Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Karena PKI Bukan yang Terburuk

22 September 2017   06:12 Diperbarui: 22 September 2017   21:05 3086
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seburuk-buruk warisan itu adalah warisan kebencian, dendam, dan ketidakadilan - Foto: Zulfikar Akbar

Bulan September sedang menuju ke hari-hari terakhirnya. Di negeri ini, cerita Bulan September sendiri tidaklah benar-benar berakhir. Bulan ini sudah datang di tahun lalu, dan akan datang lagi di tahun-tahun mendatang. Tidak berhenti, sebab keriuhan di negeri ini pun enggan berhenti.

Jangan bilang ini bulan PKI. Sebab PKI sendiri hanya organisasi. Lahir dari sekumpulan orang yang memiliki mimpi, dan yang memiliki mimpi yang sama itu lantas menyatukan diri. Mereka sempat memusuhi, mereka pun lantas dimusuhi. Saling bermusuhan itu memang akhirnya menjadi samudera tak bertepi, sama halnya alasan untuk saling benci pun tak mengenal batas akhir.

Kebencian itu lantas dipelihara. Permusuhan pun dirawat. Sementara alasan untuk saling benci dan bermusuhan pun diabadikan. Kenapa? Karena akhirnya banyak yang mengimani, jika mengabadikan kebencian dan permusuhan sama artinya mengabadikan sesuatu; ideologi lain hingga aroma sebuah negara lain-lain dari diimpikan orang-orang PKI itu.

PKI bukan lagi dilihat sebagai organisasi. Ya, bagaimana bisa dikatakan organisasi ada jika orang-orangnya tak ada. Rumah tangga saja yang merupakan organisasi paling kecil tak dapat terbentuk tanpa ada seorang lelaki dan seorang perempuan. Lha, bagaimana meneriakkan sebuah organisasi besar ada jika orang-orangnya tak ada.

Ada mantan pemuka negeri ini hingga mantan petinggi serdadu sesumbar ada figur-figur yang menggerakkan organisasi itu. Sayangnya mereka yang sesumbar itu pun tak mampu menunjuk batang hidung orang yang mereka posisikan sebagai momok itu.

Padahal gampang saja bukan, jika memang ada, silakan saja tunjuk secara gamblang, lugas, dan jika perlu kerahkan aparat negara terkait untuk bekerja sesuai kewenangannya; ringkus mereka.

Sayangnya yang sesumbar terlalu gemar sesumbar, seolah tak ada yang lebih penting dari membuka mulut lebar-lebar. Yang mengagitasi pun terlalu gemar bermain agitasi, hingga lupa jika menelan sesuatu yang basi hanya membuat mereka memuntahkan hal-hal yang jauh lebih basi.

Ada kesan, seolah PKI adalah sebuah gambaran sesuatu yang paling keji, sehingga tak ada kekejian lain lagi selain ini. PKI dijadikan semacam model, bahwa organisasi inilah paling berbahaya, paling dimusuhi Tuhan, hingga anak-anak pun direcoki. Alhasil, saat anak-anak saling memaki pun lantas meluncur kalimat makian antar mereka sendiri, "Dasar PKI!"

Padahal anak-anak yang memaki PKI tadi tidaklah mengenal Sneevliet. Mereka tidak mengenal Musso, tidak pernah diperkenalkan siapa Dipa Nusantara Aidit, tak ada yang menunjukkan siapa gerangan Untung Sutopo. Bahkan, tak ada yang bercerita secara lugas kepada anak-anak itu siapa H.O.S Tjokroaminoto, lha kok bisa beliau memiliki murid seperti Soekarno, Musso, hingga Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo.

Yang menyeruak adalah pendidikan kebencian dan ajaran permusuhan. Maka itu saat anak-anak bermusuhan pun mereka saling melempar tuduhan "pe-ka-i" kepada anak lain yang mereka musuhi. Cukup hanya dengan sekadar tahu, pe-ka-i itulah yang menjadi simbol kekejaman paling kejam, keburukan paling buruk, dan kehinaan paling hina.

Lantas di situlah, mereka yang memiliki kasta keburukan yang sejatinya di atas pe-ka-i tadi dapat menghibur diri sendiri; "Ah, masih ada PKI yang lebih buruk lagi."

Bahkan orang-orang yang membunuh orang miskin, melemparkan orang bodoh dalam kebodohan makin dalam, hingga mereka yang paling culas, lantas ditempatkan di "kasta penjahat" yang masih di bawah PKI.

Hasilnya, seberapa besar pun keburukan yang pernah terjadi setelah 1965, dinilai masih tidaklah cukup buruk dibandingkan PKI. Jadi tak ada lagi yang dipandang cukup perlu diseriusi lagi selain cerita hantu yang satu ini.

Akhirnya kebencian memang menunjukkan kekuatannya sendiri. Kekuatan kebencian itu adalah melemahkan kemampuan untuk adil. Jadi, setelah September jahanam puluhan tahun lalu itu, ketidakmampuan untuk adil akhirnya bertahan dan mendapatkan pembenaran; bahwa keadilan hanyalah untuk kalangan sendiri.

Padahal, jika saja kita cukup jujur melihat ke dalam, mungkin saja kita menyimpan kekejian yang lebih kejam dan busuk. "Lebih PKI dari PKI,"teriak emak-emak di pasar, yang dagangan mereka diobrak-abrik, tanpa lebih dulu didekati dengan cara lebih mendidik.

"Lebih PKI dari PKI," teriak lagi para orang tua yang tak dapat menyelamatkan anaknya yang sakit parah, karena dokter menuntut uang lebih dulu. Nyawa disetarakan rupiah, dan ketika mata uang jatuh, kemanusiaan justru jauh lebih dulu jatuh, jauh, hingga sulit diangkat kembali.

Keadilan semakin jauh. Padahal, teriakan siapa pun tentang kemanusiaan takkan pernah dapat dikatakan sebagai teriakan jujur, sepanjang keadilan tidak ada. Keadilan untuk semua, tak peduli mereka dari mana dan keturunan siapa. Sebab keadilan itu memang milik manusia, untuk manusia, dan Tuhan tak butuh itu karena Dia tahu kitalah yang paling membutuhkan itu.

Kita; mungkin beragama, mungkin juga tidak, mungkin sama agama, mungkin juga tidak. Tapi, kita manusia, yang sama-sama membutuhkan keadilan itu, entah sedang menyandang status sebagai pemenang atau pun dipandang sebagai pecundang.

Jika sulit melihat kekitaan yang begitu rupa; mungkin kita dapat melihat ke diri sendiri bahwa jika hari ini menjadi pemenang mungkin saja esok menjadi pecundang, seperti halnya banyak pecundang yang acap mampu mengejar lagi kesempatan menjadi pemenang. Di luar semua status itu, ada yang sejatinya sama-sama kita butuhkan, dan itu keadilan. Mungkin tidak sekarang, boleh jadi nanti. Sebab, hidup sama saja seperti dulu-dulu akan selalu ada masa bergonta-ganti.

Jadi teringat ratapan Noam Chomsky meski sedikit beraroma kalimat memaki. "Kudeta Soeharto pada 1965, secara khusus disambut oleh Barat karena peristiwa itulah yang meluluhlantakkan satu-satunya partai politik berbasis massa yang ada di Indonesia," katanya.

"Hanya dalam beberapa bulan," Chomsky merekam sejarah itu--di buku "How the World Works", "...sebanyak 700 ribu orang menjadi korban pembantaian--salah satu pelaku sejarah menyebut 3 juta. Kebanyakan korban adalah petani tanpa lahan."

Itu kata Chomsky, dan kita yang lahir dan menghirup udara di sini, hanya dapat berharap udara keadilan itu dapat menjadi milik siapa saja yang ditakdirkan lahir hingga mati di sini. Sudahlah yang bersalah menerima sanksinya dan takdirnya sendiri-sendiri, tapi bagaimana dengan mereka yang tak benar-benar bersalah? 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun