Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Akuntan - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Tidak Bolehkah Jakarta Berkabut?

3 Agustus 2019   15:45 Diperbarui: 3 Agustus 2019   15:51 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dok. IDN Times - Jakarta Sunrise

Akhir-akhir ini jika kita mendengar suasana kota Ibukota ini, yang pertama terdengar pasti tentang polusi udaranya. Terus mengapa? Bukankah hal tersebut hal yang wajar dengan kota sekelas dan sekelas Jakarta? 

Dimana mobilitas para manusia sangat tinggi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Yang menurut data dinas lingkungan kota tersebut, mayoritas polusinya disebabkan oleh karena penggunaan transportasi darat.

Lhoh? Bukannya wajar jika pemakaian kendaraan pribadi sangat penting? Terlebih gengsi juga jika mesti menggunakan angkutan umum dengan fasilitas yang masih banyak membutuhkan perhatian lebih daripada reklamasi. Bahkan perpolitikan. Apakah tidak ada skala prioritas yang lebih bisa diperhatikan? Mana yang bermanfaat untuk khalayak ramai, atau sebatas kepentingan berebut kursi atau jatah rezeki.

Saya hanya terheran, apa salah jika kota high class seperti Jakarta memiliki kabut di pagi hari? Apakah kota dengan penuh hiruk pikuk itu tidak boleh memiliki hak yang sama seperti kota-kota di daerah pegunungan yang hampir tiap hari terselimuti kabut? Apalagi hal tersebut terjadi di pagi hari dengan cuaca dan suhu yang relatif rendah. J

adi, kabut itu lebih ke suasana kelembaban di pagi hari pada umumnya. Masih membutuhkan banyak kendaraan tua yang lebih banyak untuk mendapatkan polusi seperti yang nampak di gambar-gambar yang telah tersebar.

Ternyata, masih banyak mereka yang gumun atau kagum atas apa yang terjadi dengan Jakarta. Gampang mudah terprovokasi oleh konten-konten yang terlihat sederhana, namun dapat menjadi langkah awal sebuah pergerakan yang masif.  

Apapun. Dari perpolitikan sampai gejala geografis pun ternyata sangat banyak yang memperhatikannya. Terlebih jika Jakarta tak sesuai dengan harapannya. Dan harapan-harapan itu saling berbenturan dengan berjuta-juta harapan yang lain tentang kota ini.

Andai saja pemerintah sadar diri, begitupun dengan siapapun yang tinggal di kota itu. Berapapun banyaknya regulasi-regulasi yang akhirnya dikeluarkan terkait lingkungan, selama sinergi yang tercipta hanya berbasis pada keuntungan ekonomi masing-masing pihak. Tentu, hal-hal semacam ini hanya sebatas formalitas belaka.

Kalau sudah banyak gengsi pribadi seperti itu, jangan harap akan suatu keprihatinan demi orang banyak. Kalau sudah susah diarahkan, jangan harap untuk dapat menemukan solusi atas nama kesepakatan bersama. 

Kalau hanya mengejar keuntungan ekonomis, jangan haya bersembunyi atas nama pembangunan. Kalau dalam benak masih bertahan dengan ego tentang kebenaran, jangan harap akan suatu keadilan bahkan kesejahteraan sosial.

Kasian Jakarta, ia telah merelakan segalanya demi rona pencitraan para penghuninya. Begini salah, begitu salah. Bahkan untuk sekedar menikmati kabut yang menyapa di satu pagi pun, justru dituduh tidak sehat. Tanpa pernah ada kata terimakasih. "Lantas, aku mesti bagaimana demi bahagiamu?" andai Jakarta bisa bergumam. "Tidak bolehkah aku menikmati kabut pagi ini?" lanjutnya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun