Mohon tunggu...
Sutomo Paguci
Sutomo Paguci Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat

Advokat, berdomisili di Kota Padang, Sumatera Barat | Hobi mendaki gunung | Wajib izin untuk setiap copy atau penayangan ulang artikel saya di blog atau web portal | Video dokumentasi petualangan saya di sini https://www.youtube.com/@sutomopaguci

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Miris, Dewi Keadilan Diperkosa

5 April 2013   14:48 Diperbarui: 24 Juni 2015   15:41 188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13651479021979364692

[caption id="attachment_236405" align="aligncenter" width="265" caption="Ilustrasi Dewi Keadilan (www.ariefabian.blogspot.com/2011/07/makna-symbol-keadilan.html)"][/caption] Benar. Gambar di atas adalah simbol Dewi Keadilan atau Dewi Iustitia (The Lady of Justice). Ia digambarkan seorang perempuan cantik dalam legenda Yunani kuno, berbusana lengkap, matanya ditutup, tangan kirinya memegang timbangan, dan tangan kanannya memegang pedang. Bayangkan jika patung Dewi Keadilan itu hidup! Seperti di film-film. Dimasuki roh. Ia jadi manusia. Lalu datanglah seorang lelaki jahat menghampirinya, membekap mulutnya, melucuti pakaiannya satu per satu hingga tak tersisa selembar benang pun, merampas pedangnya, melepas tutup matanya, dan merenggut timbangan di tangannya. Dewi keadilan tak berdaya. Ia terkapar. Pasrah saat kesuciannya direngut oleh lelaki itu. Dalam lenguh kenikmatan si pemerkosa, Dewi Keadilan meronta saat dirodapaksa oleh si haram jadah. Sulit dijelaskan secara hitam putih, siapa yang salah. Apakah si pemerkosa atau si Dewi Keadilan. Karena si pemerkosa awalnya datang menggoda. Si Dewi Keadilan nampak tertarik, kerlingnya seperti "mengundang". Namun, jika pemerkosa dipancing-pancing untuk memberi bocoran, katanya, yang menggoda duluan justru Dewi Keadilan. Sekali diperkosa si Dewi Keadilan memang trauma. Lama-lama malah, maaf, menikmati. Lalu berubahlah ia jadi binal dengan nama Dewi Bejat. Mata yang harusnya tertutup tanpa melihat siapa yang dihadapi, sekarang sudah terbuka dan hanya melihat yang berkantong tebal. Begitupun timbangan di tangan, memang masih ada, kembali dipegangnya, namun sudah berat ke arah si penyetor (bukan ke arah kebenaran). Pedang memang kembali di tangan, setelah kejadian pemerkosaan tadi, namun sekarang bukannya digunakan untuk menebas si penjahat, melainkan digunakan untuk menebas pihak-pihak yang berlawanan dengan si penyetor. Perumpamaan itulah yang terjadi saat ini. Dewi Keadilan sebagai representasi para penegak hukum sudah tercemar, sudah ternoda, tak suci lagi. Ia sudah terkontaminasi dosa besar seorang Dewi, yakni perzinahan. Ia telah berzinah dengan para pemodal, para penyuap, atau para bandar. Harusnya penegak hukum tak punya kepentingan apa-apa dalam penegakan hukum kecuali pada hukum itu sendiri, keadilan, kebenaran, dan kepentingan masyarakat banyak. Namun yang terjadi justru sebaliknya. Penegak hukum terseret dalam kepentingan pasca kongkalingkong dengan para penyetor. Kepentingannya adalah duit masuk lalu membela kepentingan penyetor. Mirip pelacur. Sebagian mirip pelacur murahan di perempatan lampu merah, dibayar tiao (jutaan) sudah girang. Sebagian lagi mirip pelacur jet set yang dipanggil ke hotel-hotel berbintang, dengan bayaran miliaran bahkan ratusan miliar. Yang tidak menyetor akan dilayani juga. Namun dengan malas-malasan. Tak jarang warga yang melapor harus repot-repot menghabiskan waktu karena dipingpong ke sana ke mari, ke meja X higga Z. Warga habis dikerjai sampai kecapekan, tujuannya supaya nyetor juga. Yang paling kurang ajar adalah ini. Sudah diberi setoran, sudah dikasih makan seperti anjing, tapi kerjanya masih lambat. Sudah disogok tapi masih lambat. Lebih menjengkelkan ketimbang anjing atau babi! Bagi warga yang tahu aturan hukum akan dilayani dengan muka masam dan dilama-lamakan dengan berbagai alasan. Baru setelah si warga melapor ke sana ke mari, menghubungi LSM, menceritakan kasusnya pada jurnalis---intinya pontang-panting---baru laporannya ditindaklanjuti dengan standar kerja pas-pasan. Pada akhirnya warga frustasi. Ha! Warga dapat ide. Mereka melapor ke preman dan ormas, pam swakarsa, satgas, jasa pengamanan swasta, dan sebagainya. "Penegak hukum" atau "Penegak Moral" partikelir ini jauh lebih gesit dan bisa diandalkan ketimbang aparat hukum resmi. Mereka cukup sportif dan konsekuen. Kalau sudah menerima bayaran, ya, mereka kerja dengan benar. Bahkan tetap mau kerja sekalipun dibayar setelah target tercapai. Dalam beberapa kasus, Dewi Bejat berkolaborasi dengan para preman. Para preman ini dibina dan dipelihara oleh Dewi Bejat. Dewi Bejat bisa leluasa dengan menjual pengaruh dan lencana di pundaknya. Sekalipun kadang mereka (Dewi Bejat dan preman) saling babat jika kepentingan masing-masing terganggu atau pembagian yang kurang pas. Dalam situasi penegak hukum yang kacau balau demikian ada yang mencoba memperbaikinya. Namun mulai dari mana? Karena yang akan mengusut Dewi Bejat itu adalah Dewi Keadilan (yang juga bejat). Terkurung di lingkaran setan! (SP)

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun