Mohon tunggu...
Tutut Setyorinie
Tutut Setyorinie Mohon Tunggu... Akuntan - Lifelong Learner

hidup sangatlah sederhana, yang hebat-hebat hanya tafsirannya | -Pramoedya

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Cerpen | Kembali Pulang

1 Juni 2019   22:55 Diperbarui: 1 Juni 2019   23:08 238
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: http://www.majelistausiyahcinta.com

Aku merindui Abah yang selalu mengajakku berkeliling dengan sepeda tuanya, memberi makan Lisa-sapi kesayangannya. Aku merindui Ama yang menghadiahiku pakaian di hari pertambahan umur. Aku penasaran apakah tahun ini Ama tetap menjahitkan pakaian untukku.

Mendadak, aku sangat ingin menemui mereka. Namun, jalan itu terasa jauh. Ada ayah dan ibu di sini, dan aku tahu mereka tak ingin melihat anak yang baru saja didapatkannya kembali pergi.

Tidak, aku tidak pergi. Aku hanya ingin menengok Abah dan Ama untuk kemudian kembali pulang. Baru beranjak beberapa langkah dari kamar, Ayah dan Ibu sudah menemuiku dan memberi senyuman. Mereka menyetujui permintaan yang belum keluar dari mulutku, bahkan dengan rela menyiapkan perbekalan dan tiket perjalananku. Sungguh, aku bersyukur mereka mengerti.

Namun pikiranku terus saja terganggu. Apa Abah dan Ama masih mengingatku? Tentu saja, aku baru setahun berpisah dengan mereka. Lalu bagaimana jika mereka menanyakan mengapa aku datang? Seingatku Abah bahkan tak perlu mendengar alasan mengapa nilai Bahasa Inggrisku selalu merah. Ia juga tidak pernah menanyakan mengapa aku selalu berpakaian kotor di hari Jumat. Mungkin, ia tidak akan menanyakan alasan kedatanganku kali ini.

Sedangkan Ama, ia tak mungkin tidak menanyakannya. Pertanyaan pertama yang dilontarkan Ama setelah aku dipanggil guru adalah "mengapa". Pertanyaan Ama ketika aku sedang menangis juga "mengapa". Dan sayangnya "mengapa" itu adalah sebuah pertanyaan tentang alasan. 

Entah berapa lama aku berjalan, dan sekarang aku sudah kembali ke rumah dalam susunan batu bata itu. Yang pertama kali menyapaku tentu saja adalah Lisa. Sapi itu mungkin masih mengenali pemberi makannya yang telah lama hilang. 

Aku maju untuk mengetuk pintu. Asing rasanya, namun hangat. Aku bisa membaui aroma ketupat Ama dari luar, juga sup dagingnya. Aku juga masih bisa mengenali sandal Abah, yang menandakan dirinya berada di dalam. Itu sandal pemberianku. Waktu itu, aku menyisihkan uang magangku untuk membelikan sandal kesukaan Abah yang terlepas dan hilang saat mengejar gerombolan pencuri di pasar ikan.

Tanganku mengetuk. Aku membayangkan Abah berdiri dengan senyum hangat. Merentangkan tangannya agar aku bisa memeluknya erat. Namun tak ada yang membukakannya hingga dua menit berselang. Abah pasti sedang tidur karena kekenyangan menyantap ketupat Ama.

Aku mengetuk lagi. Kali ini aku membayangkan wajah Ama yang tersenyum lebar beserta pakaian hasil jahitannya yang ia serahkan untuk cepat-cepat kucoba. Namun, lagi-lagi tidak ada yang membuka pintu itu.

Jantungku berdegup. Aku tidak bisa membayangkan hal-hal yang tidak kuinginkan melintas begitu saja di alam pikiran. Maka kubuka paksa gagang pintu itu dan berlari ke dalam.

"Abah, Ama.." teriakku memenuhi ruangan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun