Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Freelancer - Nomad Digital

Udik!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

[LOMBAPK] Toleransi, Catatan dari Meja Makan

15 Januari 2017   20:28 Diperbarui: 15 Januari 2017   23:57 785
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Santri Gus Dur

Saya memang kuliah sosiologi. Sebab itu pula harus selalu bisa belajar mengelola ketegangan yang sosial dan yang logis. 

Perkara ini penting dibedakan lebih awal dan karena itu, tolong dicatat, please!

Pertama, bila saya selalu sosial tanpa bisa logis, bisa diramalkan saya selalu tidak bisa berjarak dengan peristiwa. Terlebih-lebih di era social media. Segala perisitiwa hidup sehari-hari, apalagi yang sedih bin mewek bin galau bin getir bin sinetron bin drama bin diputusin Vonny Cornellya, pasti menggerayangi sehingga saya harus klimaks berkali-kali dengan air mata. Air mata sejujurnya tidak diciptakan menurut jenis kelamin, maka kepada kaum Hawa, jangan merasa paling prerogatif terhadap kesedihan, pilu dan duka lara atau terhadap welas asih. Sebab yang begini adalah seburuk-buruknya naif.

Kedua, terhadap sikap logis sendiri--saya bilang sikap karena menjadi logis bukan sok-sokan atau sekedar agar merasa diri pantas berbicara dengan Dian Sastro yang alumnus fakultas Filsafat itu--saya juga tidak bisa selalu berjarak dan menakar segala peristiwa dengan hukum-hukum penalaran, dari premis mayor-minor lantas menemukan silogisme yang ketat dan bikin sesak nafas. Kemudian saya menjadi dingin dan serba keras hati atau menjadi sinis kepada jiwa-jiwa yang dikit-dikit mewek, dikit-dikit bersolodaritas, dikit-dikit lihat gambar orang susah yang sumbernya entah dari mana terus disuruh bilang amin ikut mengaminkan saja. Singkat penggambaran, kelebihan dosis logis akan membawa saya menjadi dingin, kaku, dan hidup dalam standar sendiri sampai nanti, sampai mati.

Karena itu, pembelajar sosiologi harus selalu berdiri dalam keseimbangan dan ketegangan antara yang sosial dan yang logis. Maksudnya, nangis saja dulu, mikirnya kemudian (lhooo??).

Sesudah penjelasan awal, mari kita masuk kepada bagian tengah dari cerita. Yakni semangat toleransi dalam merawat kerukunan (berhadiah). Karena judul yang dimintai mimin-mimin Kenthir adalah toleransi dalam hidup beragama maka yang sedang kita bicarakan bukan saja kemampuan untuk menjalani hidup dalam masyarakat iman yang berbeda-beda tetapi juga kemampuan memberi ruang atau bahkan memperjuangkan ruang bagi ekspresi iman yang berbeda-beda itu <---Mulai kelihatan sosiologinya kan, kan, kaaan? Alhamdulillah, saya diluluskan sesudah terancam drop out.

Kapasitas menjadi toleran seperti dimaksud di atas sono, bagi diriku, berdiri dalam ketegangan yang sosial dan yang logis. Saya ceritakan kisah nyata, faktual, dan dialami sendiri.

Dulu, bersamaan dengan masa-masa sesudah turunnya de similing jeneral---siapa lagi kalau bukan Mbah Harto-- isu Civil Society dan Good Governance menjadi "jualan utama", dari ruang seminar hingga proyek-proyek LSM. Khusus agenda Civil Society, salah satu item proyeknya adalah Pencegahan Konflik (Conflict Prevention, bahasa proposalnya begini agar duluan nge-shock donor). Waktu itu saya ikut salah satu kegiatan kerjasama antar iman yang dihadiri Om (alm) Th. Sumartana. Lu orang pade tahu kagak sama Om Sumartana? Gak tahu ya? Nauzubillah, kekinianmu mengenaskan, sumpaah!

Om Sumartana adalah teolog Kristiani dan dosen di kampusnya Om Felix Tani dulu. Kampusnya berada di kampung Pakde Bambang Setyawan. Nah, dua orang yang disebut belakangan ini sudah kenal kan? Kalau masih gak kenal juga, kamu kok masih hidup di Kompasiana sih?

Nah, waktu itu Om Sumartana sama teman-teman bikin acara dialog antar iman di sebuah hotel kecil di teluk Manado, Sulawesi Utara. Biasanya kalau acara beginian kan ada sesi makan dan coffee break sebab isinya super serius: peserta harus mikir dan bikin rencana aksi. Ya iyalah, namanya juga membangun masyarakat iman yang dialogis, pikiran dan tindakan harus sejalan dan kenyang. 

Apa peran saya di acara Om Sumartana? Narasumber ahli? Fasilitator kunci? Peserta terkritis?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun