Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Freelancer - Nomad Digital

Udik!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Saya Seorang Petani

27 Maret 2017   13:58 Diperbarui: 28 Maret 2017   00:00 3583
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ladang | Dok.pribadi

- Kepada seluruh korban, yang ketika bersuara, dikambinghitamkan

Saya adalah nama, kesadaran yang hidup. Bukan semata sudut pandang. Kau tahu maksudku, bukan?

Jadi, kalau menyebut Saya, maka di dalamnya berdiri aku dan kamu sekaligus. Beda dengan aku, aku adalah kesendirian yang berbicara. Seolah ia boleh bebas, tidak terikat aku-aku di luar dirinya. Sedangkan Saya adalah aku-aku atau aku yang meng-aku dalam aku-aku yang lain.

Aku ceritakan satu kisah pendek kepadamu. Untuk menunjukkan Saya adalah aku yang mengaku dalam aku-aku yang lain.

Di desa Saya, desa di tepi sungai dengan air yang mengalir sepanjang tahun, sesekali surut karena kemarau, hutan pernah seperti perawan yang diperkosa tanpa kenal jeda. Seolah saja takdirnya diciptakan sebagai sansak dari syahwat memburu keuntungan.

Zaman itu, uang mudah dihasilkan dalam jumlah besar. Tentu saja dengan resiko yang tidak kecil. Banyak orang datang dari luar, banyak kesenangan dibawa masuk. Banyak orang mabuk dan berjudi. Banyak artis goyang pinggul dibawa tampil. Banyak orang-orang lupa, kesenangan bisa menghancurkan kebahagiaan.

Padahal listrik negara tak ada, listrik swasta tidak berani ambil resiko. Tapi memungut pajak terus.

Maksudnya, bila hutan tak diperkosa dan uang tidak keluar dalam jumlah besar, desa kami gelap gulita dan sepi mempesona. Televisi adalah hiburan mewah. Musik goyang pingggul hanya nanti ketika pesta pernikahan dari mereka yang mampu membayar artis-artis dari desa tetangga yang sering salah berdandan. Apalagi kualitas suara, hah!  

Sesudah zaman itu berlalu, yang tersisa adalah hutan yang sendirian memulihkan dirinya bersama nostalgia yang menyembunyikan keresahan serius. Kapal tongkang, batang-batang kayu besar di sungai, bengkel kerja, rumah bilyar dan judi, orang-orang berduit pergi.

Hidup kembali mencari ikan yang sudah sulit. Atau berladang dengan ketergantungan yang tinggi pada racun-racun kimia. Hutan membutuhkan waktu untuk mengembalikan semuanya. Dan, dengan syarat tegas: tidak ada lagi generasi yang masih belum sadar kesenangan bisa membunuh kebahagiaan.

Saya hidup dalam masa kecil “yang tersisa adalah nostalgia yang menyembunyikan keresahan”. Bukan dongeng-dongeng yang lebih tua, dongeng dari beberapa  ribu tahun ke belakang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun