Mohon tunggu...
Adhityo N Barsei
Adhityo N Barsei Mohon Tunggu... Administrasi - Blogger

Orang sering kesulitan memahami apa yang saya sampaikan. Mungkin lewat tulisan saya bisa memberikan pemahaman lebih sederhana

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Cara Perangi Sampah Inovatif ala Kabupaten Ciamis

3 Desember 2018   17:19 Diperbarui: 3 Desember 2018   17:36 456
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dokumentasi penulis

Ciamis merupakan salah satu Kabupaten di Provinsi Jawa Barat yang memiliki produksi sampah cukup besar yaitu 100 ton/hari. Sebagian produksi sampah terbesar adalah dari sampah rumah tangga. Dalam pengelolaannya, hanya 20% yang mampu dikelola dan sisanya 80% dibuang ke TPA (Tempat Pembuangan Akhir). Sementara, daya tampung dan petugas sampah tidak memadai dan terbatas.

"Sampah yang tidak dikelola dengan baik akan menjadi penyebab gangguan dan ketidak seimbangan lingkungan. Sampah padat yang menumpuk ataupun yang berserakan menimbulkan kesan kotor dan kumuh. sehingga nilai estetika pemukiman dan kawasan di sekitar sampah terlihat sangat rendah. Bila di musim hujan, sampah padat dapat memicu  banjir; maka di saat kemarau sampah akan mudah terbakar. Kebakaran sampah, selain menyebabkan pencemaran udara juga menjadi ancaman bagi pemukiman."

Pengelolaan sampah di Kabupaten Ciamis merupakan salah satu hal yang paling mendesak dan permasalahan lingkungan yang harus ditangani. Kabupaten Ciamis memiliki visi 2020 menuju Ciamis bebas sampah (Zero Waste). 

Oleh karena itu diperlukan pengembangan dalam pengelolaan sampah, salah satunya melalui mengelola sampah dengan memanfaatkan Black Soldier Fly (BSF) atau Maggot yang diinisiasi oleh Dinas Perumahan Rakyat, Kawasan Permukiman dan Lingkungan Hidup Kabupaten Ciamis sejak Juni 2017. 

Penggunaan larva (maggot) dari serangga ini sebagai pengurai sampah organik merupakan suatu kesempatan yang menjanjikan, karena larva BSF yang dipanen tersebut dimanfaatkan sebagai sumber protein untuk pakan hewan, sehingga dapat menjadi pakan alternatif pengganti pakan konvensional seperti pelet atau tepung ikan yang relatif mahal. 

Keuntungan yang didapatkan melalui Pengelolaan Sampah Berbasis Black Soldier Fly (BSF) sangat menjanjikan mengingat bahwa inovasi ini dapat diaplikasikan dengan menggunakan fasilitas terjangkau dengan biaya rendah.

Awalnya, BSF yang dibudidayakan menghasilkan telur, kemudian telur tersebut di tabur diatas sampah organik yang sudah diletakkan dalam sebuah wadah. 

Telur tersebut akan menjadi bayi larva dan mengurai sampah organik memudian bertransformasi menjadi larva hingga pupa selama kurang lebih 22-30 hari. Pupa atau larve hitam tersebut selanjutnya dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak atau dibuat sebagai bahan pupuk maggot. Adapun dampak dari pengelolaan BSF ini adalah :

  • Produktivitas, sampah yang diurai oleh magot ini memiliki nilai ekonomis. Sebelumnya, pengelolaan sampah hanya diangkut ke TPA oleh petugas sampah dan tidak menghasilkan nilai tambah apapun. Setelah adanya inovasi ini, seluruh kawasan yang mengelola sampah menjadi magot ini justru menghasilkan 200-300 kg magot per hari yang dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Hal ini mengindikasikan pertumbuhan produksi meningkat seiring bertambahnya lokasi pengelolaan BSF di 20 kawasan zero waste. Larva serangga atau magot ini digunakan untuk pakan ternak lele, domba, kambing dan lain-lain.
  • Mutu produk inovasi ini juga memiliki keunggulan dimana sebelumnya ternak hanya mengkonsumsi pelet dan memiliki pertumbuhan yang lambat. Sampai saat ini, banyak peternak beralih yang sebelumnya pakan dari pelet ke magot. Hal ini ternyata disebabkan oleh kualitas magot yang memiliki protein tinggi sehingga mempercepat pertumbuhan ternak dan memperlambat angka kematian ternak seperti lele. Selain kualitas yang berdaya saing, harga pakan juga sangat kompetitif dibandingkan dengan harga pelet dimana harga magot : 9.500-11.000/kg sementara harga pelet ikan 12.000-13.000/kg.
  • Dampak lain dari inovasi ini adalah kesejahteraan masyarakat dengan memiliki penghasilan dari bisnis pengelolaan sampah berbasis magot ini. Pengelola magot di Desa Panimbangan memiliki penghasilan rata-rata 20 juta perbulan dengan dikelola oleh 3 orang warga. Dampak lainnya adalah adanya upaya kolaboratif antara pengelolaan sampah khususnya desa pawindan dengan OPD lainnya seperti Dinas Perikanan memberikan bibit ikan lele, Dinas Pertanian memberikan bibit tanaman sayuran dan lada untuk pengelolaan sampah menjadi pupuk, dan Dinas Peternakan berkolaborasi dalam ternak domba yang dapat menjadikan magot sebagai pakannya.

Dari hasil kunjungan penulis, selain dampak diatas penulis juga melihat bagaimana upaya kolaboratif yang dibangun pemerintah dalam hal ini Dinas Perumahan Rakyat, Kawasan Permukiman dan Lingkungan Hidup Kabupaten Ciamis melibatkan kelompok masyarakat. 

Gerakan pengelolaan sampah ini pada awalnya dilaksanakan di Dusun Pasirpeuteuy, Desa Pawindan, Kecamatan Ciamis. DPRKPLH awalnya melakukan sosialisasi dengan elemen masyarakat Dusun Pasirpeuteuy mengenai pengelolaan sampah. 

Kemudian beberapa elemen masyarakat diajak untuk melakukan studi banding dengan pengelolaan BSF di Kota Depok dari budidaya hingga memanfaatkan maggot sebagai kegiatan berwirausaha.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun