu perbuatan hukum, maka akta tersebut tidak mempunyai kekuatan title eksekutorial dan tidak sah.

Pemidanaan Notaris

Berdasar pada karakter yuridis tersebut, telah jelas bahwa Notaris hanyalah bertanggung jawab atas kebenaran formal atas akta yang dibuatnya, bukan kebenaran materiil. Sedangkan syarat untuk dipidananya Notaris tersebut setidaknya ada 3 hal yang harus dipenuhi[3], Pertama, ada tindakan hukum dari notaris terhadap aspek formal akta yang sengaja penuh kesadaran dan keinsyafan serta direncanakan, bahwa akta yang dibuat di hadapan notaris atau oleh notaris bersama-bersama untuk dijadikan dasar untuk melakukan suatu tindak pidana.

Kedua, ada tindakan hukum dari notaris dalam membuat akta di hadapan atau oleh notaris yang jika diukur berdasarkan UUJN tidak sesuai dengan UUJN. Ketiga, tindakan notaris tersebut tidak sesuai menurut instansi yang berwenang untuk menilai tindakan suatu notaris, dalam hal ini Majelis Pengawas Notaris.

Das Sollen Notaris

Pada dasarnya, apabila secara formal apa yang dilakukan oleh Notaris telah sesuai dengan SOP-nya, seharusnya Notaris telah sangat kuat kedudukan hukumnya, dalam artian telah memenuhi syarat kebenaran formal yang menjadi tanggung jawabnya. Namun, pada prakteknya, hal ini tidak sesuai dengan das sollenn-nya. Cukup banyak pada kenyataannya Notaris tidak melakukan SOP-nya dengan baik, atau terkadang masih melakukan beberapa kesalahan yang akibatnya cukup merugikan bagi kliennya ataupun Notaris tersebut. Pada akhirnya hal itu dapat menyeret Notaris dalam suatu masalah hukum karena ketidakhati-hatiannya, baik yang disengaja maupun tidak disengaja.

Pada dasarnya potensi untuk melakukan suatu tindak pidana itu ada pada setiap orang, namun bagi profesi seperti Notaris misalnya, berdasar pada hal-hal yang telah tersebut di atas, potensi itu tergantung pada profesionalismenya dalam bekerja dan kualitas manusianya/diri pribadi itu sendiri. Perlu diingat bahwa Notaris juga merupakan profesi hukum yang sangat vital kedudukan dan perannya dalam pembangunan hukum di Indonesia.

Hal ini dilakukan karena notaris bukan hanya profesi yang menggeluti masalah-masalah teknis hukum semata, tapi juga turut berpartisipasi aktif dalam pembangunan hukum pada umumnya, dan hukum nasional pada khususnya. Notaris harus selalu mengikuti perkembangan hukum nasional, yang pada akhirnya notaris mampu melaksanakan profesinya secara proporsional[4].

[1]Suhrawardi K. Lubis, 2006, Etika Profesi Hukum, Cetakan keenam, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 35.

[2] Habib Adjie, “Aktualisasi Jabatan Notaris Pasca Lima Tahun Berlakunya Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN)”, disampaikan dalam Kuliah Umum Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum UGM, Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta, 19 Oktober 2009, hlm. 8.

[3]Habib Adjie, 2008, Sanksi Perdata & Sanksi Administratif Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik, Cetakan Pertama, PT. Refika Aditama, Bandung, hlm. 124-125.

[4] Suhrawardi K. Lubis, Op. Cit., hlm. 35

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun