Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Apakah Harus Menangis dalam Mimpi dan Tertawa dalam Kenyataan Saat Memandang Diri sebagai Masa Depan?

11 Maret 2020   00:05 Diperbarui: 13 Maret 2020   07:41 289
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://i.pinimg.com

Pada suatu pagi di tanggal 9/10/2019, demi mendapat kabar bahwa tim badminton junior Indonesia mencetak sejarah dengan menumbangkan salah satu tim raksasa badminton dunia, Tiongkok, dan meraih gelar Kejuaraan Dunia Badminton Junior Tahun 2019. Tim badminton junior Indonesia merebut Piala Suhandinata di Rusia. Ada rasa senang dan bangga karena bertambahnya hal positif yang bisa menumbuhkan harapkan baik atas masa depan bangsa kita.

Ada juga kabar sebelumnya, di mana tim sepokbola U-22 yang menjadi juara di ajang AFF 2019. Itu pun menambah sedikit rasa percaya diri dan kebanggaan sebagai anak bangsa.

Bersandar pada pandangan dialektika logika dinamis ala Hegel, di mana proses sintesis ide-ide sepanjang sejarah peradaban, selalu mendapatkan pendukung dan penentang secara bersamaan. Apa yang saya anggap baik, bisa dipandang buruk oleh yang lain dalam waktu yang sama. Apa yang saya anggap sebagai kebanggan, bisa dipandang tidak penting oleh yang lain dalam saat yang sama.

Namun, ada satu cara untuk mengukur sejauh mana diri kita telah cukup mengenal Indonesia, yakni dengan menambah pengetahuan kita tentang Indonesia. Adalah Plotinus, Filsuf Yunani yang adalah Bapak Neoplatonisme, yang mengatakan bahwa ilmu pengetahuan memiliki tiga tingkatan. Tiga tingkatan itu terdiri dari opini, sains, dan pencerahan.

Instrumen untuk pengetahuan pada tingkat opini menggunakan indra; kemudian sains menggunakan dialektika; dan pencerahan menggunakan intuisi. Kita tidak membahas ketiganya secara spesifik pada kesempatan ini. Apa yang menjadi fokus kita kali ini adalah soal pencerahan dan intuisi.

Bagi saya pribadi, berbicara soal pencerahan dan intuisi, maka langsung terbayang hal-hal yang bersifat rohani. Hal-hal seperti ini sering kali terasa memang tak ada habis-habisnya bila dibahas dalam tingkatan opini, karena tidak ada aturan pajak yang membatasi seseorang beropini termasuk terkait hal-hal yang rohani. Lebih baik tidak usah beropini tentang hal ini, bila tidak siap saling jual beli pembenaran diri.

Begitupun bila mencoba menghubungkan hal-hal yang rohani dengan sains. Seolah-olah sains adalah sesuatu yang akan selalu dan selamanya mengambil jalan yang berseberangan dengan iman. Makanya bagi sebagian yang senang membawa hal-hal imani ke dalam sebuah dialektika serius, kalau bukan makin kuat iman maka bisa menjadi gila. Kita tidak akan memilih menjadi gila saat ini.

Maka, bila berbicara tentang rohani, saya lebih tertarik menghayatinya dalam bentuk sebuah lagu rohani.

Ini adalah sebuah lagu yang dipersembahkan bagi saudara-saudari kita sebangsa, yang mengalami kelaparan, ketelanjangan, aniaya, penderitaan, didera sakit penyakit dan pencobaan-pencobaan lainnya.

Judul artikel ini sebenarnya sudah saya siapkan sejak 9 Oktober 2019 silam, dan saya rencanakan untuk dituliskan bila sudah mendapatkan ide yang sesuai untuk judul ini. Masa Depan Indonesia.

Kemudian, pada suatu pagi di 17 Januari 2020, sesaat setelah bangun tidur, istri saya mengatakan kalau saya sebelumnya tadi malam mengigau dalam tidur . Hal-hal yang saya ingat dari pagi hingga malam menjelang saya tidur semalam, sebenarnya tidak ada yang spesifik untuk bisa membuat saya senang atau sedih.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun