Mohon tunggu...
Thamrin Sonata
Thamrin Sonata Mohon Tunggu... Penulis - Wiswasta

Penulis, Pembaca, Penerbit, Penonton, dan penyuka seni-budaya. Penebar literasi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Cuma Menuliskan, Keindonesiaan di Kompasiana

17 Agustus 2017   18:18 Diperbarui: 18 Agustus 2017   09:26 449
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Buku yang saya editori: kumpulan karya Kompasianer (dok.pri)

Ketika Proklamasi dikumandangkan oleh Bung Karno -- di  sekitar Tugu Proklamasi sekarang -- saya belum lahir. Dan sepertinya bukan bagian dari "Kami bangsa Indonesia", ketika bangsa ini memasuki usia 72 tahun. Sehingga nasionalisme saya kayaknya terkoyak. Saya abai pada republica.

Padahal, Republica itu terjemahan lain dari kemaslahatan bersama dalam arti seluas-luasnya. Yakni dari kata Republik tersimpul makna filosofis yang dalam. Lha, kenapa ketika hari ini, Kamis 17 Agustus 2017 Proklamasi dikumandangkan di Istana Negara dalam sebuah upacara maha penting saya hanya berkeliling dengan sepeda di sekitar tempat tinggal. Ada pemandangan yang asing, karena kebetulan di rumah tidak masak khusus. Di mana banyak warung, termasuk warung nasi uduk kelas kampung tidak berjualan. Warga sebagian sedang mempersiapkan untuk sebuah ritual Lomba makan Krupuk dan sebangsanya. Krupuk bagian dari nasi uduk ikut untuk lomba? Entahlah.

Negeri berserak di 17 000 lebih pulau dengan 1.340 suku, dan kebetulan saya bersuku Jawa yang mayoritas yakni 41 persen dari total populasi (260 juta jiwa), nggak (pernah) banyak menyumbang kepada negeri ini. Memang, saya suka makan krupuk sebagai orang Jawa -- seperti sebagian dari penggemar makanan ringan yang melempem kalau tersiram air. Ya, saya melempem melihat Ketua Wakil Rakyat saya menjadi tersangka uang yang konon untuk pembuatan kartu identitas diri saya dan warga negara ini. E-KTP.  

Tentang Pancasila yang kini sedang
Tentang Pancasila yang kini sedang
Semalam, ketika ada renungan Kemerdekaan di tempat lapang di perumahan kami pinggiran ibukota negara yang sedang seksi dihias dengan dominasi merah-putih, juga saya tak ikut hadir. Saya ini jadi teringat sebuah puisi yang ditulis oleh perempuan sosialis Belanda Henriette Roland Holst yang terjemahan bebasnya ditulis oleh aktivis Rahman Tolleng:

Kami ini bukanlah pembangun candi                          

Kami hanyalah pengangkut bebatuan

Kami adalah angkatan yang musti punah

Agar tumbuh generasi yang lebih sempurna di atas kuburan kami.

Makin jauh saja saya kalau ditanya perihal nasionalisme saya atau apa pun yang bisa disumbangkan terhadap bangsa dan negara ini.

Saya bukan muda lagi, yang dikepung gadget sehingga mungkin saat dikumandangkan Proklamasi masih asyik memencet-mencet gawainya. Saya tertatih-tatih kalau berjalan-jalan ke pelosok negeri sebagai pewarta -- di situlah saya pernah ditebak dengan tepat  hobi makan krupuk sebagai Si Jawa di Kalimantan Selatan -- dalam mengabarkan negeri Bangsa Tempe, istilah Bung Karno.

Sekali lagi, saya hanya bisa mewartakan apa yang saya lihat-dengar-rasakan dari denyut nadi mereka yang ternyata banyak yang masih makan seadanya -- bahkan tidak dengan krupuk sekalipun. Ya, saya tuliskan, dan kemudian menjadi buku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun