Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Pesan dari Hari Kelahiran Gus Dur

8 September 2017   05:56 Diperbarui: 9 September 2017   09:24 2922
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Agama itu bukan sekadar urusan menyenangkan Tuhan, tapi ini urusan seberapa banyak kebaikan bisa dibawa ketika Tuhan masih memberikan kepercayaan untuk hidup. Jadi, jika ditanya kepada saya, apa yang saya dapatkan dari sosok Abdurrahman Wahid (Gus Dur), ya sederet kesimpulan itu. Baginya, kelebihan seorang yang beragama bukan dari seberapa berpengaruh atau seberapa terkenal, tapi seberapa banyak kebaikan bisa dibawa. Jika dengan dalih agama tapi membatasi kebaikan, sama artinya menyempitkan arti agama.

Jadi, dengan pemikiran itu, bukan hal mengherankan jika manfaat kehadiran Gus Dur tak hanya terbatas kepada yang seagama dengannya saja. Ia mampu membawa kebaikan hingga terasakan oleh pemeluk agama lainnya. Sebab menurutnya agama hanya membatasi hal-hal yang berpotensi merugikan manusia, tapi kebaikan sejatinya tak perlu dibatasi dan tak perlu hanya ditujukan untuk "kalangan sendiri".

Sikap seperti beliau memang membutuhkan keberanian. Tanpa keberanian, ia takkan bisa berdiri kokoh untuk mengadang sebagian pemeluk agama yang masih menjadikan "risalah Tuhan" sebagai jembatan kebaikan untuk kalangan terbatas saja. Dengan keberanian itu juga ia menahan gempuran fitnah hingga hinaan, dan masih mampu bercanda hingga tertawa.

Apakah fitnah hingga hinaan datang kepadanya dari kalangan luar agama dengannya? Tidak. Yang banyak justru dari kalangan seagama dengannya yang mengalami "jalan buntu" untuk memahami logikanya, pemahamannya, hingga prinsip yang menjadi pegangannya. Alhasil, berbagai tuduhan, fitnah, hingga hinaan yang menyebutnya sebagai pendukung kekafiran sampai dengan pelecehan atas fisiknya, seperti peluru tak habis-habisnya terarah kepadanya. 

Bahkan ada tokoh yang membawa-bawa simbol agama, menghina beliau di salah satu televisi dengan pongahnya; "Dia itu buta. Buta matanya, buta hatinya." Belakangan, penghina beliau itu sendiri justru terhina dengan sendirinya meski para pemuja tokoh itu membela mati-matian. Jika Gus Dur dengan keterbatasan fisik di usia menjelang senja berdiri dengan berani menghadapi segalanya, penghinanya justru terpaksa melarikan diri.

Gus Dur tidak berhenti karena penghinaan itu. Ia tak berhenti sampai Tuhan sendiri yang memintanya berhenti. Menurutnya, hidup itu adalah sesuatu yang harus diisi, bukan untuk diri sendiri melainkan untuk sebanyak-banyak orang. Ketika ia terlihat tertatih-tatih melangkah, ia masih mampu melindungi yang lemah, ketika sebagian lain yang berseberangan dengannya yang berbadan gagah dan bersuara dan badan sama besar justru hanya menakut-nakuti yang lemah hingga diri sendiri pun dibekuk ketakutan.

Sosok Gus Dur adalah pribadi yang sangat mengenal dirinya sendiri. Pemahamannya bahwa mereka yang mengenal diri sendiri maka mengenal Tuhan yang notabene sebagai sesuatu yang "Maha", maka itu tak ada ketakutan di benaknya. Ia mampu menghadapi hinaan dengan tawa, menghadapi pembodohan dengan berusaha mencerdaskan, menghadapi ancaman dengan menunjukkan semua punya harapan mendapatkan kebaikan.

Seorang Soeharto menjadi presiden menakutkan bagi sebagian orang. Baginya, tak ada sesuatu yang betul-betul perlu ditakutkan. Ia justru menghadapinya dan ia tak merasa terancam; hingga banyak yang kebingungan bagaimana ia bisa mengkritik seseorang yang bisa berbuat apa saja dari kursi kekuasaannya tanpa takut kehilangan nyawa. Ada lagi yang sulit membaca, Gus Dur adalah orang yang berada di seberang Soeharto atau berkarib dengannya?

Tak terkecuali dengan sosok L.B Moerdani yang sering dikampanyekan sebagian kalangan sebagai tangan kanan Soeharto yang bengis dan bisa menjadi "pembantu" malaikat pencabut nyawa, Gus Dur justru bisa dekat dengannya. Walaupun "kedekatan" ini acap disalahtafsirkan sebagai ketidakkonsistenan Gus Dur. Banyak yang menutup mata jika ada ranjau paling berbahaya sekalipun, maka yang harus dilakukan adalah mendekatinya, berusaha agar menjinakkannya. Sayangnya, yang memilih mengalah pada ketakutan, justru melemparkan tudingan yang tidak-tidak kepada "penjinak ranjau" ini.

Tak sedikit di kalangan yang seagama dengan Gus Dur yang melihat sosok beliau hanya berdasarkan cerita orang yang bahkan tak pernah bersua dengannya atau mengakrabi pemikirannya dengan jernih; hingga mereka larut ke dalam berbagai kesimpulan yang acap keliru. Alhasil, saya pernah menemukan sebuah majalah yang membawa-bawa nama agama, tapi justru menista beliau hingga menudingnya sebagai agen zionis hingga mengafirkannya.

Ketika orang-orang dirumitkan dengan anggapan-anggapan dan kesimpulan yang cenderung berangkat dari imajinasi, beliau memilih untuk mencari berbagai kemungkinan baik. Maka itu dalam cerita yang tak pernah selesai terkait pertikaian Palestina dengan Israel, beliau memilih bersahabat dengan keduanya saat di pihak yang berseberangan dengannya mendesak agar ia memilih tegas mana kawan dan mana lawan; beliau memilih di mana ada potensi kebaikan yang dapat dibawa ke lebih banyak orang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun