Mohon tunggu...
TJIPTADINATA EFFENDI
TJIPTADINATA EFFENDI Mohon Tunggu... Konsultan - Kompasianer of the Year 2014

Lahir di Padang,21 Mei 1943

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Perbedaan dalam Memaknai Kata "Gengsi"

14 November 2018   20:34 Diperbarui: 17 November 2018   20:38 1600
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pengertian "gengsi" ternyata memiliki multitafsir. Gengsi berbelanja di toko barang bekas, karena merasa diri kaya. Gengsi makan di warung bawah tenda, karena merasa tempat ini hanya layak untuk golongan warga yang hidupnya pas-pasan. Gengsi  untuk berbelanja dipasar, karena yang berbelanja di sana adalah kaum ibu yang perlu memperhitungkan setiap rupiah untuk pengeluaran kebutuhan dapur.

dokumentasi pribadi
dokumentasi pribadi
Makna Gengsi di Australia: "Kalau bisa beli, mengapa ambil yang gratis?"

Pengalaman pertama adalah ketika sore hari kami singgah untuk membeli roti di supermarket yang jaraknya hanya beberapa menit berkendara dari kediaman kami. Kami dilayani dengan sangat baik oleh gadis yang melayani di toko roti tersebut. Dan sesuai permintaan kami, roti tersebut dipotong-potong agar setibanya di rumah, kami tidak perlu sibuk memotongnya lagi.

Ketika sudah siap dibungkus, roti tersebut diserahkan kepada istri saya. Tapi ketika istri saya menyerahkan selembar uang untuk membayar, si gadis pelayan toko tersenyum sambil berkata, "Tidak perlu membayar, roti ini gratis. Karena sudah pukul lima sore dan kas kami sudah ditutup".

Untuk sesaat kami terdiam, karena dalam hati sempat terpikir, masa iya ada orang jualan nggak mau terima uang. 

Tapi kami tidak sempat terpana berlama lama, karena bungkusan roti sudah disodorkan kehadapan kami, oleh gadis yang  melayani di toko roti tersebut.

Di belakang kami ternyata ada sepasang suami ini yang juga ingin membeli roti.. Istrinya bertampang Asia dan suaminya orang lokal.

Istrinya juga minta satu buah roti tawar agar dipotongkan seperti yang diserahkan kepada kami. Tapi suaminya mencegah sambil berbisik, "Kita punya uang untuk membeli. Mengapa harus ambil yang gratis? Biarlah orang lain yang lebih membutuhkan mendapatkannya."

berfoto bersama para relawan:dokumentasi pribadi
berfoto bersama para relawan:dokumentasi pribadi
Di kesempatan lain

Kami sering berkumpul dengan teman-teman relawan baik di  Senior Club maupun yang sering membantu di Second Hands Shop di Warilla. Di sana juga ada roti dan aneka ragam biskuit yang disumbangkan oleh pabrik roti dan supermarket.

Yang datang berbelanja di sini hampir seluruhnya adalah para pendatang, baik dari Asia maupun Eropa Timur. Di antara yang datang berbelanja ada seorang wanita yang berpakaian sangat sederhana. Namun ketika kepadanya ditawarkan untuk mengambil sebuah roti yang masih hangat anehnya ia menolak dengan halus sambil berkata, "No, thank you.Saya bisa beli. Biarlah orang lain yang lebih membutuhkan yang mengambilnya".

Menurut Lanny, yang sudah lama bertugas sebagai relawan di sana pernah mereka membuka dapur umum bagi yang membutuhkan makanan. Namun hanya bertahan selama 3 hari. Bukan karena kehabisan bahan makanan, tapi justru yang datang hanya satu dua orang saja, sehingga masakan yang sudah dipersiapkan, terpaksa dibawa pulang kembali.

dokumentasi pribadi
dokumentasi pribadi
Rest Area  Gratis

Ketika kami dalam perjalanan jauh untuk kelokasi Camping di Jingerlik, di pertengahan perjalanan ada rest area yang disediakan oleh para relawan. Di sana kendaraan berhenti untuk istirahat dan bersih bersih diri di rest room. Ada kopi dan teh hangat disediakan dan juga makanan kecil. Semuanya disediakan secara gratis.

Sambil mereguk secangkir kopi hangat mata saya mencoba melirik ke arah para pengunjung. Namun semuanya antre dengan tertib dan masing-masing hanya mengambil satu potong roti atau biskuit dan secangkir kopi. Walaupun tidak ada orang yang mengawasi. Dalam hati kecil saya merasa salut menyaksikan bahwa budaya antre sungguh sudah mendarah daging bagi mereka. Begitu juga budaya malu: untuk tidak mengambil barang gratis,karena mereka mampu untuk membelinya. Walaupun kalau seandainya mereka ikut mengambil, tidak akan ada yang komplain,karena memang disediakan .

Kita bersyukur, ternyata di negeri kita juga sudah diterapkan cara seperti ini. Konon sudah ada "kantin kejujuran" dan sejenisnya. Namun saya belum pernah menyaksikan secara pribadi. Semoga ke depannya, orang-orang yang hidupnya sudah mapan dengan ikhlas mau memberikan kesempatan kepada orang lain yang lebih membutuhkan dengan tidak ikut mengambil bagian. Bila ada barang-barang yang disediakan secara gratis, kalimat, "bila bisa beli, mengapa ambil yang gratis?" hanyalah sebuah kalimat biasa biasa saja, namun memiliki makna yang mendalam.

Layanan Self Service

Belakangan ini super market jumbo seperti Coles dan Woolworth sudah menerapkan layanan Self Service. Para pengunjung  memilih produk yang diperlukannya dan kemudian membayar sendiri melalui automatic machine yang memang disediakan di sana. Di sinilah kejujuran dari para pembeli diuji.

Pernah istri saya dan putri kami berbelanja, namun sampai di parkiran baru tahu bahwa sepatu dan pakain belum di scanning, berarti belum dibayar. Buru-buru istri dan putri kami, balik ke Supermarket dan melaporkan ke petugas bahwa ada 2 jenis barang tidak ter-scanner, sehingga dalam daftar struk belanja tidak tampak datanya.

Mendidik agar warga mampu disiplin diri memang tidak mudah. Pertama harus ditanamkan betapa pentingnya menjaga kepercayaan yang diberikan kepada kita. Karena kalau kita tidak bisa mempercayai diri sendiri siapa lagi yang bisa percaya kepada kita ?

Tjiptadinata Effendi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun