Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Akuntan - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kebenaran yang Segera Layu

30 September 2019   16:16 Diperbarui: 1 Oktober 2019   16:08 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Awan semakin sering nampak mengenakan kerudung kelabunya. Meski masih bisa menahan derai air matanya untuk membasahi kehidupan yang sudah mengering. Pohon rambutan sudah banyak menyihir dengan bakal hijau segar buahnya. Namun, bunga kamboja yang indah itu, sebentar lagi akan layu. Jangan pernah paksa aku bicara 'mengapa' (layu)?

Akhir-akhir ini, mau tidak mau, suasana demonstrasi menjadi topik yang menjadi kewajiban untuk diperbincangkan. Dengan berbagai macam pandangan yang membawa aspirasi dengan etikat penuh kebaikan. Setidaknya, lebih bak khusnudzon daripada hanya diskusi tanpa disertai dengan tindakan aktualnya.

Kita tidak bisa mengindahkan sebuah pertentangan, namun kita masih bisa menghindari perdebatan. Walaupun, kita tidak pernah bisa melepaskan diri sepenuhnya dikarenakan pengaruh lingkungan ataupun media sosial yang terlanjur menjebak kita. 

Ada yang cemas, khawatir, bahagia, bahkan ada yang tidak peduli sama sekali terhadap apa yang terjadi. Terlepas dari apapun yang mereka rasakan, kita tidak pernah bisa memaksakan seseorang untuk mengikuti jalan pemikiran yang lain. Sekalipun, kamu adalah seorang cendekiawan yang paling mendekati kebenaran di bagian akhirnya.

Tidak semua peristiwa demo ditunggangi, pun tidak semua demonstrasi juga bersih dari penumpang gelap alias provokator dengan berbagai kepentingannya. Tidak semua para demonstran memiliki adab yang baik. Begitupun sebaliknya, tidak semua pihak keamanan dapat menahan kesabaran jika terus mendapatkan provokasi oleh mereka yang jahil. Tapi, tuntutan media dan lingkungan selalu saja perlu suatu kejelasan, mana yang benar dan mana yang salah!

Apabila kita mencermati, undang-undang yang sedemikian rupa mengapa sangat lebih menggerakkan massa dibandingkan dengan mereka yang mengusung konsep keagamaan? Tentu ada faktor-faktor yang mempengaruhinya, tapi apakah itu? Padahal sudah jelas kalau persoalan agama seharusnya lebih sensitif. Namun nyatanya, isu mengenai hukum manusia lebih banyak menggerakkan dan lebih viral.

Hanya saja, terdapat garis benang merah yang sangat jelas, yaitu kesamaan rasa. Rasa muak dengan sikap para wakil rakyat yang seperti itu (silahkan nilai sendiri). Antara wakil dan yang diwakilkan tidak terjalin sinergi yang bagus. Negara ataupun negeri sudah semakin tidak jelas. 

Kalau keadaan yang terpelihara seperti ini terus, secara pribadi saya sangat tidak setuju jika negara ini menjadi negara yang maju, terlebih secara ekonomi. Alangkah lebih baik menjadi negara yang prihatin terus, setidaknya untuk menjaga kedigdayaan dan kesombongan yang sudah sangat nampak. Intinya, negara ini belum siap menjadi kaya dengan mental yang sedemikian rupa.

Mereka yang teriak-teriak rezim, bla... bla... bla... yang seolah menunjukkan sikap tidak terimanya atas koloni pemerintahan yang nampak egois serta melindungi elit politiknya. Justru dialah calon kader kuat dari rezim tersebut jika dia tidak berhahati-hati kelak, ketika ia diberi kekuasaan atau jabatan. Sikap tidak mau kalah dan egonya yang seolah merasa pikirannya-lah yang paling objektif (meskipun tidak merasa), bak buah simalakama di waktu yang akan datang.

Kerakusan tidak bisa dibalas sebatas kelantangan. Kejahatan tidak akan selesai kalau melawan dengan pukulan. Kehilangan tak bisa dibalas hanya dengan tidur-enak di salah satu sudut penjara dengan fasilitas VIP. Bahkan, kerinduan tidak cukup terbalas hanya dengan sebuah perjumpaan. 

Dan mereka yang berdemo, sepertinya bukan sesuatu yang diharapkan oleh para pejabat untuk menjadi sesuatu yang dirindukan. Andai saja sikap mengayomi dan mengasuh rakyat itu memang ada, pertemuan di ruang terbuka dan disiarkan langsung oleh media massa bukan menjadi hal yang sulit untuk diwujudkan.

Sepertinya kemesraan tidak (semoga belum) terjalin di antara mereka--Pejabat dan rakyat. Lantas bagaimana mereka saling mengenal? Kecuali menganggap rakyat hanya sebagai bos yang mudah dikibuli, peliharaan yang menguntungkan. Hanya dengan amplop recehan, sanggup membawa seseorang ke puncak tangga kemunafikan. Yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin tersisihkan. Bahkan yang sudah tersisih menjadi gelandanganpun masih diinjak dengan aturan hukum yang mereka buat. Konyol nan menggemaskan!

Jangan memaksa bicara kebenaran jika kenyamanan diri terlihat masih menjadi laku prioritas utama. Bunga yang indah akan segera layu, begitupun dengan kebenaran itu. Kita tidak akan bisa merubah kondisi semacam ini menjadi sebuah patokan, terlebih hukum buatan manusia. Memang asyik. Sangat mengasyikkan! Begitu banyak pembelajaran jika kita bisa menahan sikap. Jangan muluk-muluk dengan perubahan negara, jika bangun pagi saja masih susah, mencari pekerjaan juga masih pilih-pilih (terutama pria). Jika merubah diri sendiri masih sangat sulit, lantas perubahan negara seperti apa yang kau tawarkan?

Megelang, 30 September 2019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun