Mohon tunggu...
Tabrani Yunis
Tabrani Yunis Mohon Tunggu... Guru - Tabrani Yunis adalah Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh, juga sebagai Chief editor majalah POTRET, majalah Anak Cerdas. Gemar menulis dan memfasilitasi berbagai training bagi kaum perempuan.

Tabrani Yunis adalah Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh, juga sebagai Chief editor majalah POTRET, majalah Anak Cerdas. Gemar menulis dan memfasilitasi berbagai training bagi kaum perempuan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bonus Demografi Itu untuk Siapa?

29 Juni 2018   00:45 Diperbarui: 29 Juni 2018   01:00 764
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Namun, melihat pada banyak fakta, maka kita akan bertanya-tanya lagi. Bagaimana kita bisa memanfaatkan atau menjadikan peluang keuntungan atau bonus demografi, bila kualitas sumber daya manusia kita masih rendah? Ya, kita masih bermasalah dengan kualitas SDM. Secara kuantitas, jumlah penduduk Indonesia sangat besar. Begitu pula dengan jumlah usia produktif cukup besar, tetapi kualitas SDM masih rendah.

Sudah sekian lama kita mendengar dan membaca tentang posisi  IPM Indonesia yang hingga saat ini masih berada pada urutan ke 100 an dari 108 negara di dunia. Berdasarkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang dikeluarkan United Nations Development Programme (UNDP) pada 2016, Indonesia meraih angka sebesar 0.689. Nilai tersebut menempatkan Indonesia dalam kategori pembangunan manusia menengah, berada di peringkat 113 dari 188 negara. Ironis, bukan?

Rendahnya posisi IPM bangsa ini, ternyata juga berbanding lurus dengan rendahnya kualitas pendidikan kita secara nasional dalam konteks persaingan global. Artinya, rendahnya posisi IPM Indonesia tidak terlepas dari rendahnya kualitas pendidikan kita. Bank Dunia menilai kualitas pendidikan Indonesia masih rendah meski perluasan akses pendidikan telah dilakukan secara signifikan. 

Bank Dunia mengamati, sejak 2002, Indonesia telah memulai reformasi kebijakan untuk meningkatkan akses dan kualitas pendidikan. Meski begitu kualitas pembelajaran siswa masih berada di bawah tingkat negara lain di kawasan Asia Tenggara. (Republika.co.id, 06 Juni 2018).  

Lebih lanjut, Menurut survei Political and Economic Risk Consultant (PERC), kualitas pendidikan di Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia. Posisi Indonesia berada di bawah Vietnam. Data yang dilaporkan The World Economic Forum Swedia (2000), Indonesia memiliki daya saing yang rendah, yaitu hanya menduduki urutan ke-37 dari 57 negara yang disurvei di dunia. (CNN Indonesia, 19 Januari 2018).

Nah, setali tiga uang, masalah minat baca bangsa kita pun sesungguhnya berada pada titik nadir alias titik terendah. Seperti ditulis oleh Mikhael  Gewati di KOMPAS.com --29 Agustus 2016 bahwa Kondisi minat baca bangsa Indonesia memang cukup memprihatinkan. Berdasarkan studi "Most Littered Nation In the World" yang dilakukan oleh Central Connecticut State Univesity pada Maret 2016 lalu, Indonesia dinyatakan peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca. Indonesia persis berada di bawah Thailand (59) dan di atas Bostwana (61). Padahal, dari segi penilaian infrastuktur untuk mendukung membaca peringkat Indonesia berada di atas negara-negara Eropa.

Rendahnya minat baca, akan sangat berpengaruh terjadap kualitas pendidikan dan semua sector kehidupan, yang sangat melemahkan kualitas sumber daya manusia. Akibat dari rendahnya minat baca, akan melahirkan generasi yang rendah kualitas dan daya membaca yang akhirnya semakin membuat kualitas SDM yang kalah bersaing dengan bangsa lain. 

Kondisi ini akan semakin buruk karena kualitas kesehatan masyarakat bangsa ini juga rendah. Terbukti pula di bidang kesehatan, Indonesia menempati urutan ke 101 dari 149 negara dalam indeks kesehatan global 2017. Kalah dari Malaysia, Thailand, Laos dan Vietnam. Sungguh keadaan kesehatan yang buruk itu akan mengancam bangsa ini bisa memanfaatkan bonus demografi itu.

Masih sangat banyak masalah anak bangsa yang belum terselesaikan dengan optimal. Selain masalah mendasar tentang kualiatas SDM kita, masalah-masalah lain seperti rendahnya tingkat kreativitas dan innovasi serta invensi masyarakat kita akan mengurangi tingkat produktivitas yang seharusnya menjadi andalan bagi bangsa Indonesia yang mendapat bonus demografi tersebut. 

Bagi yang sudah bekerja di sektor pemerintah dan non pemerintah, hingga kini juga belum memperlihatkan kinerja yang tinggi. Walau sudah ada sistem pelayanan satu atap, ada saja kekurangan yang menjadi pelanggan atau ada pihak yang tidak puas dan sebagainya. Bila ini dibicarakan panjang lebar, akan ada banyak yang harus diperbaiki terkait kinerja kerja kita. Apalagi selama ini angkatan kerja kita lebih banyak didominasi oleh lulusan atau tamatan SMP. Kacau bukan?

Memang kacau. Bila kita melihat lagi pada angka pengangguran di negeri ini, walau disebut-sebut sudah menurun, namun masih menjadi masalah yang tidak terpecahkan. Andi Donnal Putera dalam artikelnya di KOMPAS.com -- menulis bahwa Badan Pusat Statistik ( BPS) mencatat terjadi penurunan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT), dari Februari 2017 sebesar 5,33 persen jadi 5,13 persen pada Februari 2018. TPT merupakan indikator untuk mengukur tingkat penawaran tenaga kerja yang tidak digunakan atau tidak terserap oleh pasar kerja. "Dalam setahun terakhir, pengangguran berkurang 140.000 orang, sejalan dengan TPT yang turun jadi 5,13 persen dari 5,33 persen," kata Kepala BPS Suhariyanto melalui konferensi pers di kantornya, Senin (7/5/2018).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun