Mohon tunggu...
Supadiyanto Espede Ainun Nadjib
Supadiyanto Espede Ainun Nadjib Mohon Tunggu... profesional -

Penggiat di Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) DIY. Penulis buku: "BERBURU HONOR DENGAN ARTIKEL, TIPS DAN STRATEGI MENANGGUK RUPIAH DARI SURAT KABAR" terbitan Elex Media Komputindo (Kelompok Kompas Gramedia). Adalah kolumnis, pernah menjadi dosen tetap dan tamu (luar biasa) Universitas Islam Negeri "UIN SUKA" Sunan Kalijaga; serta Akademi Komunikasi "AKINDO" Indonesia, dan Akademi Komunikasi "AKRB" Radya Binatama Yogyakarta (Kelompok STMIK AMIKOM). Alumni Konsentrasi Kebijakan Media (Media Policy) Program Studi Magister Ilmu Komunikasi Program Pascasarjana FISIPOL Universitas Diponegoro (UNDIP) Semarang. Hobi memotret. Baru menulis 7 buku, 15 jurnal dan prosiding Internasional dan nasional, lebih dari 70 makalah pada berbagai forum ilmiah. Tinggal di: Jalan Ki Srogo Padukuhan Sragan, RT 01/ RW 31 Kelurahan Sendangmulyo, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Provinsi D.I. Yogyakarta. Kontak: 08179447204, e-mail: padiyanto@yahoo.com, supadiyantoundip@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

DASAR-DASAR JURNALISME WARGA (1): Semua Orang adalah Pewarta Warga (Citizen Journalist)

1 September 2012   09:48 Diperbarui: 4 Maret 2016   20:02 3529
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Era ketertutupan sudah tamat. Sekarang eranya keterbukaan. Kalau puluhan tahun silam, orang yang bisa menulis di surat kabar hanyalah para wartawan dan penulis terkenal. Kalau dulu yang bisa menyiarkan berita di televisi hanyalah wartawan televisi. Jika dahulu kala yang hanya bisa menyiarkan berita di radio hanyalah para wartawan radio. Kini zaman telah berubah. Semua surat kabar, radio dan televisi sejak tahun 2005 silam memberikan ruang seluas-luasnya kepada setiap pembaca, pemirsa dan pendengar berbagai media cetak dan elektronik untuk menyiarkan informasi atau berita yang dimiliki.

Contoh sederhana, stasiun televisi swasta nasional bernama Metro TV memberikan kesempatan kepada masyarakat umum untuk menayangkan video hasil rekaman mereka. Stasiun televisi milik Surya Paloh itu bahkan berani tampil dengan program acara “Wideshot” yang dihelat setiap hari Senin-Jumat pukul 13.00 – 17.00 WIB. Dan jauh hari sebelumnya, berbagai surat kabar juga memberikan ruang khusus kepada para pembaca untuk menuangkan gagasan mereka. Dan hal ini menjadi kesempatan emas bagi masyarakat menjadi pewarta warga alias pewarta rakyat.

Itulah tren bermedia dewasa ini. Di mana para pemilik modal media massa berlomba-lomba menggaet para pembaca, pemirsa dan pendengar dengan melibatkan mereka melalui pemuatan karya jurnalistik mereka. Harapannya, dengan cara demikian, loyalitas para pembaca, pemirsa dan pendengar terhadap sebuah media massa dapat terjaga dengan baik.

Nah, pelibatan masyarakat umum untuk menampilkan karya-karya jurnalistik di berbagai media massa cetak dan elektronik semacam itulah yang sesungguhnya disebut sebagai sistem jurnalisme warga. Di mana para pemilik modal memberikan kesempatan yang luas kepada masyarakat untuk menyiarkan informasi atau berita yang dimiliki. Dan pada saat yang bersamaan, warga masyarakat juga memiliki kesadaran diri dalam menyiarkan informasi atau berita.

Sejatinya, siapakah pewarta warga alias citizen journalist bin citizen reporter atau ada juga yang menyebutnya grassroot journalist dan ada pula yang menamai participatory journalist, dan netizen itu? Apakah pewarta warga bisa juga dikatakan sebagai profesi, mata pencaharian dan bisa menghasilkan uang; sebagaimana profesi PNS, wartawan, polisi, guru, tentara, ustad dan lain sebagainya? Toh kalaupun pewarta warga bisa menjadi profesi, apakah hak dan kewajibannya sama dengan wartawan atau penulis profesional?

Jelaslah selama ini, publik masih banyak yang merasa asing dengan profesi wartawan, apalagi dengan profesi pewarta warga. Coba saja tanyakan pada sekian ribu anak SD di Jakarta sana atau di Papua sana sekalian, adakah satu anak SD saja dari sekian ribu anak itu yang bercita-cita ingin menjadi pewarta warta ataupun wartawan? Sebab profesi yang disebutkan di atas masih sangat asing di tengah mata masyarakat pedesaan, pegunungan, pinggiran kota; hingga anak-anak SD-SMA sama sekali belum pernah mendengar orang yang menyebutkan kata wartawan atau pewarta warga pada mereka.

Penulis amat yakin seyakin-yakinnya, dari sekain ribu anak SD itu, pastilah menjawab vulgar bahwa ia berkeinginan kelak jika besar akan lebih memilih cita-cita menjadi tentara, guru, pedagang, presiden, gubernur, pengusaha, polisi dan profesi yang tampak sudah baku lainnya. Propaganda mengenai apa itu pewarta warga di tengah masyarakat juga masih minus. Dengan demikian, butuh kesadaran banyak kalangan untuk mempublis urgensitas kehadiran pewarta warga bagi negeri tercinta ini.

Pada dasarnya, pewarta warga adalah jurnalisme akar rumput yang timbul dan tumbuh dari bawah ke atas (bottom-up) dan bukan dari atas ke bawah (top-down). Mereka bisa menuturkan secara menyeluruh peristiwa-peristiwa yang terjadi di sekitarnya dan ini bukan sekedar dalam bentuk berita saja. Mereka menghayati dan menjiwai benar apa-apa yang mereka ceritakan, sebab hal itu adalah hasil pengamatan ataupun pengalaman mereka sendiri. Jadi bukan hanya sekedar berita yang ditawar melainkan berita yang ditulis dengan penuh perasaan, penuh data dan penuh analisa yang jeli.

Secara struktural, pewarta warga tak terikat dengan atau oleh media massa elektronik (online) dan atau media massa cetak jenis manapun juga. Dengan begitu, mereka bisa jauh lebih bebas (leluasa) mengungkapkan pendapat maupun pikiran mereka masing-masing. Dalam sistem pewarta warga, posisi pembaca adalah raja, karena merekalah juga yang sekaligus menjadi penulis.

Menurut pemikiran kritis penulis, pewarta warga adalah orang-orang biasa (sipil) yang berkomitmen serius ingin mencerdaskan masyarakat luas melalui sharing berbagai informasi. Ia lebih merupakan sebuah kegiatan ranah/bidang jurnalistik, di mana masyarakat (umum, dari berbagai strata sosial) yang secara formal bukanlah seorang jurnalis (konvensional-profesional), akan tetapi mereka secara aktif memainkan peran layaknya seorang wartawan atau melakukan kegiatan jurnalistik. Yakni berpartisipasi memberikan kontribusi untuk mengumpulkan informasi, menulis berita, mengeditnya, menganalisis, melaporkan, dan menyiarkannya agar bisa dikonsumsi oleh publik.

Penulis pribadi lebih nyamleng menamai pewarta warga adalah pewarta rakyat, sebuah profesi yang patut disandang oleh para relawan yang secara ikhlas turut aktif dalam mengembangkan model jurnalisme yang mengedepankan hati nurani dan kejujuran (the soul and honest journalism).

Menurut Jay Rosen, citizen reporter (pewarta warga) adalah kalangan masyarakat yang pada mulanya hanya sebagai pendengar an sich. Pihak yang hanya sebagai penerima pesan dari sistim media massa yang berlangsung satu arah saja, dalam bentuk media-media penyiaran dengan biaya tinggi dan media-media tersebut berlomba bersuara selantang-lantangnya, sementara para pendengar terisolasi satu sama lain.

Situasi itu saat ini telah berubah total, drastis. Kondisi masyarakat sudah berubah lebih progresif, masyarakat yang lebih dinamis dan memiliki kemampuan berpikir logis-analitis yang mampu menentukan jalan hidupnya sendiri. Intinya, kemajuan peradaban yang menyertai kemajuan zaman manusia dari masa ke masa telah melahirkan sebuah pola interaksi antar manusia yang berbeda antara zaman dulu dengan zaman sekarang. Hal ini tidak luput terjadi juga di dunia media massa cetak dan elektronik. Dari hanya satu arah menjadi multiarah, multidimensional. Dari hanya sebagai pembicara dan pendengar menjadi diskusi-interaktif, tanya-jawab, memberi-menerima (take and give) dan seterusnya.

Peran informasi, dalam bentuk yang sesederhana apapun adanya, tidak pelak merupakan penentu keberhasilan usaha apapun yang dilakukan manusia. Kemenangan dan kegagalan dalam sebuah peperangan amat ditentukan oleh kehandalan agen spionase dan intelijen yang tugas utamanya mengumpulkan informasi dari musuh masing-masing pihak yang bertikai. Kemajuan penjualan produk sebuah perusahaan, yang menjadi tumpuan mati-hidupnya perusahaan itu, sangat tergantung kepada peran promosi dan iklan yang tidak lain berisi informasi tentang produk dan proses menginformasikannya kepada calon konsumen. Keberhasilan pendidikan tiada terlepas dari kualitas informasi dan metode transformasi informasi tentang ilmu pengetahuan antara pengajar dan pembelajar di lembaga-lembaga pendidikan. Bahkan keberhasilan pertanian di masyarakat tradisional di zaman prasejarah juga ditentukan oleh ketersediaan informasi yang umumnya didapatkan dari tanda-tanda alam seperti bintang, arah angin, bunga tumbuhan tertentu hingga suara dan gerak khusus binatang sekitar.

Menyadari begitu pentingnya informasi bagi seseorang, seharusnya setiap manusia memiliki akses yang cukup memadai terhadap sumber-sumber informasi. Kualitas hidup seseorang akan amat ditentukan oleh kualitas informasi apa saja yang diaksesnya. Kualitas informasi (dan juga data) merujuk kepada akurasi dan ketepatan waktu informasi itu didapatkan.

Informasi yang tidak valid, tidak benar, bahkan menyesatkan, akan berdampak pada kesalahan pengambilan “keputusan hidup” bagi seseorang dan masyarakat. Sebaliknya, dengan didukung oleh informasi dan data yang benar, akurat, dan tersedia tepat pada saat diperlukan, kehidupan masyarakat akan meningkat. Pada sisi lain, setiap orang mempunyai kebutuhan dan ketertarikan yang berbeda terhadap informasi. Seorang insinyur akan lebih tertarik untuk membaca rubrik tentang rancang bangun gedung pencakar langit. Sementara seorang juru masak justru lebih memilih bacaan tentang masakan-masakan tradisional Dayak. Oleh karena itu, ada beberapa kalangan yang membangun media komunikasi massa yang hanya diperuntukan bagi kalangan internal komunitasnya.

Penyediaan dan sirkulasi informasi yang “steril” dari kepentingan pihak-pihak tertentu, benar, jujur dan faktual, tidak tendensius serta tidak bersifat provokatif-negatif, adalah hal yang mutlak. Untuk memenuhi kebutuhan informasi yang sesuai dengan kriteria ini, diperlukan kejujuran dari semua pihak, terutama sumber-sumber dan pelaku jurnalisme. Agar kondisi ini tercapai, seluruh komponen masyarakat perlu diberdayakan (bukan diperdayai) sebagai subyek informasi; penyedia informasi, pengolah dan pengguna informasi, sehingga berlaku idealisme demokrasi media: dari warga masyarakat, oleh warga masyarakat, dan untuk warga masyarakat. Pada poin penting inilah, keberadaan citizen reporter atau pewarta warga menjadi amat fundamental. Setiap orang difungsikan dan memfungsikan diri sebagai pemberi informasi yang sekaligus juga pengguna informasi itu sendiri. Warga masyarakat tidak lagi sebagai konsumen informasi belaka, tetapi juga sebagai penyedia informasi (prosuden info) bagi orang lain.

Orang mungkin bertanya, bagaimana itu bisa terjadi? Mampukah warga masyarakat biasa menghasilkan sebuah tulisan yang memenuhi standar jurnalistik yang baku? Bagaimana pula mengontrol peredaran informasi yang mungkin saja bisa simpang-siur karena banyak pihak yang memberitakan sesuatu dengan versinya masing-masing? Bagaimana dengan validitas dan pertanggungjawaban informasi yang diberikan oleh seorang citizen reporter? Dan pertanyaan lanjutan lainnya.

Pewarta warga tidaklah dimaksudkan untuk membuat segalanya bebas tak terhalang apapun dalam mengekspresikan informasi yang dimiliki. Namun sistim ini lebih bertujuan untuk memberikan akses sepada masyarakat biasa, bukan profesional, kepada media massa dari mulai pencarian informasi, penyajian, hingga kepada penggunaannya. Oleh karena itu, dalam pengelolaannya, setiap individu memikul beban tanggung jawab terhadap semua informasi yang dimiliki dan dibagikannya melalui tulisan di media massa. Dalam tanggung jawab tersebut terkandung tugas-tugas untuk menghasilkan tulisan yang benar, jujur, informatif, serta bermanfaat bagi orang banyak. Para pekerja pers mengetahui prinsip ini: “suatu tulisan disebut berita jika ia memenuhi syarat kebermanfaatan bagi masyarakat”.

Menghasilkan sebuah tulisan yang benar, sesuai fakta, jujur, tanpa tendensi negatif, tidak provokatif-negatif, dan seterusnya, dapat dilakukan oleh semua orang tanpa harus memiliki tingkat pendidikan dan ketrampilan tertentu. Bertugas sebagai citizen reporter justru akan menjadi wadah strategis bagi setiap orang untuk menjadi pewarta warga yang jujur, berdedikasi, memiliki jiwa sosial yang tinggi, serta melatih diri untuk bertanggung jawab. Seluruh tulisan atau berita yang disampaikan kepada publik, tanggung jawab sepenuhnya berada pada si penulis pribadi. Karena redaksi setiap media pewarta warga manapun tidak bertanggung jawab terhadap konsekuensi dari sebuah hasil karya para pewarta warga.

Selama ini, kita sadar betul jurnalistik berarus main stream umumnya mengejar aktualitas, sensasi, mendikte, instan, kurang memberi konteks dan berita yang hampir seragam. Dalam teori pewarta warga ada yang disebut extending the news from mainstream media. Menurut argumen Dan Gillmor disebut sebagai journalism as a conversation, bukan lagi journalism as lectures. Jika dicermati, media mainstream pada umumnya mendikte masyarakat dengan berita yang hampir sama, sehingga seakan tidak ada ruang hak berdialog dengan wacana yang diberitakan media. Ketidakpuasan inilah yang melahirkan pewarta warga. Amat gamblang terlihat betapa media-media massa di Indonesia senyatanya sangat mengejar ”sensasi” daripada ”esensi”.

Di Indonesia sendiri, media yang berbasis pewarta warga baru berkembang sejak tahun 2005. Media pewarta warga di Indonesia antara lain: www.pewarta-indonesia.com, www.kompasiana.com, www.panyingkul.com, www.kabarindonesia.com, www.halamansatu.net, www.wikimu.com, www.sumbawanews.com, dsb.

Kekuatan pewarta warga justru pada aspek kebebasan berbicara (memberikan informasi dan aspirasi publik) yang mendukung demokrasi ”yang sesungguhnya” sebagai sistem pemerintahan Indonesia. Setiap orang memiliki hak untuk memberikan kritik, informasi, opini, dan saran dengan bebas tanpa harus takut terjerat hukum. Selain itu kekuatan dari pewarta warga yaitu mengalahkan media massa lain dalam hal aktualitas dan otentitas. Inilah modal besar pewarta warga yang bisa menjadi kekuatan tiada tertandingi dalam memajukan peradaban sebuah bangsa.

Kendati pewarta warga dikelola oleh orang-orang biasa dalam artian melibatkan warga dalam arti luas, bukan berarti setiap karya jurnalistik dari pewarta warga tidak mengindahkan kaidah jurnalistik. Instrumen jurnalistik tetap melekat di dalamnya. Warga yang terlibat adalah anggota masyarakat yang menjalankan fungsi kewarganegaraannya melalui kegiatan penulisan kreatif. Proses pembelajaran untuk menulis bukan sekadar menekankan mantra 5WH (what, who, where, when, why and how).

Rumusan tersebut hanya sebagai aturan teknis. Karena elemen terpenting dari pewarta warga adalah kejujuran. Turunan dari elemen pertama inilah yang akan membuat setiap redaksi pewarta warga memegang teguh prinsip fact and check, konfirmasi, cover both sides, dan seterusnya. Hebat jadinya, pewarta warga adalah media massa masa depan yang amat prospektif. Dan tentunya, untuk melahirkan para profesional yang ahli dalam bidang masing-masing, setiap profesi memiliki kode etik sendiri. Kode etik tersebut dibuat dan disepakati bersama untuk menciptakan keteraturan, produktivitas kerja (kinerja), tak bertentangan dengan norma hukum, agama dan etika, sehingga mampu menghasilkan karya kreatif yang monumental.

Dalam dunia wartawan, ada aturan bernama kode etik wartawan. Begitu pun bagi para penulis, memiliki kode etiknya sendiri. Termasuk para pewarta warga juga harus patuh pada kode etik pewarta warga.

Kode Etik Pewarta Warga

Kode etik pewarta warga merupakan aturan baku yang harus dipatuhi oleh setiap pewarta warga dalam mencari berita, pendapat, foto maupun video kemudian menyusunnya menjadi karya pewarta warga dan menyiarkan atau mempublikasikannya melalui berbagai media massa dan jejaring sosial. Adanya kode etik pewarta warga bertujuan untuk menjaga profesionalitas para pewarta warga dalam menghasilkan karya pewarta warga, sehingga tidak menghasilkan informasi yang menyesatkan dan membahayakan publik.

Maka demi tegaknya harkat dan martabat maupun mutu dari hasil karya para pewarta warga, maka Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI), sebagai organisasi terbesar yang mewadahi para pewarta warga di Indonesia yang didirikan pada 11 November 2007 menetapkan kode etik pewarta warga yang harus ditaati dan dilaksanakan secara konsisten.

Adapun kode etik pewarta warga meliputi:

·Pewarta warga dilarang keras menyiarkan berita yang dapat membahayakan keselamatan dan keamanan negara maupun kesatuan dan persatuan bangsa

·Pewarta warga diharamkan menyiarkan karya jurnalistik melalui media massa apapun yang bersifat cabul (pornografis), menyesatkan, bersifat fitnah ataupun memutarbalikkan fakta

·Pewarta warga tidak diperkenankan menerima imbalan yang dapat mempengaruhi obyektivitas beritanya

·Pewarta warga menjaga dan menghormati kehidupan pribadi dengan tidak menyiarkan berita-berita yang dapat merugikan nama baik seseorang atau pihak tertentu

·Pewarta warga dilarang melakukan tindakan plagiat atau mengutip hasil karya pihak lain dengan tanpa menyebutkan sumbernya. Apabila kenyataannya nama maupun identitas sumber berita tidak dicantumkan, maka segala tanggung jawab ada pada pewarta warga yang bersangkutan

·Pewarta warga diwajibkan menempuh cara yang sopan dan terhormat dalam memperoleh bahan karya jurnalistik, tanpa paksaan ataupun menyadap berita dengan tanpa sepengetahuan yang bersangkutan

·Pewarta warga diwajibkan mencabut atau meralat setiap pemberitaan yang ternyata tidak akurat, dan memberikan kesempatan kepada yang bersangkutan untuk memberikan kesempatan hak jawab

·Dalam memberitakan peristiwa yang berkaitan dengan proses hukum atau diduga menyangkut pelanggaran hukum, pewarta warga harus selalu menjunjung tinggi asas praduga tak bersalah, dengan prinsip jujur, dan menyajikan berita secara berimbang.

·Pewarta warga harus berusaha semaksimal mungkin dalam pemberitaan kejahatan susila (asusila) agar tidak merugikan pihak korban.

·Pewarta warga menghormati dan menjunjung tinggi ketentuan embargo untuk tidak menyiarkan informasi yang oleh sumber berita telah dinyatakan sebagai bahan berita yang “off the record”.

Kode etik pewarta warga, pada hakikatnya dimaksudkan sebagai panduan bagi setiap aktivis jurnalisme warga agar bekerja juga secara profesional. Adanya kode etik tersebut bukan bermaksud memberikan pembatasan atas hak-hak individu anggota PPWI dan masyarakat umum dalam menyampaikan aspirasi dan informasi ke ruang publik.

Oleh karena itu, pengawasan pelaksanaan kode etik pewarta warga dan PPWI ini seyogyanya dilaksanakan oleh masing-masing anggota pewarta warga, dan masyarakat di lingkungan sosial masing-masing. Demikian juga, sanksi atas pelanggaran kode etik pewarta warga dan PPWI ini juga lebih diserahkan kepada sistem sosial (nilai dan norma) yang berlaku di masyarakat. Namun tidak menutup kemungkinan, ke depan akan dibentuk dewan pengawas khusus kode etik pewarta warga dan PPWI yang berlaku secara nasional. Untuk pelanggaran yang bersifat normatif, penyelesaiannya diserahkan kepada aparat penegak hukum; dan untuk hal-hal yang berkenaan dengan nilai sosial, diharapkan peran sanksi dan kontrol sosial masyarakat yang menyelesaikan. Walaupun demikian, PPWI melalui biro hukum akan senantiasa memberikan advokasi atas segala kegiatan pewarta warga, termasuk perlindungan hukum dan sosial.

Kode Etik Penulis

Secara garis besar, kode etika kepenulisan meliputi:

·Tidak mengirimkan tulisan (karya tulis jenis apa pun) yang sama kepada sejumlah media massa dalam waktu bersamaan

·Menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar sesuai EYD

·Materi dan gagasan penulisan tidak bertentangan dengan Pancasila, UUD ’45 dan peraturan negara lain

·Isi tulisan tidak memojokkan kerukunan beragama, diskriminasi gender serta menyinggung kepentingan SARA

·Setiap penulis wajib bersikap jujur terhadap karya tulisnya dengan selalu menyebutkan sumber referensi bila mengutip karya orang lain.Dalam hal ini setiap penulis dilarang melakukan plagiatisme

·Mengirimkan tulisan dengan ketikan rapi tanpa banyak kesalahan serta mematuhi garis kebijakan redaksi yang ditetapkan masing-masing surat kabar

·Karya tulis juga tidak mengandung unsur pornografi

·Selalu mencantumkan identitas lengkap beserta nomor kontak yang setiap saat bisa dihubungi.

Risiko dari pelanggaran terhadap kode etik kepenulisan di atas akan menyebabkan seorang penulis dikenakan sanksi blacklist. Yakni penulis yang masuk dalam daftar hitam tersebut tidak memiliki hak lagi karyanya bakal termuat di berbagai media massa, dengan masa sanksi yang bervariatif. Mulai dari setahun, hingga seumur hidup.

Kode Etik Wartawan (Jurnalis)

Kode etik wartawan (jurnalis) terdiri atas 11 pasal. Berikut ini disajikan pasal demi pasal secara lengkap, beserta dengan penafsirannya.

Pasal 1

Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang,dan tidak beritikad buruk.

Penafsiran :

a.Independen berarti memberitakan peristiwa atau fakta sesuaidengan suara hati nuranitanpa campurtangan, paksaan, danintervensi dari pihak lain termasuk pemilik perusahaan pers.

b.Akurat berarti dipercaya benar sesuaikeadaan objektif ketika peristiwa terjadi.

c.Berimbang berarti semua pihak mendapat kesempatan setara.

d.Tidak beritikad buruk berarti tidak ada niat secara sengaja dan semata-mata untuk menimbulkan kerugian pihak lain.

Pasal 2

Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik.

Penafsiran :

Cara-cara yang profesional adalah:

a.Menunjukkan identitas diri kepada narasumber;

b.Menghormati hak privasi;

c.Tidak menyuap, disuap;

d.Menghasilkan berita yang faktual dan jelas sumbernya;

e.Rekayasa pengambilan dan pemuatan atau penyiaran gambar,foto, suaradilengkapi dengan keterangan tentang sumber danditampilkan secara berimbang;

f.Menghormati pengalaman traumatik narasumber dalam penyajian gambar, foto, suara;

g.Tidak melakukan plagiat, termasuk menyatakan hasil liputan wartawan lain sebagai karya sendiri;

h.Penggunaan cara-cara tertentu dapat dipertimbangkan untuk peliputan berita investigasi bagi kepentingan publik.

Pasal 3

Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.

Penafsiran :

a.Menguji informasi berarti melakukan check and recheck tentang kebenaran informasi itu.

b.Berimbang adalah memberikan ruang atau waktu pemberitaan kepada masing-masing pihak secara proporsional.

c.Opini yang menghakimi adalah pendapat pribadi wartawan. Hal ini berbeda dengan opiniinterpretatif, yaitu pendapat yang berupa interpretasi wartawan atas fakta.

d.Asas praduga tak bersalah adalah prinsip tidak menghakimiseseorang.

Pasal 4

Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.

Penafsiran :

a.Bohong berarti sesuatu yang sudah diketahui sebelumnya oleh wartawan sebagai hal yang tidak sesuai dengan fakta yang terjadi.

b.Fitnah berarti tuduhan tanpa dasar yang dilakukan secara sengaja dengan niat buruk.

c.Sadis berarti kejam dan tidak mengenal belas kasihan.

d.Cabul berarti penggambaran tingkah laku secara erotis dengan foto, gambar, suara,grafis atau tulisan yang semata-mata untuk membangkitkan nafsu birahi.

e.Dalam penyiaran gambar dan suara dari arsip, wartawan mencantumkan waktu pengambilan gambar dan suara.

Pasal 5

Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.

Penafsiran :

a.Identitas adalah semua data dan informasi yang menyangkut diri seseorang yangmemudahkanorang lainuntuk melacak.

b.Anak adalah seorang yang berusia kurang dari 16 tahun danbelum menikah.

Pasal 6

Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap.

Penafsiran

a.Menyalahgunakan profesi adalah segala tindakan yang mengambil keuntungan pribadi atas informasi yang diperoleh saat bertugas sebelum informasi tersebut menjadi pengetahuan umum.

b.Suap adalah segala pemberian dalam bentuk uang, benda atau fasilitas dari pihak lain yang mempengaruhi independensi.

Pasal 7

Wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi narasumber yang tidak bersedia diketahui identitas maupun keberadaannya, menghargai ketentuan embargo,informasi latar belakang, dan 'off the record' sesuai dengan kesepakatan.

Penafsiran :

a.Hak tolak adalah hak untuk tidak mengungkapkan identitasdan keberadaan narasumber demi keamanan narasumber dan keluarganya.

b.Embargo adalah penundaan pemuatan atau penyiaran berita sesuai dengan permintaan narasumber.

c.Informasi latar belakang adalah segala informasi atau data dari narasumber yang disiarkan atau diberitakan tanpa menyebutkan narasumbernya.

d.Off the record adalah segala informasi atau data dari narasumber yang tidak boleh disiarkan atau diberitakan.

Pasal 8

Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit,agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah,miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani.

Penafsiran :

a.Prasangka adalah anggapan yang kurang baikmengenai sesuatu sebelum mengetahui secarajelas.

b.Diskriminasi adalah pembedaan perlakuan.

Pasal 9

Wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik.

Penafsiran :

a.Menghormati hak narasumber adalah sikap menahan diri dan berhati-hati.

b.Kehidupan pribadi adalah segala segi kehidupan seseorang dan keluarganya selain yang terkait dengan kepentingan publik.

Pasal 10

Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa.

Penafsiran :

a.Segera berarti tindakan dalam waktu secepat mungkin, baik karena ada maupun tidak ada teguran dari pihak luar.

b.Permintaan maaf disampaikan apabila kesalahan terkait dengan substansi pokok.

Pasal 11

Wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional.

Penafsiran :

a.Hak jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya.

b.Hak koreksi adalah hak setiap orang untuk membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain.

c.Proporsional berarti setara dengan bagian berita yang perlu diperbaiki.

Penilaian akhir atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan Dewan Pers. Sanksi atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan oleh organisasi wartawan dan atau perusahaan pers. (*)

*) Tulisan pendek ini akan saya paparkan dalam Pendidikan Penataran Citizen Journalism bagi Perwira TNI kerjasama PUSPEN TNI-PPWI di Mabes TNI Jakarta Timur pada tanggal 3-5 September 2012



Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun