Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Soal Prabowo dan Gaji Wartawan

19 Agustus 2017   10:00 Diperbarui: 20 Agustus 2017   13:21 7270
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Wartawan terbiasa mengkritik, dan terbiasa menerima kritik (www.made-in-italy.com

Wartawan itu bergaji kecil, dan untuk dapat ke mall saja sulit. Kira-kira begitulah kalimat dari Prabowo Subianto, pimpinan salah satu partai politik, yang menggelitik dan membuat banyak mata mendelik.

Sebagai salah satu kuli tinta (ingat, kuli), sejujurnya sempat terbetik di benak saya, lha kok "bos parpol" ini pongah sekali? Jika membandingkan wartawan dengan kekayaannya, jelas tak berbanding, bisa diibaratkan rengginang dengan pemilik perusahaan biskuit Khong Guan.

Ya, gaji wartawan tertakar dan terkadang naik setelah sekian abad sejak ia bergabung dengan salah satu media. Bedalah dengan yang memiliki usaha besar yang konon bisa menggaji besar orang-orang, belum lagi karena punya partai politik. Toh, parpol pun bisa menjadi sumber uang juga bukan? Ah ini mungkin buruk sangka saya saja.

Meski sempat "menghakimi" Prabowo, tapi saya mencoba untuk tidak membantah begitu saja. Sebab realitanya, memang banyak perusahaan media tak mampu membayar wartawannya dengan ideal.

Itu di perusahaan media televisi misalnya, meski di layar kaca acap memamerkan gaya hidup "wah" namun tak sedikit wartawannya bergaji hanya Rp 3 juta atau bahkan lebih kecil.

Di media cetak? Lebih-lebih lagi. Bahkan saya sendiri pernah ditawarkan mengurus salah satu koran daerah tanpa gaji bulanan, kecuali disarankan untuk "pendekatan" ke pemerintah daerah dan perusahaan-perusahaan daerah.

Lha, kok bisa? Faktanya memang banyak perusahaan media yang begitu, yang memiliki sudut pandang bahwa kas perusahaan besar dan kas Pemda, kas politikus, hingga kas desa, dianggap sebagai kas mereka.

Syukurlah saya tak terseret media seperti itu. Di media tempat saya bekerja sekarang, gaji ditawarkan terbilang masih jauh lebih baik daripada cerita televisi atau koran daerah di atas. 

Setidaknya, istri tak sampai merengut karena dapur tak berasap. Saya pun tak sampai mengalami kepala berasap karena saking pusing memikirkan menghidupi anak istri.

Apakah dengan gaji di atas Rp 4 jutaan sudah cukup? Bagaimana menabungnya, bagaimana kebutuhan untuk jalan-jalan, piknik, dan tetek bengeknya?

Wartawan boleh alay, dilarang baper (Dok: Zulfikar Akbar)
Wartawan boleh alay, dilarang baper (Dok: Zulfikar Akbar)
Pertanyaannya apakah iya seorang wartawan untuk disebut profesional tak bisa menjajal pekerjaan sampingan? Saya termasuk yang berprinsip, sepanjang itu halal, tak mengambil yang bukan hak, dan betul-betul mendapatkan tambahan dengan bekerja, kenapa tidak?

Di media saya, koran olahraga, bukan hal asing jika ada TV yang membutuhkan komentator maka akan ada dari kami yang mewakili. Dari sana, adalah sepeser duapeser tambahan, dan itu halal toh, karena menjual keahlian; analisis, penguasaan data, dll. Tentunya, juga tanpa perlu merampok jam kerja. 

Kebetulan lagi media saya bekerja pun tak menuntut harus sekian jam di kantor kecuali cukup menuntaskan sekian artikel berita--saya sendiri menangani 10-12 berita per hari karena menangani berita cetak dan online, dan terkadang selesai hanya dalam empat jam.

Taruhlah ada empat-enam jam tersisa setelah pekerjaan utama, saya termasuk yang tak membiarkan diri menganggur begitu saja. Ada banyak pekerjaan lain yang bisa ditangani yang berhubungan dengan skill dimiliki, sehingga masih bisalah menabung dan sedikit bersenang-senang dengan anak istri, dan berusaha dapat bersedekah.

Itu masih dapat dilakoni tanpa perlu menghina diri sendiri dengan menjadi "wartawan amplop" yang sering membuat citra wartawan tercoreng adang itu. 

Ya, kembali ke kritikan Prabowo, tampaknya ia memang ingin "menghantam" pemandangan itu, banyaknya wartawan yang lantaran berada di perusahaan media yang berdiri setengah hati dan hidup dengan separuh napas, lantas "ngelaba" dengan kartu pers; mengancam institusi hingga kepala desa dengan halus atau kasar dan dari sana mereka mendapatkan uang. Ini memang realita yang masih ada.

Seorang kerabat saya yang juga menjadi pejabat di bagian keuangan salah satu perusahaan negara acap mengeluhkan masih banyaknya wartawan dengan tipe itu. 

"Mereka akan datang menjelang momen tertentu, dari lebaran hingga saat-saat tertentu. Mereka mencari-cari masalah di perusahaan, dan menekan lewat itu, hanya agar mereka mendapatkan amplop," keluh kerabat saya itu.

Ada lagi teman yang bekerja di perusahaan yang punya nama, koran itu sering tampil di TV, tapi masih bisa bertebal muka menggaji wartawan hanya Rp 1,8 juta. Silakan Anda bayangkan.

Jadi, terlepas secara selera politik saya sering tidak tertarik pada Prabowo dan acap mengkritiknya, tapi dalam kritik dilemparkannya terlepas berbau mencibir atau mungkin terasa menghina bagi sebagian teman-teman wartawan, seharusnya yang lebih terhina itu pemilik media yang memupuk kekayaan dari media dan keringat wartawannya; namun berpura-pura lugu menghargai tiap peluh mereka.*

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun