Jalan Kami, ini adalah judul foto lawas hasil jepretan fotografer Ahmad Alberd tahun 2006 yang diangkat kembali pada pameran buku foto di The 1st Photo Book Exhibition Samahita di Universitas Indraprasta PGRI, Jakarta, 4-6 Januari 2017.
Menyinggung kata “Kami”, dalam konteks saat ini, siapakah sesungguhnya kami? Apakah “Kami” dalam konteks sebagai “sosok ibu” yang merepresentasikan keseharian suara rakyat, ataukah “Kami” dalam konteks keadaan negeri saat ini adalah “Ibu Pertiwi” yang sedang bersusah hati karena rakyatnya tengah “mendua”
Kata “Kami” yang diwakili melalui visualisasi seorang Ibu dan dua anak yang tengah berjalan bergandengan di jalur rel kereta api, dengan setting perumahan liar dan tumpukan sampah serta barang bekas adalah realitas kehidupan yang mungkin sudah lazim kita temukan di wilayah perkotaan dan pedesaan di Indonesia, yang mirisnya hingga saat ini masih terjadi.
Sebuah foto memang bisa menghasilkan banyak makna dan persepsi yang berbeda. Tetapi foto ini mampu menggelitik penikmatnya tentang makna sebuah jalan panjang tentang Indonesia. Ia tidak hanya bercerita soal “orang miskin” yang hidupnya serba kekurangan, akan tetapi ia juga mampu menjangkau sebuah konsep kebudayaan tentang kemiskinan itu sendiri, yang dikatakan Prof. Dr. Tjetjep Rohendi Rohidi (2000) sebagai sistem simbolik yang ditransmisikan secara historis. Atau dengan kata lain, gambaran orang miskin yang kerap diikonisasi dengan kehidupan di pinggir rel adalah sebuah ruang yang tak terpisahkan dari sejarah kebudayaan masyarakat negeri, yang akan menjadi pengingat bagi siapa pun pemimpin negeri ini bahwa mereka adalah bagian dari ibu pertiwi yang punya hak sama untuk hidup lebih sejahtera.
Itulah sebabnya, mengapa dalam setiap kampanye pilkada ataupun pemilu, setiap calon pemimpin umumnya senang blusukan untuk menyuarakan “Janji Kami” di wilayah para pemilik “Jalan Kami”, yang mungkin sudah puluhan tahun hidup dalam ketidakpastian, tak punya rumah, mengais sampah, menjadi anak-anak jalanan, mengalami penggusuran, hingga menjadi alat kelompok kepentingan tertentu demi sesuap nasi. Para penyuara “Janji Kami” seolah memang harus selalu hadir di antara para pemilik “Jalan Kami” karena keberadaan mereka adalah bagian dari strategi yang mampu menyentuh nurani bawah sadar manusia, potongan puzzle sejarah yang tak pernah selesai, yang nasibnya bisa “jelas” atau justru makin “kabur”. Pertanyaan mendasar yang kemudian kerap terjadi adalah, apakah hidup mereka kemudian berubah, ketika sang penyuara “Janji Kami” terpilih sebagai pemimpin negeri?
Bukti kesejahteraan hanya bisa diyakini melalui fakta di lapangan. Proses untuk mensejahterakan rakyat memang sangat tergantung pada kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemimpinnya. Di Indonesia, yang sosok pemimpinnya sudah berganti hingga tujuh kali, data dari situs Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa jumlah penduduk miskin memang mengalami penurunan, dari kondisi September 2015 yang sebesar 28,51 juta orang (11,13 persen) menjadi mencapai 28,01 juta orang (10,86 persen) pada Maret 2016. Sebuah angka yang masih perlu terus diperjuangkan, karena fakta di lapangan terkadang tak sebatas angka.
Kembali ke soal foto Jalan Kami, dalam kacamata ilmu Desain Komunikasi Visual, cerita dalam foto mungkin bukan sekadar ekspresi kecedasan visual. Foto ini sekiranya dapat mencoba mengingatkan kita kembali tentang sebuah panggilan suara rakyat yang terpinggirkan, yang harapannya nyaris terlupakan di tengah hiruk pikuk perdebatan politik, yang jeritannya mungkin semakin tenggelam di tengah kebijakan baru yang kian berdampak pada kenaikan harga-harga kebutuhan hidup. Cerita dari pinggir rel ini adalah pesan yang menjadi tanggung jawab negeri.