Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Puasa dan Aksi Sweeping

23 Mei 2016   15:45 Diperbarui: 23 Mei 2016   18:01 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Hanya tinggal beberapa minggu lagi seluruh dunia akan memasuki bulan Ramadhan, bulan dimana seluruh umat muslim diwajibkan berpuasa. Indonesia disebut sebagai negara berpenduduk mayoritas muslim terbesar di dunia, sehingga bulan Ramadhan disamping sebagai bulan dilaksanakannya ibadah puasa bagi umat muslim, namun diyakini juga sebagai bulan yang berdampak terhadap banyak keberkahan dan keuntungan. Keuntungan dan keberkahan tidak hanya dinikmati oleh umat muslim sendiri yang berpuasa, tetapi juga bisa dinikmati para pebisnis musiman, yang bisa siapa saja tidak harus berlatar belakang seorang muslim. Bulan Ramadhan telah memiliki daya tariknya tersendiri bagi siapa saja, melewati demarkasi keagamaan manusia dimana Ramadhan hadir dalam setiap pluralitas meskipun pemaknaannya diapresiasi secara individualitas, hanya bagi mereka yang menjalankan puasa.

Beragam keuntungan dapat diraih dalam bulan Ramadhan tidak hanya bersifat “immaterial” atau “transendental”, dimana pribadi yang berpuasa cenderung akan lebih tunduk dan patuh kepada kekuatan yang berada diluar dirinya, yaitu Tuhan. Sehingga sifat-sifat Ketuhanan oleh orang yang berpuasa lebih cenderung ditampakkan dalam rangka menutupi sifat-sifat kemanusiaannya. Tidak hanya itu, Ramadhan  juga bisa berdampak “material” bagi mereka yang cenderung berorientasi bisnis dan menganggap bulan Ramadhan merupakan bulan yang dapat meningkatkan perekonomian mereka. Dalam banyak hal, Ramadhan dalam konteks keindonesiaan selalu tampak lebih unik, karena banyak kondisi tertentu yang tidak mungkin dijumpai di negara-negara mayoritas muslim manapun, seperti ekspektasi masyarakat mengenai tradisi mudik, perputaran bisnis dan ekonomi yang meningkat, harga-harga bahan pokok yang merangkak naik, atribut-atribut keislaman yang marak dan bahkan terkadang juga muncul aksi-aksi sweeping yang dilakukan oleh kelompok tertentu.

Ramadhan juga seringkali disebut sebagai bulan mulia, bahkan penyebutan bulan mulia seakan sudah menjadi “tren” yang banyak dijumpai dalam acara-acara televisi maupun tulisan-tulisan “musiman” di media cetak dan itu terjadi sepanjang Ramadhan. Padahal, kemuliaan bulan Ramadhan sejatinya hanya dapat dipahami secara tepat oleh Tuhan dan rasul-Nya. Dalam sebuah Hadis Qudsi riwayat Imam Muslim disebutkan bahwa puasa adalah ibadah untuk-Nya dan Dia-lah yang akan membalasnya (Asshaumu lii wa ana ajzii bihi). Berpijak pada riwayat ini, maka kemuliaan bulan Ramadhan dengan segala konsekuensinya hanya akan dapat dirasakan secara khusus oleh pribadi-pribadi muslim yang menjalankan puasanya karena Tuhan, bukan karena hal-hal lainnya yang ada diseputar Ramadhan.

Ramadhan juga biasanya dipahami oleh banyak orang sebagai bulan amal, karena dibulan ini setiap amal baik yang dilakukan seseorang akan mendapatkan balasan berlipat ganda dari Tuhan. Begitupun sebaliknya, seseorang yang melakukan keburukan maka dia akan dibalas oleh berlipat-lipat keburukan juga. Sehingga konsekuensi dari Ramadhan sebagai bulan amal  adalah munculnya fenomena masyarakat yang berlomba-lomba melakukan amal baik, biasanya dalam bentuk sedekah atau bantuan kemanusiaan bahkan tidak hanya dilakukan secara pribadi tetapi banyak juga perusahaan-perusahaan, kelompok masyarakat, unsur pemerintahan bahkan partai politik membuat kegiatan amal dalam rangka memaknai bulan Ramadhan. Kita seringkali menyaksikan, bahwa justru kegiatan-kegiatan yang bersifat amal (charity) marak dijumpai pada saat Ramadhan. Jika kemudian Ramadhan dipahami sebagai bulan mulia dan bulan amal, lalu mengapa terkadang masih saja ada sekelompok orang yang melakukan sweeping? Bukankah sweeping dengan segala konsekuensinya lebih berdampak kepada kerusakan dan berkonotasi amal buruk sehingga mendapatkan balasan keburukan yang berlipat ganda pula?

Memang, terkadang ada sekelompok ormas tertentu yang memahami Ramadhan sebagai bulan mulia dan suci sehingga keberadaannya perlu dimuliakan dengan cara “membersihkan” anasir-anasir “keburukan” yang ada dalam realitas masyarakat sesuai persepsi mereka karena dianggap penodaan atas kesucian dan kemuliaan bulan Ramadhan. Padahal, tanpa dimuliakan dan disucikan, bulan Ramadhan dalam dirinya sendiri sudah suci dan mulia bagi orang yang berpuasa. Kemuliaan bulan Ramadhan seharusnya dipahami dalam makna batin (esoteris), bukan makna dzohir (eksoteris). Apalagi puasa lekat dengan dimensi esoteris seseorang, keimanan seseorang, keyakinan seseorang, sehingga berpuasa atau tidaknya seseorang semestinya tidak berada pada wilayah penilaian manusia, tetapi penilaiannya seharusnya ditempatkan pada wilayah hak prerogratif Tuhan. Orang yang berpuasa berarti dia sedang meneladani sifat-sifat Ketuhanan, sehingga puasa diharapkan membentuk pribadi muslim yang berkarakter Ketuhanan, menjadi pribadi lembut, mudah memaafkan, kasih sayang kepada sesama atau memiliki kepekaan sosial yang tinggi.

Jika seseorang itu berpuasa dengan baik, pasti dia sedang berupaya meneladani sifat-sifat Ketuhanan yang tadi. Dalam puasa, seseorang diajarkan untuk sabar, tidak marah, tidak makan dan minum, peduli pada sesama atau mudah memaafkan orang lain. Oleh karena itu, munculnya keinginan aksi-aksi semisal sweeping dalam hal pemberantasan “keburukan” disaat sedang berpuasa justru malah menodai kesucian bulan Ramadhan sendiri. Hal ini jelas diakibatkan karena puasa yang kita lakukan belum sampa merefleksikan ibadah dalam hal meneladani sifat-sifat Ketuhanan. Aksi sweeping justru lebih menonjolkan sifat-sifat kemanusiaan dimana mereka cenderung sulit mengendalikan amarah, bersifat merusak, menyakiti orang lain, kurang sabar, atau sulit memberikan maaf  kepada sesama. Lagi pula, tugas sweeping terhadap apa yang dianggap sebagai “penyakit masyarakat” merupakan wilayah kerja aparat keamanan, dalam hal ini kepolisian, bukan tugas ormas atau kelompok tertentu apalagi dengan mengatasnamakan agama. Jika puasa dipahami sebagai upaya  meneladani sifat-sifat Ketuhanan, maka keberadaan Ramadhan sebagai bulan suci dan mulia tentunya akan tetap terjaga bahkan tak mungkin “ternodai” oleh apapun.

Wallahu a’lam bisshawab

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun