Mohon tunggu...
Wahid Nur
Wahid Nur Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Become

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Upacara 17 Agustus, Paskibra Salah Menarik Bendera (cerita lalu)

11 Agustus 2012   15:16 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:56 4119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketakutan paling utama dari para Pasukan Pengibar Bendera (PASKIBRA) di acara upacara 17 Agustus adalah salah saat bendera dikibarkan. Upacara pengibaran bendera menjadi titik puncak, detik-detik Indonesia diproklamirkan, di saat itu juga bendera menjadi simbol sebuah bangsa MERDEKA, INDONESIA 1945. Para hadirin yang ikut dalam upacara 17 Agustus pasti akan mengenang di saat bendera dikibarkan, berbarengan dengan lantunan lagu Indonesia Raya. Kalau salah, kacau, tak syah lagi rasanya upacara bendera. Salah saat pengibaran Sangsaka Merah Putih, pernah saya alami, ketika dulu menjadi salah satu dari barisan Paskibra di tingkat Kecamatan, di Ambarawa, Pringsewu, Lampung.

Waktu itu, saya masih duduk dikelas 1 SMA tahun 2001. Dari sekitar 250 siswa baru yang diterima di SMAN 2 Pringsewu, hanya 10 orang saja, yang terpilih mewakili sekolah sebagai pasukan Paskibra, 5 perempuan dan 5 laki-laki. Dua orang dari sepuluh teman saya itu, lolos seleksi ke tingkat kabupaten, Pringsewu. Sisanya, mewakili di tingkat kecamatan. Postur tubuh, fisik, memang menjadi syarat penting untuk dapat lolos seleksi Paskibra ke tingkat selanjutnya. Lantaran tidak begitu tinggi dibandingkan dengan dua teman saya itu, secara fisik juga terlihat ceking, saya pun tak lolos seleksi tingkat kabupaten. Namun begitu, masih bisa ikut serta di tingkat kecamatan. Keikutsertaan saya sebagai Paskibra, cukup memberi pengalaman yang tak terlupakan. Sampai sekarang, kalau ingat 17-an, ingat kejadian 17 Agustus 2001, 11 tahun lalu.

Pengalaman menjadi Paskibra, bagi saya cukup berkesan. Waktu itu, selama setengah bulan lebih harus berlatih bersama teman-teman dari asal sekolah lain yang ada di Kec. Ambarawa. Ganasnya sinar matahari saat latihan, terlihat pada duan telinga bagian atas, sedikit gosong kehitaman, lantaran seringnya latihan di lapangan terbuka. Waktu gladi bersih, sempat terjadi kejadian, salah satu teman mengalami kram kaki. Mungkin, sangking seringnya berlatih, instruktur terus saja menginstruksikan agar latihan dioptimalkan dihari akhir latihan. Teman yang kram kaki itu Fandi namanya, ia berasal dari SMA Wira Bakti. Sempat Fandi mengutarakan untuk mengundurkan diri, sedangkan pelaksanaan upacara keebesokan harinya, namun akhirnya Fandi tidak jadi mengundurkan diri.

Sekolah tingkat SMA dan sederajat di Kec. Ambarawa berjumlah lima sekolah. Status Negeri cuma satu, yakni sekolah dimana saya duduk sebagai siswa SMAN, sisanya sekolah Swasta. Masing-masing sekolah mengirim delegasi dengan jumlah yang berbeda. Saya tidak begitu ingat sekarang, berapa jumlah utusan masing-masing sekolah, yang masih saya ingat cuma utusan dari sekolah saya saja, 4 laki-laki dan 4 perempuan.

Setelah di susun sesuai formasi 17-8-45, saya di tempatkan di formasi 8, persisnya sebagai pembawa baki. Pembawa baki bendera, nantinya akan maju ke depan hadapan Pemimpin upacara, menerima bendera yang akan dikibarkan. Pakaian seragam pasukan formasi 8 berbeda dari lainnya, khusus untuk formasi 8 memakai pakaian serba putih. Model pakaian yang dikenakan berlengan panjang berpangkat pundak, berkantong dua di dada atas berwarna putih, celana panjang putih, peci hitam, sepatu hitam, di leher tertali selempang merah putih khas pramuka. Selainnya, memakai pakaian segaram SMA, putih abu-abu.

Hari yang di nanti akhirnya tiba, pagi 17 Agustus 2001, jarak dari rumah ke lapangan, lokasi tempat upacara berlangsung tidak terlalu jauh, berjarak sekitar 4 km. Saya berangkat dengan sepeda motor, dengan bangganya, waktu itu, mengenakan pakaian pasukan Paskibra. Di jalan (pamer… batin saya) orang-orang akan melihat saya yang mengenakan mengenakan pakaian seragam Paskibra, bangga dalam hati (tepatnya si… narsis). Sesampai di lokasi, sebelum upacara di mulai, kami, seluruh pasukan Paskibra mengadakan rapat koordinasi. Pejabat Kecamatan, pihak Sekolah, instruktur dan orang-orang penting lainnya juga hadir. Mereka memberikan semangat terakhir, agar dapat menjalankan tugas dengan baik dan berhasil. Kita pun hikmat mendengarkan, di akhir acara sembari mencium bendera sambil tangis sendu sedan, pertemuan berakhir dan selanjutnya menuju ke lapangan.

“Upacara 17 Agustus Akan Segera Dimulai”, suara dari pembaca acara upacara membahana, menertibkan suara-suara peserta upacara yang telah berbaris bergelombang. Hadir dalam upacara ketika itu, 4 Sekolah Menengah Atas, 5 Sekolah Menengah Pertama, sekitar 8 Sekolah Dasar dan 2 Taman Kanak-Kanan. Selain itu, ada satu deret barisan, terbagi menjadi 4 kelompok, 2 kelompok barisan group kesenian tradisional, 1 kelompok barisan para Veteran dan 1 kelompok barisan ibu dan bapak guru-guru serta unsur pemerintahan. Semua terkumpul di lokasi upacara, berbaris rapi di Lapangan Sepak Bola Mujisari. Tak ketinggalan, di ramaikan juga oleh kehadiran warga sekitar, orang tua para murid SD dan TK, para pedagang dan pengunjung lainnya untuk sekedar melihat ataupun untuk mengikuti sekedarnya.

Setelah di mulai, acara demi acara dibacakan, petugas upacara bertugas sesuai tugasnya masing-masing, dan tiba giliran “pengibaran Sangsaka Merah Putih”, kami pun bersiap segera. Seruan perintah dari pembawa upacara itu menyiapkan kita untuk tampil, bergerak. “Jalan Ditempat Grak”, aba-aba dari pemimpin pasukan segera di ikuti dengan derap kaki para Paskibra. Formasi 17-8-45 meluncur berjalan lancar, sesampai di depan Pemimpin Upacara, semua formasi berhenti, jalan ditempat, kecuali formasi 8. Formasi 8 melakukan gerakan memutar 30 derajat mengarah ke depan Pemimpin Upacara, maju ke depan dan berhenti. Setelah kanan kiri dari formasi 8 membuka formasi, giliran pembawa baki maju, berjarak dua langkah di depan Pemimpin Upacara untuk menerima bendera Merah Putih. Sampai titik ini berjalan lancar, tetapi saya perhatikan tumpukan lipatan bendera sudah tak terlihat seperti sediakala. Terlihat berubah, ketika di letakkan di atas baki.

Setelah menerima bendera, formasi 8 kembali ke barisan, untuk meneruskan kembali bergerak ke depan tiang bendera. Sampai di depan tiang, kembali, bermanuver, membuka formasi dengan masing-masing berada di posisi kanan, kiri dan belakang yang seimbang. Tiga pasukan, satu pembawa bendera dan dua penarik bendera, maju ke depan. Setelah teman di samping kiri membuka gulungan tali, kemudian diserahkan tali bagian kepada teman yang di sampaing kanan. Kemudian ia, teman kanan pembawa baki, mengaikatkan tiga ujung simbul ke tali bendera. Tangan bersilang dengan tangan kanan berada diatas, siap-siap untuk menarik bendera.

Tiba waktunya, mundur tiga langkah ke belakang, penarik bendera menarik bendera. Sreet…!, apa yang terjadi…?!, ternyata warna putih bendera berada di atas, sedangkan warna merah bendera berada di bawah, terbalik. “Huu…” terdengar suara dari kejauhan. Sontak membuat kami yang di tengah gelagapan, bendera terentang terbalik, lebih-lebih penarik bendera. Buru-buru ia membaliknya, lantas kemudian merentangkan lagi, “Bendera Siap!”. Lantunan lagu Indonesia Raya mengiringi Sangsaka Merah Putih naik tahap demi tahap ke pucuk tiang, selesai.

Selesai menaikan bendera, pasukan pun kembali ke tempat, upacara terus berjalan. Namun, tidak bagi pasukan Paskibra. Malu minta ampun, salah mengibarkan, terbalik, disorai-sorai cemo’oh peserta upacara harus kami terima. Lebih lagi, tiga pasukan utama, tak hanya tertunduk, muka merah meradang, mata berkaca-kaca, malu sekujur tubuh. Mau tarok mana muka ini, desir dalam hati. Setelah berhari-hari latihan, hasilnya mengecewakan, fatal. Tak hanya itu, instruktur, sekolah juga kena dampak dan semua-mua peserta upacara tau, Paskibra salah mengibarkan bendera, terbalik.

Begitulah, cerita lalu. Makanya, setiap kali 17-an, saya kadang masing teringat kejadian itu, meski Upacara 17 Agustus skala Kecamatan. Kadang cengar-cengir sendiri, kok bisa ya..taman kanan saya itu salah narik bendera. Saya sendiri merasa, sudah ada kejangkalan sewaktu bendera di telakkan di atas baki, setelah Pemimpin Upacara mengambil bendera dari petugas di samping kanannya, kemudian diletakkan di atas baki, tersusun tak lagi sediakala. Saya melihat, proses pemindahan itu sampai diletakkannya di atas baki yang menyebabkan bendera salah waktu ditarik. Ujung warna merah berbalik berada dibawah, sedang penarik bendera, teman kanan saya itu, tak tau juga isyarat yang sama bisikkan. Ya begitulah jadinya. Cerita lalu, salah saat menarik bendera di upacara 17 Agustus.

Selesai acara upacara, kami tak langsung pulang. Ada rapat koordinasi kembali, dengan langkah gontai, tertunduk, malu, kami masuk ke ruang rapat. Di dalam rapat para penasehat dari struktur Kecamatan, pihak sekolah, instruktur menyampaikan “ketakapaan” yang terjadi, mereka mafhum. Namun bagi kami, itu adalah hal yang sangat menyecewakan, terlebih tiga petugas pembawa bendera. Di rapat itu juga, ada nada termehek-mehek diantara kami. Selesai dari rapat, kami pulang, tetapi masih menunggu, menunggu keadaan sepi, agar tak ada banyak orang yang melihat. Pasukan formasi 8 pun berganti pakaian, tak lagi bangga mengenakannya seperti waktu berangkat, saya pinjam baju dan celana Fandi, kebetulan rumahnya dekat situ dan pulang nyumput-nyumput agar tak ketahuan banyak orang. Kacau.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun