Mohon tunggu...
Tanah Beta
Tanah Beta Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Mahasiswa Semester Akhir pada IAIN Ambon

menulislah sebelum dunia menggenggam nafasmu

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Curhat Seorang Teman

16 Juli 2017   22:17 Diperbarui: 16 Juli 2017   22:31 326
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hidup tak perah memiliki definisi yang pasti, tak seperti ilmu penhetahuan yang lain seperti ilmu social yang bisa di deskripsikan sesuai pengertian yang telah di tetapkan---walau demikian, pun masih ada definisi berbeda yang lahir dari para ilmuan. Dalam kehadipun, siapapun yang menjalaninya akan memberikan definisi serta pengertian yang bebeda, ini sangat mirip dengan hukum dan cinta---tak pernah memilk definisi yang pasti, dan dari itu, yang di artikan sebagai hidup tergantung dari apa yang dia rasakan masing-masing individu dalam kehidupan yang di jalaninya sendiri. Baik orng kaya, sederhana, bahkan yang bergaya kumal/Kumuh dan Miskin (KUMIS) sekalipun akan memberikan pendefinisian dan pengertian yang berbeda mengenai hidup, maupun kehidupannya masing-masing. Dan bukan ekspektasi dari pelampiasan atas pemberian definisi hidup itu sendiri, tapi terlebih lagi pada yang di raasakan dalam keseharian hidup yang di lalui.

Mengenai hal hidup, akan ku ceritakan apa yang di rasakan seorang teman selama beberapa tahun---sejak masih di bangku sekolah (SMA) sampai saat ini. Tentang beban yang membuat segalanya seakan menjadi hancur tak terbagi. Bahkan hal itu yang membuat dirinya kehilang focus pada apa yang selalu ia rencanakan dalam kehidupannya : pendidikan, masa depan, dan semua yang di cita-citakan, katanya  terasa hambar dan hampa hanya karena beban yang tak pernah hilang dari tiap kepala maupun benaknya. Darinya, aku bisa mengerti, ternyata hidup yang selalu kita definisikan baik dalam setiap kesehatian, sangat berbeda dengan apa yang di rasakan orang lain.

***

Namanya Eny, seorang mahasiswi semester enam yang saat ini bimbang, bingung, dan tak tahu apa yang di pikirkan selanjutnya dengan keadaan sekarang, tidak seperti seorang Tsamara Amany, seorang mahasiswi Paramadina yang tenar di media akhir-akhir ini. Eny saat ini bimbang antara lanjut pendidikan atau berhenti di pertengahan jalan. Dia datang padaku, mengajak bercanda, berceritra dan sesekali melepaskan tawa, itu di lakukannya hanya untuk melepaskan segala beban pikirannya, namun tak seperti yang dia harapkan. Sekalipun melepaskan tawa dengan suara yang menyeruak ke angkasa, akan tetapi pandangannya yang sesekali kosong dan mata yang nanar tak bisa membohongi kalau Eny menyimpan sesuatu yang tak bisa di ceritakan, di bagi, dan itu yang Nampak di wajanya sedari tadi ku pandangi.

Sejak masa sekolahnya, eny adalah seorang siswi yang selalu membagi keceriaannya dengan teman-teman di sekolah, dan pada waktu itu semuanya masih baik-baik saja, tutur Eny padaku. Namun semuanya berubah setelah kepergian ibunya,seorang pegawai dengan senyum yang tak pernah hilang sedikitpun dari raut wajah, wanita yang berdedikasi tinggi terhadap anak-anaknya, dan seseorang yang selalu menghabiskan waktu bersama Eny dan adik-adik bila datang akhir pekan. Ibu Eny menghabiskan sisa usianya ketika Eny masi berada di bangku kelas X SMA, dan bagi Eny itu sangat memukul dan sekaligus mendadak untuk siapapun yang baru saja merasakan sentuhan kelembutan kasih sayang seorang Ibu. Iya, kenapa baru ? itu yang ku tanyakan pada Eny.

Sejak kecil Eny tidak hidup bersama Ibu kandungnya, dia tinggal di kampung halaman bersama seorang nenek yang sangat menyayangi Eny. Ketika kepergian Ibu, Eny sempat berpikir untuk memutuskan sekolahnya, ia tak ingin lagi bersekolah, sebab baginya, untuk apa sekolah bila kelak Ibu tak merasakan hasil dari proses yang di jalani anaknya, dan bukan saja itu, Ia juga tak ingin setelah kepergian ibu, ayahnya menikah lagi. tutur Eny tanpa Ragu saat bercerita padaku. Yah, Aku merasakan itu, namun bagiku, itu adalah pilihan yang sangat konyol dan tidak tepat mengingat ada beberapa anak yang di tinggalkan ibunya---adalah adik-adik Eny sendiri. Bila Eny memutuskan sekolahnya, bagaimana dengan adik-adiknya nanti yang melihat kakak mereka tak lagi memiliki semangat dalam kehidupan ini(Pikirku saat itu). Namun syukurlah ia tak memutuskan sekolahnya dan melanjutkan hingga bangku perkuliahan.

Dua bulan setelah kepergian Ibunya, bukan hal yang mudah bagi Eny untuk melupakan segala yang telah di rasakan dalam kehidupan ketika masih bersama Ibu dan waktu itu pun ayah masih bersama mereka membagi suka duka bersama Eny dan adik-adik. Sekalipun masih ada ayah, sekolahnya tak lagi di jalani seperti biasanya, sudah tiada lagi bersemngat dengan keceriaan senyum sumringah yang selalu tampak pada raut manisnya seperti hari-hari sebelumnya. Katanya padaku : masa-masa itu, aku seakan tak lagi memiliki semangat untuk hidup, namun ketika di rumah dan memandangi adik-adikku, aku pun berpikir apa yang akan terjadi nanti pada adik-adikku bila mereka melihat aku seperti tak punya daya, maka dari itulah aku tak pernah menunjukan beban pikiran pada mereka. "Setelah semua itu terlintas dalam benakku, aku pun tak lagi membiarkan semuanya sia-sia, ucap Eny".

Tak ada lagi masa sulit yang di jalani Eny setelah itu, namun semua kenangan tentang ibu masi terus membayangi Eny dan sesekali membuatnya menjatuhkan air mata jika wajah ibu terlintas di tiap pikirannya. Berjalan dua tahun, beban baru datang dan itu kembali membuat Eny terpukul tak henti-hentinya. Lanjut cerita, Ia seperti kapas yang bertebangan di tiup angin---badannya terasa tak berisi apapun dan melayang-layang mengikuti arah angin, bahkan seperti debu yang tak bermakna (Absurd) semuanya yang ia rasakan.

Keterpukulan Eny bukan Karena kembali mengingat Ibunya, akan tetapi karena hal yang di takutkan Eny itu terjadi---Ayahnya menikah kembali, ini yang tidak di inginkan Eny sedikit pun, namun apalah daya seorang Eny, yang hanya seorang anak perepmpuan penurut dan hanya mendengarkan kata ayahnya, tak bisa bebuat apa dan hanya menyimpannya dalam hati, bahkan tak pernah melepaskan segala kekesalannya itu kepada siapapun---sekalipun ayahnya.

Itu seakan menjadi dendam seklaigus beban yang selalu membuat semuanya hambar dan hampa terasa hidupnya. Yang di takutkan terjadi, dan pada akhirnya, ia kehilangan fokus untuk semuan yang terlanjur ia lalui. Bahkan sekalipun aku tak ingin lagi bersuara kepada ayah setelah apa yang di lakukan, kata Eny padaku.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun