Mohon tunggu...
George
George Mohon Tunggu... Konsultan - https://omgege.com/

https://omgege.com/

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Menjadikan Pancasila sebagai "Leitstar" Penyelesaian Masalah Papua

21 Agustus 2019   22:25 Diperbarui: 21 Agustus 2019   22:32 1385
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Anak-anak Papua [missjunenews.com]

Kabar menarik tentang pencarian jalan keluar terbaik penyelesaian problem Papua datang dari Yogyakarta, kurang lebih sepekan sebelum peristiwa perlakuan tak manusiawi dialami mahasiswa Papua di Malang dan Surabaya.

Tepatnya 5-7 Agustus, 300an pemuda Papua, baik yang datang dari Papua dan Papua Barat, mahasiswa di kota-kota di Jawa, Bali, Lombok, dan Sulawesi, pun para professional muda, akademisi, dan birokrat muda Papua berdiskusi dalam musyawarah besar membahas berbagai problem Papua dan jalan keluarnya. Temanya menarik, "Menangkan Pancasila di Bumi Papua". Penyelenggaranya adalah Partai Rakyat Demokratik (PRD).

Sejumlah kelompok progresif mungkin mencibir sebab tidak seperti persoalan Aceh dan Timor Leste, untuk Papua PRD tidak menawarkan referendum sebagai jalan keluar. Yang ditawarkan adalah dialog seluas-luasnya plus sejumlah program di lapangan ekonomi, politik, dan kebudayaan.

Dialog seluas-luasnya, bukan referendum, sejalan dengan tema besar yang ditawarkan PRD: menangkan Pancasila di Bumi Papua.

Saya tidak akan banyak mengulas sejumlah tawaran jalan keluar menarik dari PRD bersama para pemuda Papua di Mubes itu. Soal ini Om-Tante bisa baca sendiri dalam laporan di Berdikari Online, "Resolusi PRD Untuk Papua, Dari Dialog Seluas-Luasnya Hingga Dewan Rakyat Papua".

Dalam artikel ini, saya lebih senang untuk berbagi permenungan dangkal saya tentang prinsip-prinsip penyelesaian problem Papua dengan menjadikan Pancasila sebagai leitstar atau bintang penuntun sekaligus leitmotiv, dorongan pokoknya. Mungkin nanti akan bertemu dengan teknis programatik yang ditawarkan PRD dan kawan-kawan Papuanya.

Mengacu Bung Karno, Pancasila pada dasarnya sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi berdasarkan Ketuhanan. Bicara sosio-nasionalisme berarti bicara keseimbangan antara dua unsur sama penting: kemanusiaan dan kebangsaan. Bicara sosio-demokrasi berarti omong soal demokrasi politik plus demokrasi sosial-ekonomi, alias keadilan sosial.

# Sosio-nasionalisme dalam penyelesaian problem Papua.

Menyelesaikan problem Papua dalam bingkai sosio-nasionalisme berarti pertama-tama kita perlu sepakat bahwa pijakan kita adalah Papua merupakan bagian tak terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Maka tidak ada opsi hak menentukan nasip sendiri,  tidak ada ruang bagi tuntutan referendum dengan opsi merdeka versus integrasi. Inilah perwujudan prinsip persatuan Indonesia alias kebangsaan itu.

Kebangsaan tidak bisa berdiri sendiri. Ia harus pula diimbangi dengan kemanusiaan. Pendekatan yang mengutamakan kebangsaan di atas kemanusiaan akan berujung penggunaan kekerasan dalam menangani keresahan dan aspirasi rakyat Papua.

Pendekatan kebangsaan an sich inilah yang sejak dahulu, dan cenderungdipertahankan hingga kini dalam meredam keresahan dan aspirasi orang-orang Papua. Padahal sudah terbukti, sejak Timor Leste, Aceh, dan Papua, pendekatan represi militer bukan saja tidak mampu menyelesaikan problem, malah memperluas dan memperdalam sentimen separatis.

Prinsip kemanusiaan atau internasionalisme berarti memandang orang-orang Papua sebagai sesama saudara, sesama umat manusia. Tentu saja itu berarti setara derajatnya, setara hak-haknya, setara martabatnya dengan etnis dan penduduk pulau atau provinsi manapun di Indonesia.

Memandang Papua dengan kacamata kemanusaian berarti bukan wilayah geografis Papua yang harus dirangkul; bukan kekayaan tambangnya, bukan hutan-hutan yang bisa dipersembahkan bagi investor sawit yang harus dicintai, melainkan manusia-manusianya, orang-orang Papua.

Perlakuan represif, diskriminatif dan rasis---kenyataan gamblang yang dibantah sejumlah petinggi seperti Kapolri dan Menkopolhukam Wiranto---dalam kejadian di Malang dan Surabaya beberapa hari terakhir, pun aksi-aksi represi di Papua dan wilayah lain selama ini adalah cermin absennya prinsip kemanusiaan.

# Sosio-demokrasi dalam penyelesaian problem Papua.

Sosio-demokasi adalah perasan dari prinsip demokrasi politik dan keadilan sosial.

Demokrasi politik a la Indonesia sejatinya bukan demokrasi voting, demokrasi menang-menangan. Demokrasi politik asli Indonesia adalah demokrasi musyawarah, demokrasi lonto-leok (Manggarai: duduk melingkar), demokrasi bertukar gagasan agar saling paham sehingga tercipta mufakat.

Sosio-demokrasi berarti demokrasi politik harus dibarengi demokrasi ekonomi, demokrasi yang mencegah penguasaan sumber daya agraria, sumber daya alam, dan aset produksi strategis berada di tangan segelintir elit ekonomi. Wujud dari adanya demokrasi ekonomi adalah keadilan sosial.

Sudahkah demokrasi musyawarah-mufakat diterapkan dalam menyelesaikan problem Papua? Benarkah setiap kelompok masyarakat di Papua terwakili dalam lembaga musyawarah? Apakah suku-suku di Papua yang merupakan satuan politik akar rumput de facto terwakili semua dalam lembaga musyarawah? Atau kita memaksakan kelembagaan yang asing, lembaga kongkow parpol-parpol, sistem yang belum lazim bagi orang Papua?

Ketika kepada mereka disodorkan Majelis Rakyat Papua, apakah benar MRP itu berisi representasi seluruh suku-suku? Apakah MRP itu sungguh-sungguh lembaga kekuasan atau ia cuma aksesoris dengan wewenang lebih terbatas dibanding Volksrat yang diberikan Belanda kepada kita dahulu? Siapa yang sesungguhnya meng-exercise kekuasaan legislatif di Papua, DPR Papua ataukah MRP?

Beranikah kita serius melaksanakan desentralisasi asimetris dengan merombak MRP dan DPR-P, menggabungkannya menjadi lembaga legislatif tunggal yang berisi baik perwakilan parpol, perwakilan suku-suku, kaum perempuan, pun kelompok agama?

Beranikah kita untuk tulus membiarkan suku-suku di Papua sungguh terlibat dalam memutuskan kebijakan publik di semua lini pembangunan, dan bukannya dikandangkan semata-mata pada urusan adat, agama, dan aspirasi perempuan?

Untuk soal demokrasi ekonomi, apakah benar pendekatan pembangunan selama ini menempatkan rakyat Papua sebagai subjek? Apakah pembangunan infrastruktur sejalan dengan melindungi hak rakyat Papua atas sumber daya agraria dan daya dukung alam? Ataukah sebaliknya, kepada mereka kita berikan jalan raya aspal licin tetapi dari mereka kita rampas hutan tempat mereka gantungkan hidup sebagai masyarakat agraris, berburu, dan mengumpulkan makanan yang subsistens, kemudian kita ganti dengan kebun-kebun sawit menghampar luas?

Beranikah kita bikin terobosan besar-besaran untuk mengejar ketertinggaan indeks pembangunan manusia di Papua dalam rentang waktu yang ditarget 5 tahun? Mungkinkah pemerintah berani melakukan perekrutan besar-besaran relawan pengajar dan petugas kesehatan untuk satu gerakan semesta memajukan pendidikan dan kesehatan di Papua?

#Pemerintahan Jokowi sudah berbuat, tetapi perlu ngegas lagi sembari mengerem mobilisasi alat koersif

Perlu diakui perhatian besar pemerintahan Joko Widodo terhadap Papua. Ada cukup banyak perubahan positif terjadi di sana. Tetapi masih banyak pula PR yang perlu dikejar, di-geber untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas. Masih banyak pola pendekatan yang perlu diganti, juga reformasi kelembagaan agar Pancasila, sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi berlandaskan Ketuhanan mewujud di Papua.

Upaya meng-geber itu harus dipadukan dengan meminimalisir kehadiran tentara dan pendekatan koersif dalam mengatasi ekspresi keresahan orang-orang Papua.

Saya yakin, jika Pancasila sungguh-sungguh dijadikan bintang penuntun dalam menyelesaikan problem Papua, aspirasi kemerdekaan akan meredup. Untuk apa lagi? Sebab jika Pancasila sunguh-sungguh dijadikan landasan, penuntun, dan cita-cita dalam kehidupan publik, tiap-tiap individu dan kelompok sosial sesungguhnya sudah merdeka.

Well, kelak jika Pancasila sungguh dibumikan---tidak menggantung di pidato ketua umum dalam pembukaan kongres partai politik--beberapa kelompok mungkin masih menyuarakan aspirasi kemerdekaan, tetapi sudah sayup-sayup, seperti suara kekasih menelpon selingkuhannya dari ruang sebelah. Sangat pelan dan gugup. Biarlah itu menjadi bunga demokrasi.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun