Rasa penasaran saya tentang cerita para perempuan yang menjadi pelayan para tamu di warung-warung di sepanjang Pantura begitu menggebu. Tahun 2012, ketika saya memutuskan mudik ke Surabaya menggunakan bis, saya menjumpai pemandangan yang tidak biasa. Setelah bis meninggalkan tol Cikampek, melewati Pantura menuju Cirebon, saya melihat beberapa wanita dengan pakaian mini duduk di depan warung-warung yang berjejer.
Meski bisa saja saya mendapatkan kisah serupa dari membaca artikel atau tulisan di portal-portal investigasi atau sejenisnya, namun rasa penasaran yang menggebu menggiring saya datang langsung ke tempat itu. Ini tugas jurnalistik yang menarik. Â
"Silakan istirahat mas," suara itu terdengar ramah. Saya melambatkan laju motor dan memutuskan beristirahat.
"Mau kopi atau rokok mas?"
"Kopi saja mbak...." jawabku sambil menaruh bokong di kursi plastik. Semenit kemudian, segelas kopi hitam tersaji di meja kayu yang agak lusuh.
Sejurus kemudian, Dita, begitu ia mengenalkan namanya, menyodoriku rokok. "Maaf, saya tidak merokok." Setelah menyulut sebatang rokok filter, dia lalu duduk santai di kursi plastik di sebelah saya, menemani saya menghabiskan kopi.
Rokok filter putih itu dihisapnya dalam-dalam, lalu asapnya dikepulkan bergulung-gulung. Diterpa sinar lampu yang agak redup, aku dapat dengan jelas mengamati wajahnya yang putih dengan polesan bedak dan gincu.
Setelah aku sodorkan beberapa lembar puluhan ribu, mbak Dita akhirnya berhasil saya rayu agar mau bercerita tentang secuil perjalanan kelam kehidupannya. Aku menyayangkan, di usia yang tak lagi muda, ia tetap menggeluti profesinya itu. "Saya tidak memiliki keahlian mas. Pernah bekerja di Jakarta sebentar, namun tidak betah, lalu memutuskan pindah kemari." Asap rokok tebal kembali dikepulkan. "Sebelum ke sini, sudah ada beberapa teman yang bekerja dan menetap di sekitar sini."
"Di Jakarta, awalnya saya bekerja sebagai penjaga toko. Tapi, akhirnya saya juga bekerja seperti ini...." kata perempuan bertubuh sedikit gemuk itu.
"Sama saja dengan tempat dulu..., " ujarnya tersenyum.
"Tidak pulang ke kampung mbak?" tanyaku.