Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Mudik dan Orgasme Ramadan

22 Juni 2017   13:38 Diperbarui: 22 Juni 2017   14:10 673
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana terminal bis Pulo Gadung pada 10 Agustus 1980. Para penumpang dengan barang, anggota keluarga termasuk bayi dan anak-anak, menanti bus masuk terminal. Sejumlah bus sedang dipersiapkan di bagian lain di terminal ini, harus dalam keadaan kosong ketika masuk terminal. Penjualan karcis, pungutan pembayaran dilakukan di atas bus, karena kesulitan teknis pelaksanaan penjualan melalui loket-loket. Akibatnya, umumnya para kondektur memungut lebih daripada ketentuan. "Tetapi itu perbuatan oknum," kata Dirjen Perhubungan Darat Nazar Noerdin. KOMPAS/PIUS CARO

Mungkin bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, akhir bulan Ramadan adalah persiapan menuju "puncak kenikmatan" menjalankan "ibadah" mudik ke kampung halaman. Perjalanan yang jauh dan sulit, tampaknya tak pernah menjadi beban, karena mudik menjadi semacam orgasme setelah puasa yang sulit tergantikan oleh hal apapun. 

Kenikmatan mudik adalah hal yang paling dicari di penghujung Ramadan, terbukti dari jutaan orang memenuhi jalan, bertebaran dalam beragam kendaraan menuju kampung halaman. Jika para sufi selalu mencapai orgasme ibadah-nya melalui dzikir dalam keheningan batin dan merasa "berduaan" dengan Tuhannya, maka masyarakat Indonesia memburu orgasmenya melalui mudik yang hanya dirasakan pada setiap tahun saja.

Puncak kenikmatan atau orgasme tentu selalu dicari dan diinginkan oleh setiap manusia sebagai bentuk terlampiaskan hawa nafsunya secara total. Orgasme biasanya di dahului oleh proses-proses kesabaran dan pengekangan secara bertahap, demi kesempurnaan sebuah orgasme yang akan diperoleh. 

Puasa di bulan Ramadan yang dijalankan umat muslim selama satu bulan adalah upaya  pengekangan, proses perjalanan kesabaran seseorang untuk dapat mengendalikan hawa nafsunya yang puncak kenikmatannya adalah taqwa. Taqwa jelas merupakan "orgasme" keimanan yang didapatkan melalui ujian kesabaran yang selama satu bulan ditempuhnya, mengekang hasrat dan nafsunya dengan berpuasa.

Namun, orgasme Ramadan yang hendak diraih oleh jutaan umat muslim di Indonesia terasa berbeda, bukan kenikmatan "berduaan" dengan Tuhan seperti halnya kaum sufi atau kenikmatan taqwa yang umumnya diraih oleh mereka yang secara khusyuk berpuasa. Puncak kenikmatan setelah berpuasa satu bulan dirasakan oleh kegiatan mudik, berbondong-bondong merasakan kenikmatan pulang kampung walaupun dalam suasana susah payah. 

Mudik menjadi fenomena orgasme Ramadan yang diburu dan dicari oleh sebagian besar masyarakat muslim di Indonesia dengan rela mengorbankan apa saja demi memperoleh puncak kenikmatan puasa ini. Meningkatnya jumlah pemudik setiap tahunnya, tentu menjadi sangat nyata bahwa memburu kenikmatan mudik adalah "hasil" dari pengekangan kenikmatan yang dilakukan selama satu bulan penuh.

Disadari maupun tidak, mindset setiap muslim di Indonesia ketika dihadapkan dengan Ramadan adalah bagaimana menyusun strategi yang baik agar mampu mencapai kenikmatan di saat mudik. Dari mulai persiapan pembelian tiket, perbaikan kendaraan, membeli kendaraan baru, mencari waktu yang tepat untuk mudik dan mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya untuk seluruh pembiayaan yang terkait dengan kegiatan mudik lebaran. 

Mudik lebaran jelas tidak ada hubungannya dengan promosi "Islam Nusantara" yang ramai di Indonesia, karena mudik bukanlah tradisi yang diserap kedalam ajaran agama. Mudik lebaran hanyalah tradisi kemanusiaan---diluar agama---yang terbentuk secara budaya tetapi mendapat dukungan dari agama. Prinsip silaturrahim yang diwajibkan oleh agama dan boleh dilakukan setiap saat, kemudian dilokalisir oleh kebiasaan masyarakat hanya "wajib" dilakukan di waktu lebaran.

Tidak ada yang salah dengan tradisi mudik, karena banyak nilai-nilai kemanusiaan yang terbentuk  pada setiap aktivitasnya, seperti silaturrahim, menjadi dermawan atau "sabar" melakukan perjalanan mudik . Hanya saja, seringkali kita melupakan atau bahkan membuang jauh-jauh nilai-nilai yang lebih penting dari sisi kemanusian yang dibentuk oleh puasa Ramadan selama sebulan penuh. Nilai-nilai kemanusiaan seperti sabar, mampu menjalankan manajemen emosional secara baik, berwatak dermawan dan suka menolong orang lain, menjadi peka terhadap fenomena kemiskinan dan kesulitan, justru kelihatannya tergerus oleh aktivitas mudik yang seakan menjadi orgasme Ramadan.

Puasa Ramadan yang diwajibkan selama satu bulan, bukanlah sekedar kewajiban agama yang tak memiliki konsekuensi apapun. Jumlah hari dalam puasa menunjukkan betapa manusia tak akan bisa ditembus jiwanya dalam waktu singkat, tapi butuh berhari-hari bahkan berminggu-minggu untuk menembusnya, sehingga terbiasa melakukan kebajikan dan menolak hal-hal yang buruk. 

Oleh karena itu, puasa yang dijalankan selama sebulan oleh setiap umat muslim semestinya mampu mentradisikan nilai-nilai yang ditanamkan oleh puasa, termasuk sabar, dermawan, memiliki kepekaan sosial dan piawai dalam soal manajemen hawa nafsu. Tiga puluh hari yang diwajibkan kepada umat muslim berpuasa, akan membentuk pribadi-pribadi muslim yang taqwa, mengejar kemanfaatan dan kebaikan terus menerus sebagai bentuk orgasme puasa di akhir bulan Ramadan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun