Pagi itu, di tepian pantai salah satu danau vulkanis terbesar di dunia, Danau Toba, Pak Kaban menerima sebuah kain tenun tradisional yang disampirkan di pundaknya, uis beka buluh. Disampirkan seperti selimut tipis yang menyelimuti separuh tubuhnya.Â
Ia adalah seorang pegawai negeri sipil yang telah menerima surat keputusan pemberhentian dengan hormat sebagai pegawai negeri sipil karena telah mencapai batas usia pensiun. Pak Kaban memasuki masa pensiun, itulah bahasa singkatnya.
Bersama rekan-rekan kerja, kami membuat sebuah acara untuk menghormatinya, mungkin bisa juga dibilang melepasnya, dengan sebuah acara kecil-kecilan, di tepi sebuah danau. Masa kerjanya tiga puluh tahun lebih sedikit.Â
Saya sendiri masih berumur dua puluh lima tahun saat ia pensiun itu. Waktu itu adalah tahun 2008. Dia sudah mengawali karier sebagai PNS pada saat saya masih berumur sekitar lima tahun. Dia sudah bekerja saat saya masih merengek meminta air tajin sebagai pengganti susu formula kepada ibu di kampung, begitulah kira-kira.
Saat itu, saya baru berdinas sekitar tiga tahun sebagai PNS. Itupun selama enam bulan pertama masa dinas, bukan di tempat bertugasnya Pak Kaban. Bisa dibilang saya baru mengenalnya dan bekerja di unit kerja yang sama hanya selama dua setengah tahun.Â
Tapi, entah karena hampir semua rekan kerja menjadi sendu pada hari yang cerah itu, saya ikut menitikkan air mata ketika berjabat tangan dengan lelaki jangkung yang telah mulai keriput, berselimut kain tenun, uis beka buluh itu. Ia memeluk saya, saya balas memeluknya, dan terasa air mata hangat di pipi.
Saya hanya ingat berkata kepadanya: "Selamat jalan senior," dan dia hanya membalas singkat: "Jangan melawan, anakku."
Kenapa saya harus menangis untuk seseorang yang hanya saya kenal selama dua setengah tahun dan sekarang harus berpisah, sementara hubungan saya dengannya hanya selama rentang waktu tujuh jam tiga puluh menit setiap harinya dan hanya selama lima hari dalam seminggu?
Saat itu, tidak ada hal lain yang lebih saya inginkan selain pensiun dari dunia kerja seperti yang terjadi dengan Pak Kaban. Kenyataannya, hal itu belum pernah terwujud sampai saat ini, saat dimana masa kerja saya sudah menginjak empat belas tahun. Saya belum pensiun.
Bedanya, kali ini saya belum mau pensiun. Saya ingat, kata-kata saya ke Ibu Pinem atau sebaliknya saat ini, tidak sama dengan kata-kata saya ke Pak Kaban atau sebaliknya pada waktu dulu. Saya telah bekerja di unit kerja yang sama dengan ibu ini selama dua tahun, lebih singkat enam bulan dibandingkan dengan bekerja bersama Pak Kaban waktu dulu.