Mohon tunggu...
Tabrani Yunis
Tabrani Yunis Mohon Tunggu... Guru - Tabrani Yunis adalah Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh, juga sebagai Chief editor majalah POTRET, majalah Anak Cerdas. Gemar menulis dan memfasilitasi berbagai training bagi kaum perempuan.

Tabrani Yunis adalah Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh, juga sebagai Chief editor majalah POTRET, majalah Anak Cerdas. Gemar menulis dan memfasilitasi berbagai training bagi kaum perempuan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Anak-anak Budak Seks

17 Mei 2012   13:45 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:10 3028
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Oleh Tabrani Yunis

Pimpinan Redaksi Majalah POTRET

Mendengar sebutan perbudakan seks, mengingatkan kita pada masa Jepang saat menginvasi Cina dan Asia lainnya dari tahun 1931 ke tahun 1945.Beberapa literature menceritakan bahwa perbudakan seks yangbiadab dan keji dilakukan oleh militer Jepang terhadap perempuan-perempuan Cina dan perempuan Asia dan Belanda saat itu. Perbudakan seks adalah peristiwa pahit yang dialami oleh ratusan ribu perempuan Asia dan bahkan Belanda yang disebut dengan jugun Ianfu. Perbudakan seks itu berlangsung di rumah-rumah bordil militer Jepang yang disebut dengan lanjo yang menyediakan jasa pelayanan seksual bagi tentara dan sipil Jepang. Konon, hampir 1 dekade sebelum penggunaan istilah Jugun Ianfu meluas dan menjadi gejala umum di semua daerah yang dikuasai Jepang di Asia Pasifik menjelang berakhirnya Perang Dunia ke II, tidak terkecuali perempuan Indonesia. Banyak pula perempuan Indonesia yang menjadi korban perbudakan seks tentara Jepang saat itu.

Di Indonesia, praktek kebiadaban dan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan Militer Jepang terhadap perempuan Indonesia menurut perkiraan, jumlahnya saat perang berkisar antara 20.000 dan 30.000. Pengakuan dari beberapa Jugun ianfu yang masih hidup jumlahnya berada di batas atas dari angka tersebut ( Retno Aji Prasetiaju dalam Fenomena Ianfu dari korban menjadi penyitas).

Korban jugun ianfu itu adalah para perempuan yang direkrut dengan tipu daya, dengan tawaran pekerjaan dengan upah tinggi di restoran sebagai tukang masak/tukang cuci, penculikan disertai tindak kekerasan perempuan secara kejam di sejumlah negara di Asia Pasifik di bawah kekuasaan Jepang. Ada juga yang menyediakan diri mereka secara sukarela (pekerja seks komersial). YH Tanjung dalam blognya, menulis bahwa dalam proses perekrutan tersebut tidak hanya melibatkan militer tetapi juga Departemen Dalam Negeri yang membawahi para Gubernur dan polisi yang kemudian memainkan peranan dalam kerjasama dengan pihak militer untuk merekrut. Cabang khusus Shanghai menggunakan penghubung-penghubung di kalangan pedagang. Agar memperoleh perempuan sebanyak-banyaknya untuk melayani kebutuhan seksual militer pada akhir 1937 para perempuan yang dipaksa bekerja di Ianjo-Ianjo yang terletak diantara wilayah Shanghai dan Nanking dikelola langsung oleh militer Jepang. Ianjo ini menjadi model bagi Ianjo-Ianjo selanjutnya. Oleh karena pembangunan Ianjo terus mengalami perkembangan pengelolanya tidak selalu menjadi tanggung jawab militer. Sebagian pengelola adalah orang-orang sipil yang diberi pangkat paramiliter. Pihak militer tetap bertanggung jawab terhadap transportasi dan pengawasan umum Ianjo-Ianjo tersebut termasuk aspek kesehatan.

Kejahatan Kemanusiaan

Perbudakan seksual oleh militer Jepang itu, hingga kini masih menjadi luka yang mendalam bagi korban perbudakan tersebut, bukan hanya di Indonesia, tetapi juga di bererapa Negara lainnya seperti Korea Selatan, Myanmar, Philipina, Taiwan dan lain-lain. Maka,, hingga kini Korea Selatan masih persoalkanhal itu, seperti yang ditulis Jopsephus Primus, Kompas .com, Rabu 12 Oktober 2011 “ bahwa sesi persidangan ke-68 Majelis Umum PBB masih menjadi perhatian Korea Selatan (Korsel). Rencananya, sebagaimana warta Xinhua, Rabu (12/10/2011), di dalam kesempatan itu, Negeri Ginseng masih tetap mengusung ihwal perempuan-perempuan yang terpaksa menjadi budak seks lantaran penjajahan Jepang pada 1910 hingga 1945. "Perbudakan seks dan perkosaan kala itu berlangsung sistemik," kata Deputi Utusan Korsel untuk PBB Shin Dong-ik. Lebih lanjut, Dong-ik menambahkan,"Perbudakan seksual adalah kejahatan melawan kemanusiaan."

Sebagai kejahatan yang melawan kemanusiaan, perbudakan seks masa Jepang itu adalah sejarah gelap bagi kaum perempuan yang dipaksa menjadi pemuas nafsu serdadu jepang itu. Namun kini, kendatipun jugun Ianfu sudah selesai, praktek prositusi ada di mana-amana di negri kita dan negara lain, walau motifnya berbeda. Perbudakan yang dikelola oleh para mucikari yang menperdagangkan seks untuk meraih keuntungan. Metodologi perekrutannya pun tidak jauh berbeda seperti yang dilakukan tentara Jepang saat itu. Salah satunya dengan cara pemaksaan atau juga penipuan yang menjanjikan pekerjaan dan sebagainya. Bahkan juga dengan cara penculikan yang kemudian dijerumuskan ke dunia prostitusi yang membuat korban sulit keluar dari dunia hitam tersebut. Karena, bila kita mau melihat dengan jernih, bahwa tidak ada seorang perempuan pun pernah bercita-cita menjadi budak seks. Namun, karena banyak factor, seperti dijerumuskan dan terjerumus ke dalam bisnis seks.

Budak seks Anak

Kebiadaban tentara Jepang melakukan perbudakan seks saat perang adalah peristiwa yang tidak boleh terjadi lagi di dunia ini. Begitu pula kiranya,perbudakan seks komersial yang dilakukan oleh para pebisnis seks yang mengeksploitasi perempuan-perempuan di tempat-tempat pelacuran atau bordil, maupun di salon-salon dan tempat hiburan lainnya. Karena dalam percaturan bisnis seks ini, perempuan yang dijadikan budak seks, tidak pernah dapat menikmati hidupnya sebagaimana layaknya orang lain yang tidak terperangkap bisnis seks tersebut. Sungguh ini sangat menyakitkan dan merusak masa depan dan kehidupan perempuan yang kita sebut sebagai korban (penyitas). Betapa kejamnya para pebisnis seks yang kini terus mengeksploitasi perempuan-perempuan dari kalangan ekonomi lemah yang bodoh dan miskin. Walau ada pula dari kalangan menengah atas sebagai pengaruh dari kehidupan yang konsumtif.

Yang lebih menggalaukan lagi saat ini adalah nasib anak-anak kita terus berada dalam ancaman perbudakan seks oleh para petulang bisnis seks di dunia. Anak-anak, terutama anak perempuan yang masih di bawah umur kini menjadi sasaran exploitasi komersial seksual anak.

ECPAT Internasional, menyebutkan bahwa eksploitasi seksual komersial anak tersebut dilakukan dalam bentuk pelacuran anak. Pelacuran anak itu terjadi ketika seseorang mengambil keuntungan dari sebuah transaksi komersial di mana seorang anak disediakan untuk tujuan-tujuan seksual. Sudah banyak sekali kasus pelacuran anak terjadi di Indonesia. Media Indonesia.com edisi 23 Februari 2012 memberitakan bahwa Jajaran Ditreskrimum Polda Jatim menemukan modus baru pelacuran anak di bawah umur, yakni satu pelacur desa atau daerah ditukar satu pelacur kota.
"Itu modus baru pelacuran, karena pelacuran yang ada selama ini merupakan ABG dari desa yang dibawa ke kota," kata Direktur Reskrimum Polda Jatim Kombes Pol Agus Kurnia Sutisna di Surabaya, Rabu (22/2).

Di Aceh, kasus penjualan gadis juga sudahmarak dan sering terungkap. Kasus mutakhir yang mengejutkan adalah kasus penjualan 2 gadis Aceh ke Singapura untuk dijadikan budak seks.Harian Serambi Indonesia, 22 Januari 2012 memberitakan “seorang gadis lugu bernama Putri, asal Kota Banda Aceh yang masuk perangkap tindak kejahatan penjualan manusia mengaku sempat dipaksa melayani 23 laki-laki dalam semalam, untuk melunasi utang pada seorang mucikari di Singapura. Ini adalah salah satu contoh kasus saja, karena masih sangat kasus perbudakan seks anak terjadi di tanah air saat ini.

Kejahatan eksploitasi seksual komersial anak lainnya adalah pornografi anak, suatu tindakan pertunjukan apapun dengan cara apa saja yang melibatkan anak di dalam aktifitas seksual yang nyata atau eksplisit atau yang menampilkan bagian tubuh anak demi tujuan-tujuan seksual. Pornografi anak kini juga semakin marak sejalan dengan kemajuan teknologi informasi yang kian digandrungi anak-anak. Dalam kasus pornografi anak, ada anak yang diposisikan sebagai pelaku (actor) pornografi, seperti kasustujuh perempuan yang diduga penari telanjang (striptease), di Pekanbaru, Selasa (21/2) diperiksa di ruangan penyidik Subdit IV Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Riau. Sementara sebagai objek, anak menjadi sasaran dari produk-produk pornografi yang merusak perilaku anak yang dapat menjerumuskan anak-anak ke dunia prostitusi dan aktivitas seks bebas dan sebagainya.

Bentuk eksploitasi lain yang kini juga marak terjadi adalah perdagangan(child trafficking) untuk menempatkan anak dalam situasi-situasi kekerasan atau eksploitasi seperti pelacuran dengan paksaan. Kasus – kasus ini hingga saat ini terus mencari anak-anak kita untuk dijadikan korban. Aksi perdagangan manusia ini bukan hanya di kota-kota besar, tetapi mengintai anak-anak dan perempuan yang ada di pedesaan, terutama dari anak-anak kalangan miskin dan berpendidikan rendah. Jangan pernah berkata bahwa itu tidak akan pernah terjadi pada anak kita, karena para pemangsa selalu ada di sekitar kita. Maka waspadalah. Karena kini praktik perdagangan orang (trafficking) di Indonesia kian meningkat dengan rata-rata 50.000 orang menjadi korban setiap tahunnya. Bahkan, Indonesia merupakan pemasok perdagangan anak dan perempuan terbesar di Asia Tenggara. Jumlah tersebut akan semakin bertambah jika tidak ada antisipasi pencegahan baik dari pemerintah maupun masyarakat.

Ancaman lain yang cukup meresahkan kita juga terkait dengan eksploitasi seksual anak di daerah wisata. Tanpa dinyana, wisata seks anak kini terus berkembang di mana-mana. Wisata seks anak adalah sebuah bentukeskploitasi seksual komersial anak ( ESKA )yang dilakukan oleh orang-orang yang melakukan perjalanan dari suatu tempat ke tempat yang lain dan di tempat tersebut mereka berhubungan seks dengan anak-anak. Kasus-kasus ESKA di daerah wisata sering muncul seperti di Bali dan Lombok. Potret-online.com, 30 Januari 2012 seperti diungkapkan oleh Agus Livianto, dari LSM SETARA Mataram seperti berikut, “kalau di daerah Lombok, sebagai daerah wisata pantai, tak jarang ESA terjadi. ESA yang terjadi di sana tidak hanya terhadap anak perempuan, anak laki-laki  juga banyak dimanfaatkan oleh para wisatawan”   Ini adalah bukti bahwa tidak hanya anak perempuan yang menjadi korban, fakta telah menujukkan bahwa anak laki- laki juga turut menjadi korban.

Selain empat bentuk eksploitasi seksual yang memprihatinkan kita, selama ini terjadi, maka ada sebuah praktek eksploitasi yang dianggap masyarakat bukan sebagai tindakan ESKA, yakni perkawinan anak. Yang dimaksudkan dengan perkawinan atau pernikahan anak yaitu perkawinan yang melibatkan anak dan remaja usia di bawah 18 tahun. Pernikahan dini dapat dianggap sebuah bentuk eksploitasi seksual komersial jika seorang anak diterima dan dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan seksual demi mendapatkan barang atau bayaran dalam bentuk uang atau jasa. Dalam kasus-kasus tersebut biasanya orang tua atau sebuah keluarga menikahkan seorang anak untuk mendapatkan keuntungan atau untuk membiayai keluarga tersebut.

Untuk kasus –kasus pernikahan anak/ dini sering dianggap sesuatu yang memberikan nilai positif karena untuk menghindari tindakan asusila. Padahal, pernikahan dini bukanlah sebuah solusi terbaik, karena ini adalah sebuah bentuk pernikahan premature yang dapat mengantarkan anak ke dunia kelam. Mereka belum siap untuk beruma tangga, tetapi karena paksaan orang tua, harus menikah. Oleh sebab itu, orang tua dan masyarakat kita harus diberikan pemahaman yang lebih luas dan progressive terhadap persoalan eksploitasi seksual anak, termasuk persoalan pernikahan anak/ dini.

Mengingat ancaman eksploitasi seksual anak untuk kepentingan bisnis seks yang terus meningkat di sekitar kita, kiranya setiap orang, orang tua dan masyarakat perlu meningkatkan pengetahuan dan kewaspadaan mengenai eksploitasi seksual anak.Masyarakat harus siap dan berempati terhadap meningkatnya kasus ESA ini. Dengan meningkatkan pemahaman dan kepedulian bersama, praktek ESA bias diantisipasi. Di samping itu, control social terhadap perilaku anak dan pelaku perdagangan anak secara bersinergi, akan sangat membantu upaya penghentian aksi perbudakan seks anak. Mari kita bangun kembali control

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun