Mohon tunggu...
Tabrani Yunis
Tabrani Yunis Mohon Tunggu... Guru - Tabrani Yunis adalah Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh, juga sebagai Chief editor majalah POTRET, majalah Anak Cerdas. Gemar menulis dan memfasilitasi berbagai training bagi kaum perempuan.

Tabrani Yunis adalah Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh, juga sebagai Chief editor majalah POTRET, majalah Anak Cerdas. Gemar menulis dan memfasilitasi berbagai training bagi kaum perempuan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bonus Demografi Itu untuk Siapa?

29 Juni 2018   00:45 Diperbarui: 29 Juni 2018   01:00 764
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Oleh Tabrani Yunis
Bonus Demografi, itulah bahan diskusi yang diselenggarakan  BkkbN Aceh pagi Senin, 25 Juni 2018 di aula Biro Pusat Statistik ( BPS) Aceh di jalan Tgk. HM. Daud Bereueh Banda Aceh. 

Kegiatan yang bertajuk " Pengembangan Model Solusi Pengendalian Dampak Kependudukan di Kota Banda Aceh mengangkat tema Peningkatan Daya Saing Sumber Daya Manusia Menghadapi Bonus Demografi. Sebagai pemateri utama  menghadirkan DR. Eddy Gunawan, M.Ec, Ketua IPADI Aceh. Selain itu juga ada pemateri kedua a kepala BPS Aceh, Bapak Drs. Wahyudin, MM yang memaparkan tentang  peluang dan pemanfaatan bonus demografi.

Kegiatan yang dimaksudkan untuk melakukan kajian-kajian akan dampak bonus demografi itu, diharapkan pula bisa melahirkan sejumlah rekomendasi yang akan diberikan kepada pemerintah, khususnya pemerintahan kota Banda Aceh. Walaupun lingkup rekomendasinya untuk kota Banda Aceh, rekomendasi tersebut juga hendaknya bisa menjadi rekomendasi untuk semua anak bangsa ini. 

Dengan demikian bisa menjadi kontribusi positif bagi Pemerintahan kota , provinsi dan bahkan pemerintah pusat dalam mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi dengan adanya bonus demografi dalam  semua konteks.  Apalagi dalam pemaparan tersebut disebutkan bahwa bonus demografi tersebut di kota Banda Aceh sudah berlangsung sejak tahun 2010. Artinya sudah berjalan dan dinikmati selama lebih kurang 8 tahun. Benarkah?

Bisa jadi benar. Namun ,sayangnya, walau sudah berlangsung sejak tahun 2010, tidak banyak orang yang tahu. Tidak banyak orang yang merasa sudah mengalami dan memanfaatkan bonus demografi tersebut. Penyebabnya, bisa saja karena secara umum, masyarakat kita tidak memahami apa gerangan yang dimaksud dengan bonus demografi tersebut. 

Apa pula kaitannya dengan kehidupan masyarakat dan sebagainya. Pemahaman dan pengalaman tentang bonus demografi akan semakin absurb, makin kabur ketika dikatakan bonus demografi sudah berlangsung, tidak diikuti dengan identifikasi masalah, tidak ada analisis dan juga tidak pernah ada solusi terhadap masalah yang mungkin terjadi.  Buktinya, dalam persentasi kedua pemateri, tidak banyak ditemukan hasil identifikasi masalah, tantangan, peluang serta ancaman apa yang dihadapi selama ini dan yang akan datang.

Maka, wajar pula kita bertanya seperti pertanyaan di atas, " Siapa yang tahu, kalau sejak tahun 2010 sudah waktunya mendapat bonus demografi?".  Malahan, apa arti bonus demografi itu belum banyak difahami orang. Jangankan masyarakat awam, para intelektual saja mungkin banyak yang tidak faham dengan terminologi bonus demografi itu. 

Memang sudah banyak definisi atau penjelasan tentang bonus demografi tersebut. Kiranya, persoalan bonus demografi, hendaknya menjadi pemahaman bersama. Kita selayaknya memahami apa dan untuk apa bonus itu. Lalu bagaimana kita menyikapinya, dibiarkan begitu saja, atau harus dimanfaatkan secara optimal?

Tampaknya, selama ini, membaca bonus demografi, maka apa yang terbayang di pikiran atau benak kita adalah keuntungan. Ya, karena bonus. Bonus selama ini diartikan sebagai sesuatu keuntungan atau tambahan, berupa hadiah dan sebagainya, karena sesuatu yang hal yang dianggap baik dan membawa keuntungan. Sehingga, bonus demografi pun cendrung dilihat hanya sebagai sebuah hikmah, sebuah berkah. 

Sebuah keuntungan ekonomi.  Padahal, bonus itu  belum tentu menjadi bonus yang bisa kita peroleh. Bisa saja, kendati bonus itu milik kita, tetapi kalau kita tidak faham, tidak siap dengan datangnya bonus itu, maka kita akan menjadi pecundang.  Bukan hanya sebagai pecundang, tetapi malah menjadi petaka.

Disadari atau tidak. Percaya atau tidak, bonus demografi itu hanya akan menjadi sebuah peluang besar, namun tidak termanfaatkan. Mengapa demikian? Tentu saja ada banyak factor penyebabnya yang juga perlu diidentifikasi dan dianalisis. 

Namun, melihat pada banyak fakta, maka kita akan bertanya-tanya lagi. Bagaimana kita bisa memanfaatkan atau menjadikan peluang keuntungan atau bonus demografi, bila kualitas sumber daya manusia kita masih rendah? Ya, kita masih bermasalah dengan kualitas SDM. Secara kuantitas, jumlah penduduk Indonesia sangat besar. Begitu pula dengan jumlah usia produktif cukup besar, tetapi kualitas SDM masih rendah.

Sudah sekian lama kita mendengar dan membaca tentang posisi  IPM Indonesia yang hingga saat ini masih berada pada urutan ke 100 an dari 108 negara di dunia. Berdasarkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang dikeluarkan United Nations Development Programme (UNDP) pada 2016, Indonesia meraih angka sebesar 0.689. Nilai tersebut menempatkan Indonesia dalam kategori pembangunan manusia menengah, berada di peringkat 113 dari 188 negara. Ironis, bukan?

Rendahnya posisi IPM bangsa ini, ternyata juga berbanding lurus dengan rendahnya kualitas pendidikan kita secara nasional dalam konteks persaingan global. Artinya, rendahnya posisi IPM Indonesia tidak terlepas dari rendahnya kualitas pendidikan kita. Bank Dunia menilai kualitas pendidikan Indonesia masih rendah meski perluasan akses pendidikan telah dilakukan secara signifikan. 

Bank Dunia mengamati, sejak 2002, Indonesia telah memulai reformasi kebijakan untuk meningkatkan akses dan kualitas pendidikan. Meski begitu kualitas pembelajaran siswa masih berada di bawah tingkat negara lain di kawasan Asia Tenggara. (Republika.co.id, 06 Juni 2018).  

Lebih lanjut, Menurut survei Political and Economic Risk Consultant (PERC), kualitas pendidikan di Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia. Posisi Indonesia berada di bawah Vietnam. Data yang dilaporkan The World Economic Forum Swedia (2000), Indonesia memiliki daya saing yang rendah, yaitu hanya menduduki urutan ke-37 dari 57 negara yang disurvei di dunia. (CNN Indonesia, 19 Januari 2018).

Nah, setali tiga uang, masalah minat baca bangsa kita pun sesungguhnya berada pada titik nadir alias titik terendah. Seperti ditulis oleh Mikhael  Gewati di KOMPAS.com --29 Agustus 2016 bahwa Kondisi minat baca bangsa Indonesia memang cukup memprihatinkan. Berdasarkan studi "Most Littered Nation In the World" yang dilakukan oleh Central Connecticut State Univesity pada Maret 2016 lalu, Indonesia dinyatakan peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca. Indonesia persis berada di bawah Thailand (59) dan di atas Bostwana (61). Padahal, dari segi penilaian infrastuktur untuk mendukung membaca peringkat Indonesia berada di atas negara-negara Eropa.

Rendahnya minat baca, akan sangat berpengaruh terjadap kualitas pendidikan dan semua sector kehidupan, yang sangat melemahkan kualitas sumber daya manusia. Akibat dari rendahnya minat baca, akan melahirkan generasi yang rendah kualitas dan daya membaca yang akhirnya semakin membuat kualitas SDM yang kalah bersaing dengan bangsa lain. 

Kondisi ini akan semakin buruk karena kualitas kesehatan masyarakat bangsa ini juga rendah. Terbukti pula di bidang kesehatan, Indonesia menempati urutan ke 101 dari 149 negara dalam indeks kesehatan global 2017. Kalah dari Malaysia, Thailand, Laos dan Vietnam. Sungguh keadaan kesehatan yang buruk itu akan mengancam bangsa ini bisa memanfaatkan bonus demografi itu.

Masih sangat banyak masalah anak bangsa yang belum terselesaikan dengan optimal. Selain masalah mendasar tentang kualiatas SDM kita, masalah-masalah lain seperti rendahnya tingkat kreativitas dan innovasi serta invensi masyarakat kita akan mengurangi tingkat produktivitas yang seharusnya menjadi andalan bagi bangsa Indonesia yang mendapat bonus demografi tersebut. 

Bagi yang sudah bekerja di sektor pemerintah dan non pemerintah, hingga kini juga belum memperlihatkan kinerja yang tinggi. Walau sudah ada sistem pelayanan satu atap, ada saja kekurangan yang menjadi pelanggan atau ada pihak yang tidak puas dan sebagainya. Bila ini dibicarakan panjang lebar, akan ada banyak yang harus diperbaiki terkait kinerja kerja kita. Apalagi selama ini angkatan kerja kita lebih banyak didominasi oleh lulusan atau tamatan SMP. Kacau bukan?

Memang kacau. Bila kita melihat lagi pada angka pengangguran di negeri ini, walau disebut-sebut sudah menurun, namun masih menjadi masalah yang tidak terpecahkan. Andi Donnal Putera dalam artikelnya di KOMPAS.com -- menulis bahwa Badan Pusat Statistik ( BPS) mencatat terjadi penurunan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT), dari Februari 2017 sebesar 5,33 persen jadi 5,13 persen pada Februari 2018. TPT merupakan indikator untuk mengukur tingkat penawaran tenaga kerja yang tidak digunakan atau tidak terserap oleh pasar kerja. "Dalam setahun terakhir, pengangguran berkurang 140.000 orang, sejalan dengan TPT yang turun jadi 5,13 persen dari 5,33 persen," kata Kepala BPS Suhariyanto melalui konferensi pers di kantornya, Senin (7/5/2018).

Anehnya lagi, kebanyakan pengangguran di tanah air kebanyakan dari kalangan sarjana dan lulusan SMK, sementara dunia kerja lebih didominasi oleh mereka yang berpendidikan rendah, hanya memiliki ijazah SD dan SMP. Idealnya, semakin tinggi level pendidikan anak bangsa, maka semakin mudah bagi mereka untuk bekerja. Sayangnya, para lulusan Sarjana S1 pun kini semakin sulit bekerja, karena tidak mendapatkan lapangan pekerjaan. 

Sehingga, selama ini ada trend setekah S1, lanjutkan ke S2, namun setelah selesai S2, masih mencari pekerjaan. Pendidikan S2, seakan-akan digunakan sebagai cara untuk menghindari atau untuk menunda pengangguran. Kendatipun sudah S2, mereka masih banyak yang tidak mandiri dan masih mencari pekerjaan.

Dengan kondisi semacam ini, bonus di satu sisi memang akan menjadi berkah, namun di sisi lain akan membawa bencana yang menghantam diri kita sendiri. Akan menjadi berkah bika kita sudah siap dengan segala konsekwensi. Siap dengan potensi yang kita miliki, sehingga kita bisa memanfaatkan bonus demografi secara optimal. 

Oleh sebab itu, agar bangsa Indonesia siap dan mampu memanfaatkan bonus tersebut secara optimal, semua hala yang melenahkan posisi anak bangsa ini, harus segera diperbaiki dengan memperbaiki akan masalah bangsa ini, yakni peningkatan minat baca dan daya baca. Hal kedua, seharusnya semua elemen bangsa, instansi pemerinta dari semua sector, harus sevisi bahwa bonus demografi itu adalah persoalan bangsa dan harus menjadi agenda bersama. Bukan hanya itu, ketika kita melihat bonus demografi sebagai sebuah peluang untuk meraih keuntungan finansial atau ekonomi saja.

Akan lebih baik dan bertenaga, apabila pemerintah dengan segala bentuk /bidang atau sector instansi yang ada, bisa membangun sinergi yang memberdayakan generasi bangsa ini. Tidak seperti selama ini yang namanya  bersinergi hanya banyak ada dalam ucapan yang sangat retorika. Pemerintah harus mengawal bagaimana jalannya sinergi yang dibuat. 

Dengan cara ini, akan banyak hal yang bisa dilakukan bersama. Misalnya sektor UMKM yang masih pada tahapan tumbuh bagai kerakap tumbuh si batu, hidup enggan mati melulu. Hidupkan semangat entrepreneurshipps lebih dini, sebagai salah satu contoh saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun