Mohon tunggu...
Irvan Triwibowo Siahaan
Irvan Triwibowo Siahaan Mohon Tunggu... -

Saya hanyalah manusia biasa.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Demokrasi: Dari Athena ke Indonesia

25 Mei 2017   11:00 Diperbarui: 25 Mei 2017   11:26 320
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Demokrasi di Athena

Demokrasi di Athena diperkirakan mulai lahir sejak abad ke-8 SM. Era demokrasi di Athena dapat dilihat melalui cara bertempur yang termaktub dalam Epos Homerik. Epos Homerik memperlihatkan dua macam cara bertempur yang dilakukan masyarakat Athena ketika itu. Pertama, pertempuran yang dilakukan oleh rakyat secara berhadap-hadapan. Kedua, pahlawan-pahlawan yang menunggang kereta kuda, kemudian turun dan bertempur secara berhadap-hadapan. Epos Homerik mengisahkan perpindahan metode perang dari model bertempur individual dengan kereta perang menjadi model bertempur a la hoplites dalam formasi phalangis. Formasi phalangis menempatkan pasukan dalam bentuk segi empat. Pasukan yang berada dalam formasi ini, saling berdempetan dan melindungi rekannya.

Pergeseran dalam penggunaan model perang memicu terjadinya perubahan-perubahan sosial di masyarakat. Kekuasaan dan keputusan yang awalnya hanya dimonopoli oleh para pahlawan yang berasal dari golongan aristoi dan basileus, kemudian menjadi dimiliki oleh semua warga yang setara. Tidak terlalu jelas kapan tepatnya terjadi pergeseran sistem politik di Athena, dari pemerintahan oligarki aristokratis menjadi pemerintahan demokratis. Pada sekitaran 682-681 SM, kuasa untuk mengambil keputusan untuk kepentingan bersama telah dibagi di antara 9 pejabat hukum (magistrat), 9 archontes (satu di antara sembilan bergelar basileus) dengan masa jabatan selama sepuluh tahun, dengan sebuah lembaga yang dinamakan Aeropagos yang terdiri dari mantan anggota archontes dan setiap anggotanya menjabat seumur hidup. Dengan sistem politik kekuasaan terbagi itulah Athena menjalankan pemerintahannya.

Pada abad ke-6 akhir, terdapat seorang tokoh yang cukup revolusioner dalam membangun demokrasi di Athena yakni, Clisthenes. Dia ingin membangun sistem perpolitikan di Athena yang mengakomodir kesetaraan pada tingkatan polis secara menyeluruh. Ia mendefinisikan ulang pemilahan populasi di Athena. Akibatnya, perombakan peran institusi politis yang sudah ada di Athena, serta menciptakan lahirnya institusi-instusi baru. Clisthenes mengatur ulang suku-suku periode kuno, yang awalnya 4 menjadi 10. Clisthenes melepaskan hubungan antara wilayah dengan suku-suku tradisional. Sehingga sistem kekuasaan lokal digantikan dengan struktur baru, yang tidak berdasar pada identitas geografis, melainkan murni politis. Clisthenes membuat semua warga berada pada posisi yang sama di hadapan hukum. Selain itu, Clisthenes membentuk lembaga demokrasi Boule yang beranggotakan 500 orang. Prinsip yang ditanamkan dalam Boule adalah isonomia, isogonia, isokratia,dan isegoria. Selain Boule dalam demokrasi Athena dibentuk pula Ekklesia (beranggotakan 6000 orang) dan Helaia (beranggota 600-2000 orang).  

Kritik Platon terhadap Demokrasi

Di antara euforia terhadap pertumbuhan demokrasi di Athena, ternyata terdapat pula pihak yang tidak menyetujuinya. Demokrasi yang dipandang seolah menjadi sistem pemerintahan yang baik, ternyata tidak sepenuhnya baik. Malahan, terdapat kekeliruan yang cukup fatal. Plato adalah seorang tokoh yang melancarkan kritiknya kepada pemerintahan demokrasi. Sisi lain dari demokrasi adalah anarki. Di mana sistem pemerintahan demokrasi berkuasa, teriring pula anarki. Bagi Plato, demokrasi adalah sistem pemerintahan yang amat kacau. Demokrasi memfasilitasi timbulnya pertempuran kelas-kelas sosial tanpa henti. Orang-orang yang berada di bawah sistem pemerintahan demokrasi cenderung mengikuti epithumia. Demokrasi berpangku tangan pada hasrat rakyat yang hidup di bawahnya. Ketika rakyat tersebut tidak mau menerima aturan, atau paksaan apapun dalam hidupnya, ia akan mencari sesuatu yang dapat menyenangkan dirinya. Maka dari itu, rakyat yang hidup dengan demokrasi di bawa kepada kebebasan sebebas-bebasnya, menggiringnya masuk ke dalam perbudakan tanpa batas.

Manusia demokratis terbiasa mendapatkan perlindungan dari tindak kekerasan orang. Karena terbiasa untuk dilindungi, maka timbul pula kecendrungan baginya untuk hidup sesuka hati. Sistem yang menjamin kebebasan seperti ini, memiliki bahaya yang luar biasa. Karena dengan kebebasan yang ‘luar biasa’ itu, warga bisa mengalami krisis moral. Platon jauh lebih melihat sistem pemilihan dengan undian yang dipraktekkan di Athena. Bagaimana bisa dapat menangani kebebasan yang kebablasan, kalau pemimpinnya dipilih dengan undi? Platon memberikan pernyataan keras kepada masyarakat demokratis sebagai orang yang hidupnya nyantai dan immoral. Keseteraan yang dijaminkan demokrasi, membuat warga bertindak tidak menghargai orang lain di sekitarnya. 

Demokrasi di Indonesia

 Dalam realitas kehidupan di Indonesia, tidak jarang pula banyak orang menganggap bahwa, demokrasi kian memperumit kehidupan berbangsa dan bernegara. Banyak orang mulai lelah dengan demokrasi yang menyebabkan banyak kekacauan di Indonesia. Sosok kepemimpinan otoriter seperti Soeharto mulai dirindukan. Karena, rezim Soeharto dianggap sebagai rezim yang ‘damai’ dan rakyat hidup dengan kecukupan. Demokrasi yang diperjuangkan pada tahun 1998, ternyata dirasa memperburuk situasi dan kondisi di Indonesia. Meningkatnya kriminalitas, ketidaksopanan anak-anak muda, nilai moral yang mulai dilupakan, serta korupsi yang begitu masif terjadi di rezim demokrasi ini. Kritikan Plato nampaknya terafirmasi melalui fenomena demokrasi di Indonesia. Lalu apakah demokrasi perlu dipertahankan dalam konteks masyarakat Indonesia?

Demokrasi tentu bukanlah suatu sistem pemerintahan yang ideal. Banyak celah anarkisme dari sistem pemerintahan demokrasi. Namun sementara ini, demokrasi adalah sistem pemerintahan yang cukup baik daripada sistem pemerintahan lainnya. N. Driyarkara, S.J., berpendapat, sistem pemerintahan demokrasi memiliki empat ciri, yang menunjukkan keunggulan sistem pemerintahan demokrasi. Pertama, demokrasi itu rasional. Karena demokrasi bersifat rasional, maka segala bentuk mitos dibredel. Pemilihan pemimpin tidak didasarkan lagi pada cerita-cerita mengenai ‘kesaktian’ seorang manusia. Termasuk juga kepada jimat-jimat dan pusaka-pusakanya, sama sekali tidak dapat dijadikan legitimasi menjadikan seseorang menjadi pemimpin. Kedua, demokrasi mengandaikan kedewasaan, tidak alergi terhadap kritik. Sikap demokratis membongkar sistem feodal dan antidemokratis. Sistem pemerintahan demokrasi membawa orang untuk menerima kritik dengan lapang dada, tidak mudah marah atau merasa diserang. Budaya yang biasa menerima tanpa mempertanyakan, adalah budaya yang tidak akan membawa masyarakat ke arah kemajuan. Ketiga, berdasarkan hukum bukan kekerasan. Iklim demokrasi yang menuntut orang untuk terbuka pada pendapat atau kritikan orang lain. Sikap menerima kritikan, menuntut seseorang tidak membalas dengan ancaman. Kekerasan baik secara verbal maupun fisik tidak dapat dilakukan dengan alasan apapun. Keempat, demokrasi mengatur pergantian kekuasaan secara teratur. Kekuasaan perlu dibatasi, karena kekuasaan yang begitu besar dan tidak dibatasi, akan berimbas pada tindak korup. Demokrasi juga memfasilitasi pergantian kekuasaan tanpa kekerasan. Dalam sistem otoriter, pergantian kekuasaan tidak akan dapat dilakukan dilakukan dengan mudah. Bahkan, cenderung turut sertanya tindak kekerasan. 

        

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun