Mohon tunggu...
Acet Asrival
Acet Asrival Mohon Tunggu... -

Sepucuk surat lahir dari hati, enggan untuk berdusta. Mewakili segenap rasa, dan mengenang semua kisah. Kisah bersama ibu di desa. Sebuah surat, terungkap kata hati. Agar kerinduan mengalir dalam sanubari. Sebuah surat perantara rasa, antara aku dan ibunda. Terimalah sepucuk surat ini, sebagai kealfaan diri yang luput dari bayanganmu.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kepastian Cinta

20 Februari 2014   00:52 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:39 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

KEPASTIAN CINTA

Acet Asrival

May. Sepertinya cinta kita tak berujung baik. Cinta yang kita dekap perlahan merenggang. Aku tak tahu sebab apa aku mulai meragukan cinta. Padahal, dalam hubungan yang kita bina, sampai detik ini tidak ada masalah. Kita sangat hati-hati dalam menjalani hubungan itu. Kau tak pernah menyakitiku dengan ucapan dan perbuatanmu. Begitu juga aku, aku sangat memahami dirimu.

May. Maaf. Sepertinya cinta kita sudah tak bisa kita lanjutkan lagi. Cinta itu semakin jauh dari realita kehidupan yang aku jalani saat ini. Sebab, mulai hari esok, aku akan meninggalkan kampus ini. Meninggalkan halaman kampus tempat kita berbagi cerita, meninggalkan teman-teman, dan meninggalkan kamu. Kalaulah boleh aku meminta, tentu aku tidak ingin meninggalkan kenangan padamu. Aku lebih memilih di kampus ini, bersamamu menjalani hari-hari dan mewujudkan cita-cita kita. Tetapi apalah dayaku, May. Aku terpaksa meninggalkan semuanya. Aku harus kembali ke kampung halaman. Kampung halaman memintaku untuk bermain hujan, mengajak anak-anak melepas perahu batang pisang di sungai. Menemani anak-anak di desaku untuk sekadar berbagi cerita pada mereka akan kehidupan di kota ini. Tentu mereka merindukan ceritaku. Sebab, kota tempat kita belajar ini sangat masyhur di desa-desa. Anak-anak di desa seringkali mengimpikan untuk berlibur di kota ini. Mengunjungi pantai Muara, pantai Air Manis-tempat batu Malin Kundang itu, Lubuk Minturun, juga jembatan Siti Nurbaya tempat orang-orang melepas mata memandang kapal-kapal berlayar. Kalaulah ada satu-dua orang saja anak-anak di desa sempat berlibur ke kota ini, mereka sangat bahagia sekali, tak habis-habisnya cerita yang mereka sampaikan kepada teman-teman di sekolah. Terkadang selama semusim, mereka akan sangat senang bercerita tentang indahnya kota ini.

Tentunya bagi kita kota ini melebihi keindahan yang dirasakan anak-anak itu. Kota ini adalah tempat bertemunya hati kita. Kota ini menyatukan hati kita, hingga kita memulai sebuah hubungan baik, dan saling mencintai. Kita tidak akan bisa melupakan kenangan manis di kota ini. Tetapi, sekali lagi kukatakan padamu, aku terpaksa pulang ke desa. Ibuku sedang sakit keras. Tiada lagi mampu untuk pergi ke kebun. Ibu yang kini menginjak usia tua, sudah tak berdaya lagi bila harus bekerja di kebun karet peninggalan ayah. Aku harus pulang, menemani Ibu, menggantikan Ibu bekerja di kebun untuk menyekolahkan dua orang adikku yang masih duduk di bangku sekolah dasar. Kalaulah aku harus mengorbankan cita-citaku demi keluarga, insyaallah aku ikhlas. Begitulah adat di desa kami, anak tertua akan siap menanggung beban kehidupan keluarga bila orangtua sudah tak mampu bekerja. Apalagi aku anak laki-laki, sudah sepatutnya aku mengambil alih kewajiban itu.

May. Sepertinya cinta kita tak ‘kan bertahan lama. Cinta akan terasa ada ketika kita selalu bersama. Tertawa ria setiapkali tatap muka. Cinta akan bermakna bila kita saling ada menemani. Karena cinta akan tetap tumbuh bila diiringi dengan kebersamaan. Bila ragaku ini tiada lagi di sampingmu, maka cinta itu tiada lagi akan terasa indah. Betulkah begitu, May? Aku ingin kau mengiyakannya. Sebab, bila kau berkilah dan mengatakan kalau kau akan tetap setia, hatiku akan sangat sedih, begitu tersiksa rasanya diriku, May.

Cinta itu seumpama tumbuhan, May. Tumbuhan itu akan tumbuh bila disirami oleh tuannya. Disirami pagi dan petang. Dipupuk dengan kasih-sayang. Maka tumbuhan itu akan tumbuh, mekar, lalu berputik, berbuah, dan bisa dinikmati suatu saat kelak. Begitu juga dengan cinta, May. Bila cinta tak lagi saling ada, sudah terpisah secara raga, meski hati tiada akan melupakannya, kita yakin cinta itu akan layu, bermuram durja, merana sepanjang hari, lalu bisa dipastikan cinta itu akan hilang secara perlahan.

Aku bukan pesimis dalam hubungan ini, May. Hanya saja aku tak mau memberimu harapan hampa. Sebuah janji yang tidak bisa kutunaikan nanti. Kau akan kecewa, May. Perlu kau ketahui, aku lelaki miskin yang tak memiliki masa depan yang indah. Apalagi sekarang, kampung halaman telah memanggilku untuk berbakti pada Ibu. Pendidikanku tiada lagi bisa kujalani. Cita-citaku hanya tinggal kenangan. Impianku untuk menjadi orang sukses dan berpendidikan tiada lagi jelas. Begitu juga impianku untuk mempersuntingmu kelak, sangat jauh panggang dari api. Ibarat memeluk gunung, May. Aku tiada sanggup untuk mengajakmu kepelaminan nanti. Karena aku akan bermain lumpur di sawah, menakik karet, menarik pasir di pelabuhan, barangkali juga menjadi buruh bangunan. Apa saja bisa kulakukan bila sudah putus sekolah. Tiadalah mungkin aku terlalu berandai-andai bisa mempersuntingmu kelak bila kau jadi sarjana. Dan kau tak ingin hidup dalam dilema, bukan?

May. Percayalah padaku. Cinta telah mengajari kita akan kedewasaan, dan kini aku telah menemui sikapmu yang telah dewasa. Kau yang dulunya lebih suka bersandiwara dalam menjalin hubungan dengan lelaki, kini telah memberikan ketulusan cinta padaku. Kau yang dahulunya adalah wanita yang suka memakai baju kaos ketat-menampakkan lekuk tubuhmu, kini telah berjilbab ‘dalam’ dan berbaju longgar layaknya akhwat yang ada di kampus kita itu. Aku yakin kau mampu menerima kenyataan ini. Percayalah, suatu saat kelak kau akan paham dengan ucapanku ini. Dengan bahagia kau akan menyetujui kepergianku untuk mengabdikan diri pada Ibu. Tentunya kau bangga mengenalku, bukan?

May. Dalam hidup, telah banyak kebahagian yang pernah kita rasakan. Sebagian kebahagian itu adalah mengenalmu. Bagiku, mengenalmu adalah anugerah diberikan Tuhan padaku. Mencintaimu juga suatu kebahagian. Kapan pula aku mendapatkan ketulusan cinta dari seorang gadis cantik, baik dan kini tampak anggun dibalut jilbab yang kau kenakan itu. Semenjak aku resmi menjadi lelaki, tiada gadis yang mau menyinggahi hatiku ini. Apalagi gadis di desaku, tiada yang memandang untuk mendekati hatiku. Jangankan menjadi kekasih, berteman denganku saja gadis-gadis itu ragu. Tetapi setelah kau memberikan hatimu untukku, aku baru merasa menjadi seorang lelaki utuh. Lelaki yang mempunyai perasaan cinta. Lelaki yang merasa dihargai dan dicintai. Pantaskah aku tidak mensyukuri itu, May? Kalaulah Tuhan memberikan aku kesempatan lagi untuk bersamamu, maka akan aku pikirkan untuk tidak meninggalkanmu lagi.

May, esok hari, aku akan berangkat pulang. Kumohon janganlah kau beri aku kenangan dengan air mata. Cukuplah doa keselamatan dan kebahagian yang kau titipkan untukku. Agar terasa ringan kaki ini melangkah pulang, agar ikhlas hati ini meninggalkanmu. Tiada pantas kita menagis lagi, May. Kita telah tumbuh dewasa. Kita bukan anak kecil yang mudah menangis. Setiap permasalahan kita sikapi dengan lapang dada. Aku tak sanggup bila menemui air mata di pipimu, karena itu pulalah aku sangat berhati-hati untuk tidak menyakitimu. May, bagaimanapun pedihnya perpisahan ini, kuharap kelak ada kebahagian untuk kita nikmati. Kau pasti ingat, perkataan Edwin, teman akrab kita itu, ia sering mengatakan pada kita, ‘cinta adalah masalah keyakinan, keyakinan untuk bersama, keyakinan untuk berpisah’ begitulah adanya, May. Kita harus menjalani ini semua dengan sabar, kelak jodoh itu akan bertemu jua nantinya.

Kau tertunduk diam. Hening. Tiada yang mampu kau ucapkan padaku. Aku ingin kau bicara May. Bicaralah untuk terakhir kalinya padaku. Sampaikanlah nasihat-nasihatmu untukku, kelak aku akan mengenangnya dan membawanya dalam kehidupanku. Bicaralah barang sepatah dua patah kata, biar tenang jua aku melangkah.

“Bicaralah, sayang!”

“Apa yang bisa aku katakan?” kau menatapku, “apa aku dengan entengnya melepas kepergianmu? Lalu aku tersenyum ketika kau meninggalkanku?”

“Maafkan aku, May. Aku harus memilih jalan ini.”

“Jalan apa haa? Apa jalan satu-satunya adalah setelah kau pulang, lalu kita akhiri hubungaan ini?”

“Ini terpaksa kita lakukan, May. Demi kebahagianmu jua.”

“Kau keliru, Aidil. Sangat keliru bila kita harus mengakhiri hubungan ini. Aku akan rela bila kau pulang ke kampung halaman, tetapi bukan seharusnya kita akhiri hubungan ini.”

Semilir angin melambai pada tanaman yang tumbuh di taman kampus ini. Beraneka bunga menari tersapu angin. Angin itu juga singgah di wajahku. Kutatap wajah May, di sudut matanya, air mata berhenti, tak sampai menetes di pipinya. Aku menyadari bagi seorang wanita tidaklah mudah untuk menerima keputusan ini. Wanita cendrung pada perasaan dibanding lelaki. Aku sangat tahu dengan May. May adalah perempuan lembut tutur katanya, lembut perasaannya, penyayang. Tetapi apa hendak dikata, semua ini di luar keinginanku.

Kupandangi langit biru. Awan yang berarak ingin kuminta sesuatu keputusan. Apakah jalan yang kupilih ini salah, atau ini yang terbaik untuk hubungan kami. Awan terhenti tepat ketika angin mulai lamban di atas sana. Tatapanku menuju kampung halaman. Di balik bukit itu, kampungku berada. Terbayang wajah Ibu, Arin dan Wira. Adik yang membuatku ingin cepat menemui mereka. Menghapus kesedihan mereka. Arin kini duduk di kelas 5 SD dan Wira kelas 2 SD. Siapa pula yang akan menjaga mereka di rumah. Aku cinta pada kota ini. cinta pada cita-cita yang kuukir di kota ini. Cinta pada Maya, gadis yang kini bersedih di sampingku tanpa bisa kuhapus kesedihan itu. Tetapi aku teramat cinta pada tanah kelahiranku. Pada Ibu yang telah mengantarkanku ke kota ini dengan pahatan tangannya di kebun karet tua warisan Ayah. Cinta pada Arin dan Wira yang sangat membutuhkan bimbinganku. Sedangkan Maya, ia sudah cukup dewasa untuk kutinggalkan.

Keberangkatanku tinggal menunggu jam. Untuk kali ini, aku pulang kampung dengan menggunakan jasa travel, sebab barang yang kubawa cukup banyak. Semua pakaian dan buku-buku kubawa pulang sebagai kenangan untuk kutimang-timang di kampung kelak. Biasanya aku pulang dengan menumpangi bus antar kota. Selain ongkosnya irit, aku bisa menikamati pemandangan sepanjang jalan menuju pulang. Memandangi keindahan daerah Sitinjau. Sebuah bukit yang menghubungkan Kota Solok dengan Padang. Dari puncak Sitinjau itu akan terlihat keindahan Kota Padang. keindahan laut yang terbentang luas mengelilingi kota itu. Bila perjalanan menuju kampung, akan terlihat keindahan Kota Solok. Kota Markisa itu. Gunung Talang menjulang indah, hamparan padi-padi warga Solok memang indah. Dengan ukiran pematang sawah bak lukisan yang dilukis seorang seniman ternama. Pantaslah beras yang dihasilkan dari kota ini begitu masyhur hingga ke daerah tetangga. Beras Solok itulah yang dibanggakan oleh orang Solok itu. Untuk mengabadikan sebuah prestasi itu pulalah, Beras Solok itu diberi nama pada terminal besar di kota itu.

Travel yang kutumpangi berangkat pukul 10 pagi hari. Sekarang sudah pukul sembilan lewat tujuh menit. Berarti aku harus segera meninggalkan kampus ini. Ya. Aku harus meninggalkan May.

Kupandangi ia. Masih menekuri wajahnya pada telapak kakinya. Hanya desahan nafas saja yang membuat ia masih tampak hidup. Ingin aku mengangkat wajahnya, lalu mendaratkan sebuah ciuman di keningnya, tetapi itu tak mungkin kulakukan. Aku tak pernah menyentuh May. Menggengam jemarinya pun tak pernah kulakukan. Aku menghargai ia sebagai perempuan yang harus kuhormati bukan sekadar kusayangi. May pun sangat paham dengan sikapku padanya. Dalam agama kami, berpacaran itu tak boleh. Kata ustaz akan mengundang perbuatan dosa. Kami sangat menyadari itu. Tapi apalah daya, hati yang sudah saling menyayangi dan ingin bersatu. Jadilah kami menjalin hubungan itu dengan semampu kami untuk tidak mendekati dosa itu.

Aku tak ingin menodai cintaku dengan kehalusan tangan ini untuk membelai wajahnya. Tangan itu bisa saja halus secara zahir bila kueluskan di wajahnya, tetapi suatu saat, tangan itu akan berbuat keterlaluan, sebab syaithon tidak akan pernah rela lihat orang pacaran tetapi hanya diam. Dengan berbagai cara, setan itu akan menjerumuskan jua dua insan itu.

“May... aku harus pergi. Sebentar lagi travel yang kupesan tadi malam akan menjemputku. Kau berhati-hatilah di kota ini. Kau harus bisa mewujudkan cita-citamu itu. Pikirkanlah masa depanmu kelak.”

“Pergilah! Tapi jangan kau akhiri hubungan kita ini. Biarkan Tuhan yang memilih apakah kita nanti bersama atau berpisah, dan itu akan lebih membuatku ikhlas untuk melepas kepergianmu.”

Aku tersenyum lembut ke wajahnya. Begitu manis wajah itu untuk kutinggalkan. Aku menganggukkan kepala ketika ia menatapku, meminta kesepakatan dariku.

“Baiklah!”

***

Hari berjalan sebagaimana mestinya. Berganti minggu, bulan dan tahun. Ini tahun kedua kepergianku meninggalkan kota kecintaanku, kota cita-citaku. Tetapi nasib berkata lain. Kota kecintaanku tetaplah Dharmasraya ini. Kota yang melahirkanku dan ternyata di kota ini pulalah aku merintis impian itu. Setelah terputus pendidikan di Kota Padang, aku mencoba mengikuti tes CPNS di kabupaten tempat tinggalku. Kebetulan ada tes CPNS untuk golongan tamatan SMA. Dengan harapan dan tekad beserta doa, aku mengikuti tes ujian itu.

Selang beberapa bulan kemudian, pengumuman pun keluar. Siapa sangka pucuk dicinta ulam pun tiba. Bak pepatah, aku dinyatakan lulus murni setelah mengikuti ujian itu.

Jalan hidup teramat indah untuk kupanjatkan puji syukur pada Sang Pemilik Kehidupan ini. Di tengah kesedihan yang aku jalani, Allah memberiku setetes kebahagian sebagai ganti kemarau kesedihan yang aku hadapi. Benarlah apa yang dijanjikan Tuhan untuk hambaNya. Bahwa di balik kesedihan itu, Tuhan menyimpan kebahagian bagi hambaNya yang sabar dan berbaik sangka padaNya.

Dalam kebahagian itu, aku teringat pada seorang gadis di seberang sana. Sudah dua tahun aku tidak bersua dengannya. Mendengar kabarnya pun tidak. Hadirlah rindu yang mengebu dari hati pada gadis itu. Wanita yang begitu tulus menyayangiku. Setia pada hubungan kami. Bagaimanakah ia sekarang, apakah ia sudah menikah? Apakah ia telah jadi sarjana, lalu menjadi seorang guru? Ataukah ketika aku berhenti ia juga ikut berhenti? Semoga saja tidak.

***

“Bila saja kau percaya bahwa wanita itu adalah jodohmu, maka kalian akan dipertemukan nanti.”

Ibu selalu menasehatiku untuk tidak meragukan ketulusan cinta. Selagi cinta belum menemukan pengganti yang tepat di hatinya, cinta itu akan tetap ada, dan akan selalu memikirkan orang yang ia cintainya itu. Seperti halnya cinta Ibu dan Ayah. Lika-liku hubungan mereka dulu juga rumit, namun atas keyakinan mereka, akhirnya mereka bisa bersatu membina sebuah keluarga.

“Ibu-ibu..! Ada kakak cantik cari Ibu,” teriak Arin berlari dari halaman rumah.

“Siapa?” tanya ibu padanya.

Arin menggeleng tak tahu. Ibu lalu menyusul keluar rumah. Aku tak peduli siapa yang datang. Mungkin wanita itu ada keperluan dengan Ibu. Aku menyibukkan diri di belakang rumah, memberi induk ayam makan.

Aku senang berternak. Bila sore hari, aku akan pergi mengembalakan itik pulang menuju kandang. Juga ada beberapa ternak, seperti kambing, juga ikan-ikan di kolam. Semenjak menetap di kampung halaman, aku mulai buka usaha ternak. Ya. Untung-untung buat bekal sekolah adik-adikku nantinya. Aku tak ingin mereka putus sekolah. Apalagi mereka anak perempuan. Bila tak sekolah, tak ada kehidupan yang bisa mereka kerjakan selain di dapur, sumur, kasur. Biarlah orangtua di desa ini yang memandang tak butuh pendidikan. Sebagian mereka mengatakan, buat apa sekolah kalau nantinya juga kerja di dapur, sumur, kasur. Begitulah keadaan di desaku. Sungguh membuat hatiku iba.

“Aidil...!”

Ibu berteriak memanggilku. Aku tersentak dari lamunan sesaat.

“Iyaaa Bu..!”

“Ada yang mencarimu, Nak!”

Aku bergegas menuju teras rumah. Tepat di atas kursi rotan di teras rumah, seorang wanita yang kukenal tersenyum indah padaku. Wanita yang selama ini aku impikan dalam setiap lelap dan sadarku. Wanita berkerudung ungu jingga itu adalah Maya. Ya, Maya kekasihku.

Aku tersenyum. May semakin tersenyum. Ibu juga tersenyum, sedang adik-adikku hanya melongo heran. *[Ampang Kuranji/14]

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun