Mohon tunggu...
Thomas Je
Thomas Je Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis yang ingin ditulis

There's no Superman.....\r\n\r\n...menulis yang ingin ditulis....

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Hati-hati dengan Jebakan "Monkey Business!"

6 Maret 2020   12:53 Diperbarui: 11 Maret 2020   13:57 27197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi meraup banyak untung dari penipuan bisnis. (Sumber: KOMPAS/Jitet)

Kita tentu masih ingat dengan euphoria bisnis-bisnis ini: tanaman, Gelombang Cinta (Anthurium); batu: Akik; ikan, Arwana, Louhan; burung, Love Bird; dan masih banyak lagi kehebohan peluang bisnis di atas yang menghebohkan masyarakat kita. Harga jual mereka menjadi selangit saat booming.

Saya ingat betul mendiang bapak saya, waktu masih hot-hotnya gelombang cinta, kalau pulang dari tugas luar kota selalu membawa 1 pot tanaman ini. Ibu saya yang mungkin lebih rasional selalu ngomel, karena harganya 1 pot kecil minimal waktu itu 100rb-500rb untuk bibit tanaman yang masih kecil saja.

Bapak bilang kalau sudah besar dipindahkan ke pot, nanti harganya bisa puluhan bahkan ratusan juta. Dan akhirnya semuanya tidak ada harganya saat ini. Kalaupun ada yang membeli ya harganya wajar saja seperti tanaman lainnya.

Dalam dunia bisnis, Monkey Business  bukan berarti bisnis monyet secara harafiah, namun bisnis yang diibaratkan seperti monyet yang ketika dia mendapatkan makanan/keuntungan, kemudian akan lari/kabur.

Kira-kira sudah ada gambaran ya, ini bisnis yang seperti apa? Saya akan mencoba memberikan sebuah analogi dengan cerita berikut ini, yang sebenarnya sudah cukup banyak diceritakan juga di tempat lain.

Alkisah suatu hari di desa Sukamiskin, pak Jayeng seorang pendatang yang kaya raya mengumumkan akan membeli monyet dengan harga Rp. 50,000 per ekor. Padahal monyet-monyet disana saat itu sama sekali tidak ada harganya karena jumlahnya yang sangat banyak dan kerap dianggap sebagai hama pemakan tanaman dan buah-buahan.

Para penduduk desa yang menyadari bahwa banyak monyet disekitar desa pun kemudian mulai masuk hutan dan menangkapinya satu persatu. Kemudian pak Jayeng membeli ratusan ekor monyet dengan harga Rp 50,000 per ekornya. Karena penangkapan secara besar-besaran akhirnya monyet-monyet semakin sulit dicari, penduduk Sukamiskin pun menghentikan usahanya untuk menangkapi monyet-monyet tersebut.

Hari berikutnya pak Jayeng kembali mengumumkan akan membeli monyet dengan harga yang lebih tinggi, yaitu Rp 100,000 per ekor. Tentu saja hal ini memberi semangat bagi penduduk desa untuk kemudian mulai untuk menangkapi monyet lagi.

ilustrasi Monkey Business (sumber: deviantart.com/d-mac)
ilustrasi Monkey Business (sumber: deviantart.com/d-mac)
Tak berapa lama, jumlah monyet pun semakin sedikit dari hari ke hari dan semakin sulit dicari, kemudian penduduk pun kembali ke aktifitas seperti biasanya, yaitu bertani dan berkebun. Karena monyet kini telah langka, harga monyet pun meroket naik hingga  Rp 150,000 per ekornya. 

Tapi tetap saja monyet sudah sangat sulit dicari. Dan akhirnya suatu hari pak Jayeng mengumumkan kepada penduduk desa bahwa ia akan membeli monyet dengan harga Rp 500,000 per-ekor!

Namun, karena Pak Jayeng dan keluarganya harus pergi ke kota karena ada urusan, maka asisten pribadinya akan menggantikan sementara untuk mengelola bisnis atas namanya.

Dengan tidak adanya kehadiran pak Jayeng, sang asisten pun berkata pada penduduk desa: Lihatlah monyet-monyet yang ada di kurungan besar yang dikumpulkan oleh Bosnya, pak Jayeng. Saya akan menjual monyet-monyet itu kepada kalian dengan harga Rp 350,000 per ekor dan saat pak Jayeng kembali, kalian bisa menjualnya kembali kepadanya dengan  harga Rp 500,000 per ekor. 

Akhirnya, penduduk Sukamiskin pun mengumpulkan uang simpanan mereka dan  membeli semua monyet yang ada di kurungan.  Namun kemudianm mereka tak pernah lagi melihat pak Jayeng maupun sang sisten di desa itu.

Yes that's it, Monkey Bussines!

Sebagaian besar masyarakat Indonesia sangat mudah terpengaruh oleh hal-hal seperti ini. Ingin dengan mudah dan cepat mendapatkan keuntungan yang sangat besar, namun tidak pernah berpikir secara rasional. Apakah bisnis ini nyata? dalam artian seperti bisnis-bisnis yang sudah berjalan?

Mari kita berpikir kritis dan logis. Misalnya saat booming tanaman gelombang cinta a.k.a anthurium. Harga normal tanaman ini sebenarnya adalah sekitar Rp. 10.000 sampai dengan Rp. 50.000 saja.  Bahkan saat ini di marketplace, harga bibitnya mulai Rp. 7.500.

Waktu booming kala itu, harganya bisa 10 kali lipat, bahkan yang sudah ukuran besar, bisa 100 kali lipat. Memang para pemodal yang mempermainkan harga ini tahu betul sifat orang Indonesia yang mau cepat kaya tanpa usaha keras. Jadi sebenarnya bisnis anthurium waktu itu menjadi besar karena ulah jahat pengusaha-pengusaha "hitam". 

Begitu juga dengan batu akik dan lainnya. Bahkan ada juga versi lainnya juga yang tidak berupa barang, namun pengumpulan dan perputaran uang, yaitu arisan bodong. Jika kita mau jeli, pengelola arisan ini biasanya memberikan iming-iming kepada anggota/membernya, untuk mengikuti sebuah kelompok arisan dengan keuntungan berlipat.

Saat awal atau di satu putaran pertama hingga selesai, akan disetting sedemikian rupa, sehingga keuntungan bisa dirasakan oleh anggotanya, sehingga pada periode berikutnya mereka dirayu untuk meningkatkan jumlah saldo arisannya.

Anggota arisan ini awalnya juga tidak merasa khawatir, karena keuntungan sebelumnya yang mereka dapatkan (ini memang sengaja dibuat oleh si pengelola penipunya). 

Kemudian dengan jumlah anggota yang semakin banyak serta iuran yang lebih tinggi, maka uang yang dikumpulkan oleh pihak penyelenggara sangat banyak sekali hingga mencapai angka ratusan bahkan mencapai miliaran.

Penyelenggara arisan kemudian kabur dengan uang yang ada di tangan. Dalam beberapa kasus, jumlah anggota arisan ini bahkan mencapai puluhan ribu orang. Bayangkan betapa massifnya bisnis tipu-tipu ini, dengan korban yang tentu tidak sedikit.

Mari kita lebih bijak lagi memilih dan memilah tawaran bisnis apapun dengan rasional, agar terhindar dari kerugian besar karena "kebodohan" kita sendiri.

Monkey business make some people like a monkey.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun