Mohon tunggu...
Khoiril Basyar
Khoiril Basyar Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Terus belajar untuk memberi manfaat kepada sesama

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

(Sebatang Kara) di Usia Senja

12 Januari 2016   06:39 Diperbarui: 12 Januari 2016   08:07 503
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="tua renta tak berdaya"][/Bass Photography]Usia tua seharusnya dihabiskan untuk beristirahat dirumah dan bermain dengan cucu-cucunya. Setiap hari dilayani anak dan sudah tidak perlu lagi bekerja untuk memenuhi kebutuhannya. Seharusnya demikian. Tapi itu tidak berlaku bagi nenek berusia 80 tahunan ini. Namanya Sidon, saya sendiri tidak tahu siapa nama aslinya tapi orang orang memanggilnya buyut Sidon.

Beliau tinggal di desa kecil di Kab. Pekalongan, tepatnya di Desa Dadi Rejo, Kec. Tirto. Sebenarnya Desa ini tidak termasuk terbelakang, namun tempat tinggal buyut Sidon berada di tepi sawah dengan hanya ada beberapa tetangga. Jika dibilang sebatang kara, sebenarnya kurang cocok karena beliau memiliki seorang anak. Namun beliau memang tak pernah tinggal bersama sang anak. Beliau sangat mengharapkan dapat memiliki Anak laki-laki yang bisa ia banggakan. Tapi pada kenyataannya tidak demikian, anaknya sama sekali tidak berbakti padanya.

Keluarga anak semata wayangnya itu berantakan, istrinya entah dimana, anaknya kemana juga tidak jelas. Yang lebih tidak jelas lagi adalah pekerjaannya, ia sendiri tidak memiliki pekerjaan. Parahnya lagi ia tidak membantu ibunya malah justru selalu merepotkan. Saya juga sangat miris kenapa ada anak yang tidak merawat ibunya yang sudah tua renta. yang lebih tidak dapat di percaya adalah dia pulang kerumah hanya untuk meminta uang pada ibunya. Ya, dialah Damiri. Anak yang sama sekali tidak memperdulikan ibunya.

Buyut Sidon memang hidup sendiri di gubugnya, mangapa saya sebut gubug? Karena rumah itu tak layak lagi di sebut rumah. Ukurannya memang cukup besar, hampir seukuran dengan rumah yang lain, namun keadaannya sungguh jauh dari kata layak huni. Atap rumah itu masih menggunakan daun kelapa yang di anyam, karena sudah terlalu lama tidak di ganti maka setiap hujan beliau harus pasrah jika banyak diantara atapnya yang bocor. Yang membuat saya kaget, ternyata bagian dapur rumah beliau sudah ambruk. Ini disebabkan karena tiang penyangganya memang sudah tua dan beliau tidak lagi mampu untuk memperbaikinya. Dinding rumahnya juga masih menggunakan bambu yang di anyam atau orang jawa biasa menyebutnya pagar (pager). Keadaan pagarnya juga tak kalah memprihatinkan, banyak dari pengunci pagar yang sudah lepas. Jelas ini sangat membahayakan karena apabila sewaktu waktu angin meniup maka bisa saja rumah itu roboh.

Buyut Sidon sendiri tiap hari memang masih aktif bekerja, walau jarak sekitar 2 km ia tempuh tiap hari dengan jalan kaki. Maklum saja, beliau ini tidak pernah bisa naik kendaraan jadi agak menyulitkan orang yang ingin memberi tumpangan padanya. Dengan menempuh jarak sejauh itu, buyut Sidon tidak pernah mengeluh, ia justru selalu bersyukur karena masih dapat di beri kesehatan sehingga masih bisa bekerja.

Lalu pekerjaan apa yang beliau lakukan?

Sebagai orang pekalongan maka keterampilan yang beliau dapat lakukan adalah membatik. Rata rata orang pekalongan memang dapat membatik, dan di pekalongan sendiri untuk pekerjaan membatik selalu tersedia lowongan dimana mana. Batik asli yang di kerjakan dengan tangan serta melalui proses pembatikan dengan cara Cap maupun Tulis, dapat memiliki harga jual yang sangat tinggi. Namun ada kisah pilu di balik nama besar Batik itu sendiri. Ya… para pekerjanya rata rata mendapatkan upah yang jauh dari kata cukup. Dengan resiko dan kemungkinan penyakit yang sangat tinggi maka tidak layak sebenarnya jika para pekerja batik di bayar dengan upah murah.

Lalu berapa penghasilan Buyut Sidon?

Saya tak tega menyebutkannya, namun yang pasti anda tidak akan dapat membayangkan bagaimana cara beliau bertahan hidup. Penghasilan yang beliau terima selama sehari hanya berkisar antara 5000 hingga 7000 saja. Kalau ini dalam dolar AS jelas sangat banyak, namun beliau dibayar dengan rupiah. Jika beliau bekerja selama 6 hari seminggu maka hanya dapat menghasilkan sekitar 42.000 saja. Saya awalnya sangat kaget saat mengetahui upah yang beliau dapatkan hanya sebesar itu. Padahal harga beras saja sekitar 10.000 per kilo, jadi untuk membeli beras satu kilo saja tak cukup.

Namun beliau tak pernah mengeluh, dan beliau juga tidak pernah meminta tambahan upah pada bosnya. Beliau begitu ikhlas menerima setiap rejeki yang di dapatkan. Sungguh mulia beliau ini. Dalam hidup beliau tak mengenal kata meminta, meskipun penghasilannya sangat kecil tetapi beliau tetap bersyukur masih memiliki penghasilan. Jika ada orang yang berbaik hati memberikan Sesuatu pada beliau maka beliau akan menerimanya, tapi jika tidak ada orang yang memberikan sesuatu maka beliau tidak pernah memintanya.

Hidup yang selalu beliau syukuri memang tak lepas dari pengetahuannya akan agama yang ia miliki. Walaupun sudah sangat tua namun beliau tetap semangat untuk datang ke pengajian. Beliau juga tergabung dalam jamaah suatu pengajian. Beliau masih memegang prinsip bahwa Allah akan selalu bersamanya. Beliau juga tak pernah takut jika sewaktu waktu beliau meninggal, karena mungkin keikhlasan yang selalu beliau terapkan sehari hari menjadikannya sebagai wanita yang kuat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun