Masih ada, lho, yang berpandangan seperti ini. Tanpa peduli, bahwa ini Asian Games, yang setelah berlangsung di era Soekarno baru kembali berlangsung di negeri ini di zaman Presiden Joko Widodo. Mereka terkesan alpa melihat, bahwa relawan pun adalah orang-orang yang mungkin memilih melupakan pekerjaan utama mereka, atau bahkan melupakan waktu yang biasanya mereka isi untuk mencari nafkah--untuk menambal kebutuhan kuliah sampai dengan berbagai keperluan sehari-hari.
Kami di Panpel juga menyayangkan nasib relawan yang belum jelas, apakah benar-benar bisa "dimanusiakan" sepanjang Asian Games bergulir nantinya, atau tidak. Bahwa kami di Panpel mendapatkan imbalan lebih baik daripada relawan, mungkin benar. Namun tak lantas kami harus mendiamkan kondisi relawan, yang berasal dari berbagai daerah, namun masih remang-remang, mereka nanti akan menginap di mana, dan apakah insentif untuk mereka akan cukup atau tidak untuk mencari penginapan sendiri.
Itu baru satu persoalan di tengah seabrek persoalan yang melingkari momen menjelang Asian Games ke-18 berlangsung pada Agustus nanti.
Soal itu mungkin pihak pemerintah atau instansi yang bertanggung jawab dalam memonitor sampai mengevaluasi, bisa memastikan hal-hal seperti ini tidak sampai luput. Sebab hal yang sekilar remeh-temeh begini, bukan tidak mungkin akan menjadi kerikil hingga roda Asian Games nanti berjalan tersendat-sendat.
Kemudian lagi soal atmosfer yang berhubungan dengan crowd yang bisa diciptakan sepanjang perhelatan kelas Asia itu bergulir. Sejauh ini yang menonjol cenderung hanya untuk pembuka. Di sini pihak terkait memang sudah menyiapkan pembukaan yang dapat dipastikan "wah". Meski begitu, di sini pun masih ada ironi. "Lha, kita di Panpel saja tidak bisa ikut untuk menyaksikan pembukaannya," celetuk seorang teman seraya tertawa.
Kemudian teman sesama Panpel lainnya berujar, "Ini sih bukan soal kita mesti diistimewakan. Kita disamakan dengan relawan juga, kita ikhlas-ikhlas saja. Masalahnya, ini bagaimana mereka di 'sana' bisa menganggap kita manusia, gitu, lho."
Belum lagi terkait dengan upaya membangun atmosfer ketika pertandingan demi pertandingan dimulai. Masih banyak berkelebat pertanyaan demi pertanyaan, termasuk apakah venue di masing-masing olahraga hanya diramaikan dengan atlet yang menjadi peserta saja?Â
"Belum terlihat ada skenario atau rekayasa agar bagaimana semua venue nanti bisa memunculkan atmosfer yang bisa menunjukkan kemeriahan ajang sekelas Asian Games," gugat seorang Panpel lainnya, yang memang sudah punya jam terbang puluhan tahun mengurus event olahraga kelas internasional. "Semestinya ini juga perlu direkayasa, agar bagaimana venue yang ada tidak sampai sepi.
Sekarang, jangankan olahraga tidak terkenal seperti squash dan beberapa olahraga bernasib mirip, olahraga terkenal seperti sepak bola saja terancam sepi dari penonton--kecuali saat Indonesia sendiri yang sedang berlaga."
Teman yang juga pernah menjadi pengurus elite di salah satu olahraga terkenal ini menunjukkan ekspresi gundah, karena kekhawatiran jika stadion sepi, atau venue olahraga lainnya tak memiliki penonton yang menggembirakan.
"Kebayang tidak jika pertandingan sekelas sepak bola saja kemudian di stadion justru sepi. Bayangkan jika kamera TV dari berbagai negara menyorot ke tribune dan tidak terlihat keramaian penonton sepantasnya, atau bahkan tidak ada penonton sama sekali," katanya lagi. "Ini yang semestinya tidak dilewatkan. Sebab ini juga berkait erat dengan bagaimana kita menghargai tamu, menghargai pengunjung dari berbagai negara."