Mohon tunggu...
M Syarbani Haira
M Syarbani Haira Mohon Tunggu... Jurnalis - Berkarya untuk Bangsa

Pekerja sosial, pernah nyantri di UGM, peneliti demografi dan lingkungan, ngabdi di Universitas NU Kal-Sel

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Memindahkan Ibu Kota ke Kalimantan

8 Juli 2017   19:42 Diperbarui: 29 April 2019   22:27 2077
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kalimantan Tengah, hamparan alamnya yang luas

Berita media awal Juli tentang rencana pemindahan ibukota menjadi semakin merebak. Sesungguhnya ini ide lama Sang Proklamator RI, Ir. Soekarno, untuk memindah ibukota negara dari Jakarta ke Palangka Raya. Karena itu, ide lama ini pun kembali mencuat. Kali ini rezim Jokowi yang nampak serius melakukannya. Sejumlah media menyorotinya dengan beragam sikap, termasuk sejumlah tokoh di negeri ini ada yang kontra selain ada pula yang suka.

Harian Banjarmasin Post, edisi 5 Juli lalu menurunkan berita headline tentang kesiapan Gubernur Kalimantan Selatan Sahbirin Noor yang menyatakan persetujuannya. Paman Birin dan timnya bahkan sudah menyiapkan lokasinya. Di sisi lain, Gubernur Kalimantan Tengah Sugianto Sabran pun setuju. Mereka pun tak kalah sikap menyiapkan lokasi ibukota negara. Mereka  lebih diuntungkan, karena ide pemindahan ibukota negara sudah diwacanakan oleh Presiden RI pertama, Ir. Soekarno, dan diikuti oleh para penerusnya, kecuali Soeharto.

Di luar polemik soal lokasi, sesungguhnya memindahkan ibukota negara dari Jakarta sangatlah mendesak. Ada banyak alasan kenapa DKI Jakarta sudah tidak layak lagi menjadi ibukota negara. Pertama kawasan ini rawan bencana alam, seperti gempa bumi. Kedua, lahannya sudah sangat menipis. Ketiga, penduduknya sudah over populasi. Keempat, letaknya pun tidak strategis. Kelima, ibukota ini warisan kolonial Belanda.

Areal ibukota Jakarta berhadapan langsung dengan kawasan rawan bencana, lautan pasifik. Berkali-kali gempa melanda kawasan itu, sedikit banyak Jakarta terkena imbasnya, walau tidak separah Sumatera Barat, Jawa Barat, Yogyakarta, dan sebagainya. Sebagai kawasan yang berhubungan langsung dengan wilayah rawan bencana itu, tidak tertutup kemungkinan kawasan ini terkena imbas gempa, baik imbas langsung atau imbas lainnya.

Jakarta begitu dekat dengan gunung Krakatau yang ledakkannya 30 ribu kali bom atom Hiroshima dengan tsunami setinggi 40 meter. Efek ledakan Krakatau terasa sampai Afrika dan Australia. Sekarang gunung Krakatau yang dulu rata dengan laut telah "tumbuh" setinggi 800 meter lebih dengan kecepatan "tumbuh" sekitar 7 meter/tahun. Sebagian ahli geologi memperkirakan letusan kembali terulang antara 2015-2083. Jadi nasib Jakarta tinggal "menunggu waktu" saja...

Persoalan penduduk juga masalah lain. Adanya over populasi (jumlah penduduk melebihi daya tampung) merupakan penyebab utama kenapa banyak negara memindahkan ibukotanya. Misalnya Jepang dan Korea Selatan. Mereka kini juga tengah merencanakan pemindahan ibukota negaranya. Jepang ingin memindahkan ibukotanya karena wilayah Tokyo Megapolitan penduduknya sudah terlampau besar, mencapai 30-an juta jiwa. Korsel pun juga begitu, karena wilayah Seoul dan sekitarnya penduduknya sudah mencapai 20-an juta. Begitu juga dengan New York dan sekitarnya, yang pernah menjadi ibukota negara AS, dulu total penduduknya saat akan dipindahkan sudah mencapai di atas 20-an juta jiwa.

Menurut sebuah publikasi, pemerintah kolonial Belanda pernah merancang Jakarta hanya untuk menampung sekitar 800.000 penduduk saja. Nyatanya hari ini Jakarta sudah mencapai 10-an juta jiwa. Apalagi jika ditambah dengan kawasan sekitar, Metropolitan Jabodetabek, maka jumlahnya pantastis membengkak lagi hingga mencapai total 23 juta jiwa.

Belajar dari negara lain

Memindah ibukota haruslah belajar dari negara-negara lain. Janganlah seperti Malaysia, yang jarak lokasinya cuma 40 kilometer.  Akibatnya sebagian warga tidak pindah sehingga perjalanan menjadi jauh, dampaknya menimbulkan kemacetan. Oleh karena itu pindah ke kawasan Jawa Barat, atau Jonggol seperti pernah diusulkan Soeharto dulu menjadi tidak relevan. Pemindahan ibukota model Brazil bisa menjadi sebuah cara, di mana mereka memindahkan ibukotanya begitu jauh, dari Rio de Janeiro ke Brasilia.

Model lainnya adalah Amerika Serikat dari New York ke Washington DC. Atau model Jepang (dulu) yang memindah dari Kyoto ke Tokyo. Begitu juga model Australia dari Sidney ke Canberra, dan model Jerman dari Bonn ke Berlin. Indonesia sendiri pernah pindah ibukota dari Jakarta ke Yogyakarta, lokasi yang lumayan jauh dari lokasi asalnya. Negara-negara tersebut memindahkan ibukotanya dengan beragam alasan dan pertmbangan. Itulah yang juga harus dipertimbangkan oleh negeri ini, negeri terbesar ke-4 di dunia, setelah RRC, India dan AS. Kalau tidak, buat apa memindah ibukota. Haanya buang-buang waktu, tenaga, dan biaya saja.

Dalam konteks ini, kita harus sadar bahwa lebih dari 80% uang yang ada di Indonesia beredar di Jakarta. Oleh karena itu, urbanisasi dari sejumlah daerah di negeri ini melaju pesat ke Jakarta. Magnet Jakarta sangat dahsyat. Saat ini, Jakarta dihuni oleh sekitar 10 juta jiwa, dan pada hari kerja malah sampai 13 juta jiwa. Ditambah penduduk sekitarnya, seperti Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi diperkirakan sekitar 23 juta jiwa. Jika ini terus dibiarkan jadi ibukota, maka jumlah ini akan terus membengkak. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun