Mohon tunggu...
Taufiq Rahman
Taufiq Rahman Mohon Tunggu... Administrasi - profesional

Menyukai sunyi dan estetika masa lalu | Pecinta Kopi | mantan engineer dan titik titik...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Catatan Mudik (2): Payet yang Tak Lagi Punya Pesona

2 Agustus 2017   15:47 Diperbarui: 2 Agustus 2017   16:23 275
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Rasa penasaran saya tentang cerita para perempuan yang menjadi pelayan para tamu di warung-warung di sepanjang Pantura begitu menggebu. Tahun 2012, ketika saya memutuskan mudik ke Surabaya menggunakan bis, saya menjumpai pemandangan yang tidak biasa. Setelah bis meninggalkan tol Cikampek, melewati Pantura menuju Cirebon, saya melihat beberapa wanita dengan pakaian mini duduk di depan warung-warung yang berjejer.

Meski bisa saja saya mendapatkan kisah serupa dari membaca artikel atau tulisan di portal-portal investigasi atau sejenisnya, namun rasa penasaran yang menggebu menggiring saya datang langsung ke tempat itu. Ini tugas jurnalistik yang menarik.  

"Silakan istirahat mas," suara itu terdengar ramah. Saya melambatkan laju motor dan memutuskan beristirahat.

"Mau kopi atau rokok mas?"

"Kopi saja mbak...." jawabku sambil menaruh bokong di kursi plastik. Semenit kemudian, segelas kopi hitam tersaji di meja kayu yang agak lusuh.

Sejurus kemudian, Dita, begitu ia mengenalkan namanya, menyodoriku rokok. "Maaf, saya tidak merokok." Setelah menyulut sebatang rokok filter, dia lalu duduk santai di kursi plastik di sebelah saya, menemani saya menghabiskan kopi.

Rokok filter putih itu dihisapnya dalam-dalam, lalu asapnya dikepulkan bergulung-gulung. Diterpa sinar lampu yang agak redup, aku dapat dengan jelas mengamati wajahnya yang putih dengan polesan bedak dan gincu.

Setelah aku sodorkan beberapa lembar puluhan ribu, mbak Dita akhirnya berhasil saya rayu agar mau bercerita tentang secuil perjalanan kelam kehidupannya. Aku menyayangkan, di usia yang tak lagi muda, ia tetap menggeluti profesinya itu. "Saya tidak memiliki keahlian mas. Pernah bekerja di Jakarta sebentar, namun tidak betah, lalu memutuskan pindah kemari." Asap rokok tebal kembali dikepulkan. "Sebelum ke sini, sudah ada beberapa teman yang bekerja dan menetap di sekitar sini."

"Di Jakarta, awalnya saya bekerja sebagai penjaga toko. Tapi, akhirnya saya juga bekerja seperti ini...." kata perempuan bertubuh sedikit gemuk itu.

"Sama saja dengan tempat dulu..., " ujarnya tersenyum.

"Tidak pulang ke kampung mbak?" tanyaku.

"Belum tahu mas...." Aku menyeruput kopi yang mulai dingin. Bulan Ramadlan sudah tinggal beberapa hari lagi, namun ia tak juga punya rencana ingin segera pulang. Ia masih setia menunggu para tamu mampir ke warungnya, dan berharap mereka akan memberinya beberapa lembar lima-puluhan ribu.

Sudah sepekan belakangan, kata Dita, ia tak lagi mendapatkan tamu. Aku mencoba mengamati wajahnya lebih seksama. Aku menebak, umurnya mungkin sudah 40-an tahun. Umur yang bisa dikatakan tidak lagi muda untuk profesi seperti itu. Masa kejayaannya mungkin sudah hampir sampai di ujung, atau mungkin sudah lewat.   

Seorang penjual minuman yang saya temui, tak jauh dari tempat Dita mangkal, mengatakan jumlah wanita-wanita penjaga warung berkurang jauh dari hari-hari biasa, sebelum Ramadlan. "Warga disini tidak risih dengan kehadiran mereka, mas." Menurutnya, warga tetap menjalankan rutinitas sehari-hari tanpa merasa terganggu.

Dari kepingan-kepingan cerita mbak Dita, aku berusaha merangkum perjalanan hidupnya dan menyimpulkan jalan kehidupan yang ia pilih. Menikah muda, tidak bahagia, sering bertengkar, lalu bercerai. Ketiadaan pendamping hidup, rengekan anaknya yang meminta susu dan ketiadaan keahlian, ditambah godaan teman-temannya, membuatnya tidak berdaya. Kisah klasik.  

"Umur saya sudah tua, mas. Saya tidak memiliki apa-apa. Saya juga tidak memiliki keahlian, " ucap mbak Dita mengakhiri obrolan.

Patokbeusi, pukul 01.00, saya memutuskan melanjutkan perjalanan. Bunyi deru motor semakin riuh di jalanan Pantura dini hari itu. Puluhan ribu motor berdesak-desak di jalanan, bergegas ingin segera sampai di rumah dan bertemu dengan sanak saudara. Tapi tidak dengan mbak Dita. Ia tetap duduk di depan warung dan menunggu dengan setia rejeki datang menjemputnya.

Aku membayangkan, meski gemerlap dengan lampu dan tawa para lelaki di hari-hari biasa, para pengunjung pasti tak lagi melirik mbak Dita. Dengan tubuh agak gemuk dan usia yang tak lagi muda, mbak Dita seperti payet yang tak lagi punya pesona. Kasihan hidup dia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun