Sejak lama bakpia sudah dikenal sebagai kudapan khas Yogyakarta. Tak sedikit yang menjadikannya buah tangan untuk kerabat dan keluarga di rumah.
Tentunya karena cita rasa bakpia yang gurih dan manis saat disantap. Ditambah varian rasanya yang beragam, membuat siapapun tergoda untuk mencicipinya.
Mulai dari rasa kacang hijau, cokelat, keju, kumbu alias kacang merah, nanas. Bahkan saat ini, ada pula pedagang yang menawarkan bakpia bercita rasa kekinian seperti cappucino dan teh hijau atau matcha.
Selain soal rasa, kisah dibalik pembuatan bakpia juga terbilang manis. Pasalnya kudapan ini merupakan buah akulturasi antara Jawa dan Tiongkok.
Hal itu diperkuat dengan hasil penelitian mahasiswi Universitas Gajah Mada (UGM), Amelia Puspita Sari. Dalam penelitiannya yang berjudul 'Bakpia Sebagai Bentuk Akulturasi Budaya Indonesia dan Tiongkok di Bidang Kuliner (Studi Kasus Bakpia 29)', diterangkan bahwa bakpia terbentuk dari pengaruh akulturasi budaya Tionghoa dan Jawa.
Berdasar hasil penelitian Pusat Kajian Makanan Tradisional Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Prof Dr Murdijati Gardjito, turut diterangkan bahwa bakpia menjadi hasil benturan budaya yang tidak berbahaya. Malah hasilnya nikmat dan enak.
Bakpia berasal dari kata Tou Luk Pia yang merupakan dialek Hokkian. Artinya adalah kue atau roti empuk berisi daging.
Penganan yang juga disebut pia atau kue pia ini, masuk ke Yogyakarta pada 1940-an. Bakpia dibawa oleh pendatang Tiongkok, Kwik Sun Kwok.
Kemudian Kwik menyewa sebidang tanah milik warga lokal bernama Niti Gurnito di Kampung Suryowijayan, Kecamatan Mantrijeron, Yogyakarta. Awalnya, ia membuat bakpia dibuat dengan isian berupa daging plus minyak babi.
Sayangnya kurang diminati, lantas ia memodifikasi bakpia dengan isian kacang hijau. Bakpia dipanggang secara tradisional, yakni dengan arang.
Arang tadi dibeli Kwik dari temannya, Liem Bok Sing yang juga pendatang asal Tiongkok. Kian lama, bakpianya digemari banyak orang.