Mohon tunggu...
Tanti Rizkian Sari
Tanti Rizkian Sari Mohon Tunggu... Guru - Curious Person

Life for Learning

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sudikah Pendidikan untuk Perempuan?

3 Juni 2017   13:39 Diperbarui: 3 Juni 2017   13:51 227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah mendorong kemajuan di semua bidang kehidupan termasuk dalam bidang teknologi informasi. Hal ini telah membuka kesempatan bagi semua umat manusia untuk mengakses semua informasi global, yang mengakibatkan terjadinya gejala dunia tanpa batas. Peristiwa yang terjadi disuatu belahan dunia dapat dengan mudah dan cepat diketahui oleh masyarakat di bagian dunia lainnya, demikian juga dengan masalah kesetaraan gender. 

Kemajuan suatu budaya bergantung kepada cara kebudayaan manusia terebut untuk mengenali, menghargai, dan memanfaatkan sumber daya manusia, dan hal ini berkaitan erat dengan kualitas pendidikan yang diberikan kepada anggota masyarakat. Pendidikan mempunyai peranan yang sangat menentukan bagi perkembangan dan perwujudan diri individu, terutama bagi pembangunan bangsa dan negara.

Kasus atau permasalahan gender dalam dunia pendidikan, katakanlah sekolah- masih menjadi topik yang hangat dalam setiap perbincangan. Kasus gender ini belum ditemukan juga titik pastinya seperti apa menerapkan keadilan gender yang sesuai. Membicarakan gender tidak berarti membicarakan hal yang menyangkut perempuan saja. Gender dimaksudkan sebagai pembagian sifat, peran, kedudukan, dan tugas laki-laki dan perempuan yang ditetapkan oleh masyarakat berdasarkan norma, adat kebiasaan, dan kepercayaan masyarakat.

Sebenarnya dalam permasalahan bias gender, tidak hanya pihak perempuan yang dirugikan, tetapi pihak laki-laki juga mengalami hal demikian. Diungkapkan oleh Sri Suciati (dalam Harian Suara Merdeka, 09 Agustus 2006) bahwa bias gender ini tidak hanya berlangsung dan disosialisasikan melalui proses dalam sistem pembelajaran di sekolah, tetapi juga melalui pendidikan dalam lingkungan keluarga.

Dalam realitas sosial dalam masyarakat tertentu, terdapat adat kebiasaan masyarakat tersebut yang tidak mendukung atau bahkan melarang perempuan untuk mengikuti pendidikan formal. Bahkan ada nilai dan anggapan bahwa perempuan tidak perlu bersekolah atau mengejar impiannya, karenanantinya tugas perempuan hanya di bagian dapur (ruang domestik). Pandangan seperti inilah yang menjadikan perempuan menjadi terpuruk dan dianggap rendah kaum laki-laki, parahnya lagi perempuan merasa tidak percaya diri dengan keperempuannya (derajatnya). Sri Suciati (dalam Harian Suara Merdeka, 09 Agustus 2006) mengungkapkan contoh bias gender dalam sistem pendidikan formal misalnya, dalam buku ajar banyak ditemukan gambar maupun rumusan kalimat yang tidak mencerminkan kesetaraan gender. Gambar seorang pilot selalu laki-laki karena pekerjaan sebagai pilot memerlukan kecakapan dan kekuatan yang "hanya" dimiliki oleh laki-laki. Sementara gambar guru yang sedang mengajar di kelas selalu perempuan karena guru selalu diidentikkan dengan tugas mengasuh atau mendidik.

Seperti yang telah di jelaskan di atas, bahwa enkulturasi yang sudah mendarah daging di kalangan masyarakat tentang subordinasi perempuan tidak begitu saja hilang dan masih sering terjadi di masa sekarang ini. Bahkan dalam pendidikan dewasa ini gender tersebut sudah jelas terlihat, misalnya dalam gambar atau ilustrasi suatu bab atau sub bab di buku siswa, terkadang penulis menggambarkan perempuan sebagai seseorang yang seringkali bertanya dan berkali-kali melakukan kesalahan seperti memegang kuali panas atau tidak mematikan lampu setelah digunakan pada malam hari. Murid perempuan lainnya digambarkan sebagai seseorang yang selalu bertanya mengenai berbagai hal. Sementara itu, murid laki-laki digambarkan sebagai murid yang pintar, selalu mengetahui jawaban yang benar, dan menjelaskan jawaban-jawaban tersebut kepada teman sekelasnya (ACPD Indonesia, 2 : 2013).

Permasalahan gender yang terjadi di Indonesia cenderung menjadikan kaum perempuan termarginalkan dan terabaikan yang semakin lama menjadi sebuah kebudayaan yang selalu melekat di masyarakat, bahkan sudah masuk pada ranah pendidikan. Dengan demikian permasalahan gender ini menggunakan analisis teori gender nurture yang dikemukakan oleh John B. Waston. dimana teori ini cenderung membedakan antara perempuan dan laki-laki adalah hasil dari konstruksi sosial budaya sehingga menghasilkan peran dan tugas yang berbeda.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun