Mohon tunggu...
Tuswadi Koesnadi
Tuswadi Koesnadi Mohon Tunggu... -

Simply an english teacher who is struggling to be a better one than ever

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

6 Jam di Sekolah Jepang

26 November 2009   12:38 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:11 613
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Hari ini, 6 jam saya terdampar di SD dan SMP Mihara (Attached School of Hiroshima University). Tujuannya cuma satu yakni memenuhi undangan pihak sekolah untuk membantu murid-murid ber-cas cis cus dalam bahasa Inggris. Murid kelas VIII Desember mendatang berencana berkunjung ke kota Okinawa untuk ber-home visit di keluarga-keluarga Amerika sambil praktek berbahasa Inggris, sementara murid kelas VI hari ini berlatih menjadi tour guide bagi orang-orang asing (foreigner) dengan cara membawa kami berkeliling ke tempat-tempat bersejarah di Mihara dekat sekolah.

Di ruang kelas VIII.1, saya digaet oleh kelompok murid putra dan di kelas VIII.2 saya direbut oleh kelompok siswa berempuan. Tiap kelompok beranggotakan 5 orang dan dengan sopannya mengajak saya untuk duduk satu meja bersama mereka. Lalu, satu persatu anak berkenalan dalam bahasa Inggris, dan sesuai dengan rencana pembelajaran, mereka mengajukan sejumlah pertanyaan kepada saya seputar hobi, makanan favorit, olahraga kesukaan, dan semacamnya.

Saat satu persatu mereka bercerita tentang rencana kunjungan ke Okinawa, saya diperlihatkan souvenir (omiyage) yang kelak akan diberikan kepada keluarga Amerika. Semua siswa membuat kerajinan tangan dari kertas bekas, digambari sosok-sosok favorit seperti Doraemon, Snowman, Sailormoon, dan Sinterklas. Ada juga siswa yang membuat hiasan bercerita tentang dedaunan di setiap musim.

“I will give this to the American family. This is Doraemon. He is wearing a hat and a scarf,” ucap salah satu murid dengan antosias sambil menunjukkan karyanya.

Tepat pukul 12.00, giliran siswa SD menjemput kami di kantor. Seperti pengalaman tahun lalu, saya disodori oleh pemandangan unik acara makan siang di kelas. Setelah paket makanan tiba di kelas, dua siswa berseragam ala koki bertugas membagi. Satu persatu piring di setiap nampan diisi dengan spaghetti, roti pengganti nasi, oseng-oseng, dan sepotong buah kaki. Lalu secara bergiliran, setiap siswa mengambil jatahnya masing-masing dan kembali ke bangku yang sudah ditata berkelompok. Siswa lain bertugas membagikan susu kotak kepada seisi kelas.

Semua murid sepertinya sudah mendapatkan jatah dengan takaran yang sama, sementara spaghetti di nampan masih tersisa banyak. Siswa yang bertugas pun berkeliling, menawarkan siapa yang mau nambah. Lucunya, saat guru akan memimpin doa, muncul seorang murid yang baru kembali dari WC dan mengaku belum mendapatkan jatah. Akhirnya, dengan sabar, siswa yang bertugas mengambil sebuah piring, mengisinya dengan roti, sepotong buah kaki, dan sisa-sisa spaghetti di nampan. Melihat takaran spaghetti anak terakhir yang dilayaninya jauh lebih sedikit dibandingkan dengan milik teman-temannya, murid tersebut lalu berkeliling dan dengan sopan meminta murid yang ber-spaghetti banyak untuk bersedia memberikan sedikit miliknya sampai piring yang dia bawa berisi takaran yang sama dengan milik seisi kelas. Setelah masalah beres, guru pun memimpin doa dan makan siang pun dimulai dalam suasana penuh keakraban, sambil mendengarkan musik.

“Itadakimasu!” Begitu ucapan orang Jepang saat akan memulai makan.

Usai makan, kertas pembungkus susu dikumpulkan oleh anak-anak dalam sebuah plastik; begitu pula dengan sedotannya (straw). Nampan dan piring dikembalikan ke tempat semula untuk selanjutnya dicuci oleh petugas. Tak lupa di depan kelas, seorang siswa membacakan keras-keras informasi menu yang telah dinikmati hari ini; makanan apa yang dihidangkan beserta kandungan gizi di dalamnya.

Sekitar pukul 13.30, barulah acara mini- trip oleh anak-anak SD dimulai. Masing-masing dari kami dibawa keluar oleh siswa dalam kelompoknya masing-masing. Setelah menerima penjelasan singkat dari Ibu Guru, anak-anak lalu membawa kami berkeliling, didampingi oleh para volunteer (pensiunan dosen= profesor).

“Watch your step!” Kalimat peringatan ini berkali-kali diucapkan oleh siswa di kelompok saya setiap kali kami melewati jalan sempit atau tangga. Sambil melangkah, satu atau dua siswa mengajukan pertanyaan kepada saya, dan setia kali kami tiba di tempat penting, secara bergiliran siswa mencoba mendeskripsikannya dalam bahasa Inggris: This is ...... This place is ......”

Usai berjalan-jalan di bawah gerahnya panas matahari, kami kembali ke kelas untuk mengikuti kegiatan refleksi pembelajaran hari ini. Dua siswa bertugas sebagai pembaca acara dibantu oleh Ibu Guru. Satu per satu dari kami disilahkan menyampaikan kesan dan pesan. Agar siswa paham, bahasa kami pun diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang oleh guru. Lalu, siswa pun diberikan kesempatan untuk berceloteh (dalam bahasa Jepang) tentang pengalaman belajar yang didapat bersama kami.

Pukul 15.30 acara pun selesai; anak-anak melepas kepulangan kami dengan wajah berbinar-binar sambil berucap:

“Thank you. See you......!”

Di hari Arafah ini, saya mendapatkan hikmah dan pelajaran yang tak ternilai dari proses pembelajaran sekolah di Jepang, membuat saya rindu pada murid-muridku di tanah air.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun