Mohon tunggu...
Rozi Kurnia
Rozi Kurnia Mohon Tunggu... Freelancer - Everyplace is a School, Everyone is a Teacher

Sedang belajar menulis

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Bank Sampah? Ternyata Bisa

14 Februari 2020   11:24 Diperbarui: 14 Februari 2020   11:31 249
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Selama berkecimpung di dunia Air Minum dan Penyehatan Lingkungan (AMPL), Saya sering menemukan banyak kisah sukses dari orang-orang yang mencoba untuk bangkit dan melakukan perubahan di lingkungannya dengan segala keterbatasan dan kendala yang mereka hadapi.

Sanitasi adalah salah satu sektor yang tidak banyak orang mau untuk berkecimpung, meski sektor ini punya peran penting dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat, kesehatan masyarakat, kelestarian lingkungan, bahkan harga diri dan citra suatu lingkungan.

Sektor ini juga sering menjadi urusan ke sekian yang harus dibenahi, setelah urusan-urusan lain yang lebih seksi seperti pembangunan jalan, gedung serba guna, dan taman lingkungan. Yah, paling tidak itu yang terjadi di lingkungan tempat tinggal saya.

Lingkungan tempat tinggal saya adalah lingkungan yang sama seperti lingkungan lainnya. Warganya memiliki karakter dan latar belakang pekerjaan masing-masing. Hobi mereka pun juga beragam. Ada yang suka duduk menghabiskan malam di pos sembari beradu Joker, ada juga yang suka menghabiskan waktu dengan membaca kitab suci.

Di lingkungan yang warganya terlihat berbeda ini, mereka sebenarnya punya kesamaan. Belum melek terhadap pentingnya sanitasi bersih untuk lingkungan. Ini sangat terlihat jelas dari bagaimana mereka memperlakukan sampah di lingkungan.

Sampah-sampah mereka masih belum terpilah dan masih mengandalkan truk sampah dari pemerintah untuk mengangkut dan mengelola sampahnya. Saya juga yakin, tidak banyak di antara mereka yang rutin selama 5 tahun sekali menguras septic tank.

Karena kondisi tersebut (tidak melek dengan sanitasi), saya cukup kaget ketika suatu waktu Ketua RW di lingkungan saya, menyebutkan akan merilis program Bank Sampah pada saat pertemuan dengan para pengurus RT.

"Jadi bapak-bapak, untuk menambah kas RW yang nantinya akan dibuat sebagai modal membangun gedung serbaguna di lingkungan, maka kita akan membangun Cafe Baca dengan memanfaatkan rumah-rumah warga yang kosong. Rumah-rumah tersebut juga akan kita manfaatkan untuk Bank Sampah," Ujar Pak RW pada waktu itu.

Saya pun merespon dengan antusias dan langsung bertanya kapan program tersebut akan direalisasikan. Namun, bukan tahapan konkrit yang saya dapatkan, akan tetapi ketidakjelasan.

"Nanti akan dilakukan setelah kita punya konsultan yang mendampingi," Jawab Pak RW singkat.

Oh, baiklah. Saya sudah pesimis bahwa program ini hanya akan terlontar di forum ini saja. Tidak akan ada realisasi konkritnya.  Pemikiran saya pun terbukti. Program Bank Sampah itu terbenam begitu saja selama dua tahun semenjak dicetuskan.

Saya pun sedikit menyesal, tidak mendesak lebih keras kepada beliau. Hampir 2 tahun lamanya program tersebut tidak lagi terdengar. Hingga pada pertengahan tahun 2019, Ketua RW kembali menyinggung program tersebut. Kesempatan ini tidak saya sia-siakan.

Saya pun mengajukan diri untuk terlibat dalam tim perintis. Arahan dari Ketua RW adalah meminta perwakilan dari RT untuk terlibat dalam Tim Ekonomi Kreatif. Iya nama programnya tidak lagi program Bank Sampah, akan tetapi berganti menjadi Ekonomi Kreatif. Pemikiran RW, Bank Sampah adalah salah satu cabang bidang Ekonomi Kreatif, disamping program lain seperti Cafe Baca, Taman Asri dan Gedung Serba Guna.

Meski kata "Bank Sampah" ini tidak asing di keseharian saya bekerja, tetap saja saya tidak punya pengalaman mendirikan Bank Sampah. Selama kurang lebih satu bulan, dengan semangat Everyplace is a school, Everyone is a Teacher, saya pun membenamkan diri untuk mencari segala macam informasi mengenai Bank Sampah.

Saya bertemu dengan beberapa penggiat Bank Sampah, menyerap pengalaman dari mereka yang sudah dulu memulai. Mulai dari pengalaman mereka menggerakan warga maupun menggerakkan diri sendiri untuk memulai. Saya pun juga belajar dari pengepul swasta maupun Bank Sampah Pusat milik pemerintah daerah tentang kurs harga sampah dan jenis-jenis sampah anorganik yang laku dijual.

Setelah menyerap sedemikian banyak informasi, Saya mulai menyusun tahapan-tahapan apa yang harus segera dilakukan, sembari secara bersamaan merangkum informasi-informasi tersebut sebaik mungkin ke dalam presentasi power point yang menarik.

Hal ini perlu saya lakukan karena salah satu tahapan penting dari proses merintis program ini adalah sosialisasi ke warga khususnya ke ibu-ibu. Kenapa ibu-ibu? Karena keterlibatan ibu-ibu akan sangat membantu proses edukasi kepada pihak-pihak lain. Mereka akan menularkan pelajaran yang didapat kepada suami dan anak-anaknya.

Untuk persoalan sampah rumah tangga, sudah pasti ibu-ibu yang mengetahui betul sampah apa saja yang ada di dalam rumah. Hampir semua penggiat bank sampah menyarankan saya untuk menggerakan ibu-ibu dalam kegiatan pengelolaan sampah ini.

 "Bapak harus bisa menggerakkan ibu-ibunya. Bank Sampah ini motor utamanya adalah Ibu-ibu," begitu kata Ibu Evi, salah satu penggiat Bank Sampah di daerah Bojonggede.

Setelah menyiapkan diri, saya pun mulai melakukan tahap sosialisasi kepada emak-emak di lingkungan saya. Seperti yang saya duga, tidak banyak yang ikut dalam sosialisasi ini. Dari target sekitar 15 orang, hanya 5 orang yang hadir.

Meski hanya sedikit orang, sosialiasi tetap saya lakukan. Dengan menggunakan bahan paparan sekelas yang biasa disajikan kepada kepala daerah anggota Aliansi Kabupaten Kota Peduli Sanitasi (AKKOPSI),  saya pun menjelaskan secara runtut tahap demi tahap  mengenai Bank Sampah terkait dengan pengertian, sistem dan apa tujuan yang ingin dicapai.

Saya juga sudah mengidentifikasi apa saja informasi atau pertanyaan yang harus disajikan kepada mereka. Sama seperti saat membantu menyiapkan bahan advokasi kepada Kepala Daerah, saya pun mencari tahu terlebih dahulu karakteristik emak-emak di sini seperti apa.

Apakah emak-emak disini suka dengan penyajian data dalam bentuk angka atau gambar? Apakah perlu memasukkan unsur-unsur yang agamis? Hal-hal itu yang saya coba cari tahu untuk bisa memaksimalkan proses sosialisasi ini.

Dan setelah lama berbicara di hadapan mereka, ketika masuk ke sesi tanggapan atau pertanyaan, mereka pun hanya bertanya satu hal: Mana daftar sampah yang laku dan berapa harganya ?

"Ada daftar harganya ga pak?"

"Yang paling mahal, sampah apa pak?"

 "Wah.. mahal juga nih tembaga merah. Harganya bisa 35 ribu perkilo."

"Eh, bu, kalau ga mau angkut kardus depan rumah, sini biar saya yang angkut. Lumayan buat tambah duit pas lebaran nanti."

"Ah ogah, duitnya ntar buat lu sendiri cing."

Setelah mereka mendapatkan harga dan apa saja sampah yang bisa ditabung di Bank Sampah, mereka pun mendesak saya untuk segera memulai program itu. Bahkan mereka tak segan untuk memberi ancaman.

"Jadi kapan mau dimulai programnya pak?"

"Akan segera diberitahu ibu, soalnya masih ada proses-proses yang perlu saya siapkan dulu,"Jawab Saya.

"Aduh, jangan lama-lama pak. Bentar lagi mau puasa, makin cepet makin bagus."

"Iya ibu, soalnya saya belum ada yang bantuin. Mungkin desember nanti baru bisa dimulai (Sosialisasi ini pada bulan november),"

"Gini aja pak. bulan desember besok, Bapak langsung mulai saja. Kalau bapak ga mulai, kita buang sampah ke rumah bapak," Ancam mereka.

"Yahh, masa dibuang ke rumah saya. Bisa habis saya disikat sama istri,"ucap saya memelas."Baiklah ibu, saya usahakan."

Para emak-emak ini tersenyum puas mendengar jawaban saya. Setelah meminta daftar harga untuk diperbanyak, pertemuan itu bubar. Meski di forum saya bilang masih ada tahapan sosialisasi dengan emak-emak di RT lainnya, karena trauma, saya memilih untuk langsung buka saja. Sosialiasi sambil jalan saja, pikir saya.

Waktu yang dinanti pun tiba. Tepat tanggal 14 Desember 2019, saya membuka layanan Bank Sampah di lingkungan tempat tinggal saya. Meski ada bapak-bapak pengurus dan penggiat mushola yang hadir, tetap saja untuk urusan teknis, mereka tidak begitu paham.

Perlu diketahui, ada proses checking, timbang, catat buku tabungan, catat buku besar. Jadi warga datang membawa tabungan sampahnya, trus dicek jenis sampah apa yang dibawa, sekaligus memastikan bahwa tidak ada unsur organik yang ada di sampah yang mereka bawa itu.

Setelah dicek, petugas kemudian memberitahukan kepada tukang catat buku tabungan,  kategori sampah apa yang dibawah oleh warga tersebut. Perlu diketahui, secara umum sampah yang diterima oleh Bank Sampah ada sampah plastik, logam, beling, rongsok, dan kertas.

Kelima jenis itu kemudian diturunkan ke level yang lebih detail. Jadi untuk plastik ada 28 jenis, logam ada 12 jenis, beling ada 3 jenis, rongsok ada 8 jenis, dan kertas 14 jenis.

Kesemua jenis itu punya harga masing-masing. Misalnya botol air mineral yang biasa kita beli, itu kalau mau harganya maksimal, maka harus dipilah. Tutup botolnya sendiri dan botol tanpa label 1 harga sendiri. Harga tutup botol sekilo seharga Rp. 4000,00 dan harga botol plastik tanpa label dan tutup seharga 4200,00.

Jadi dari dua item tersebut, warga mendapatkan total uang seharga Rp. 8200,00. Jika proses pemilahan itu tidak dilakukan dan mereka hanya menyetor apa adanya (botol masih memiliki tutup dan labelnya masih melekat) sekilo mendapat harga Rp. 3000,00. Jauh kan perbedaannya.

Meski perbedaan keuntungan berbeda jauh, pada kenyataan di lapangan, sangat susah mendapatkan tabungan sampah dari masyarakat seperti itu. Seringnya sampah yang mereka bawa untuk ditabung masih tercampur dengan jenis sampah anorganik lainnya atau bahkan sampah organik.

Memang dalam sosialisasi yang saya lakukan, target minim yang ingin saya capai adalah sampah yang ada terpisah antara anorganik dengan organik. Jika itu sudah tertib dilakukan, salah satu masalah sudah selesai. Tapi memang benar bahwa mengubah prilaku itu tidak bisa dilakukan dalam waktu singkat.

Hari pertama membuka layanan Bank Sampah, hanya 8 orang yang mendaftar. Angka yang sangat sedikit jika melihat skala Bank Sampah yang mencakup 1 RW ini. Meski para pengurus RW tampak tidak begitu gembira dengan hasil ini, Saya pribadi tetap bersyukur pada bukaan perdana Bank Sampah, masih ada warga yang mau menjadi nasabah.

"Saya malah seneng pak, hari pertama ini cuman ada sedikit,"Kata saya kepada Pak RW."Coba kalau hari pertama dah banyak, gempor saya sendirian melayani mereka, hehehe."

Di hari-hari berikutnya, proses sosialisasi tetap saya lakukan. Modelnya dengan dalih jalan sore untuk kesehatan. Setiap ketemu dengan bapak-bapak atau emak-emak, saya berhenti untuk sekedar gobrol dengan mereka, sembari sesekali menyisipkan pesan untuk memilah sampah dan menjadi nasabah Bank Sampah.

Kadang ada juga warga yang suka iseng setiap bertemu dengan saya, menyerukan kepada yang lain untuk berhati-hati setiap saya lewat.

 "Awas ada Pak Rozi. Kardus, ember sampah plastik bakalan lenyap kalau ga dijagain," Canda mereka.

Waktu pun berlalu dan warga mulai berdatangan untuk menabung di Bank Sampah. Dari hanya 8 orang di hari pertama, kini sudah ada 40 nasabah, didominasi oleh emak-emak, yang rutin menabung setiap dua minggu sekali.

Sampah-sampah mereka bahkan tidak hanya terpilah dari organik, namun juga terpilah hingga detail jenis sampah anorganiknya. Beberapa dari mereka bahkan sudah menikmati uang hasil dari tabungan sampah mereka.

Semenjak Bank Sampah berdiri di lingkungan kami, emak-emak sudah mulai 'rebutan' sampah anorganik di lingkungan mereka. Ada dari mereka yang sigap 'menyelamatkan' sampah plastik di setiap acara yang digelar di lingkungannya.

 "Pak Roji, hajatan Pak Hermansyah kemarin, ibu-ibu pada ngincer gelas plastik," Lapor salah satu emak sembari tertawa.

"Saya juga udah ngincer tuh gelas plastik, eh kok pas udah mau pulang, udah kagak ada lagi," curhat emak lainnya. "Padahal mahal euyy, sekilo bisa Rp. 6000."

Saya tertawa saja mendengar apa yang mereka bicarakan. Bagi saya, situasi itu tidak pernah terbayangkan bakal terjadi di lingkungan tempat tinggal saya ini. Berebut sampah.

Masih banyak tantangan yang menanti di depan. Program Bank Sampah ini juga masih sangat mungkin akan berhenti, karena hal yang paling sulit untuk dilakukan adalah menjaga agar program ini tetap berlanjut.

Namun, terlepas itu semua, satu hal yang paling tidak bisa saya buktikan bahwa setiap orang bisa melakukan sesuatu untuk lingkungannya, tidak peduli apakah itu hal besar atau kecil. Jadi tunggu apalagi?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun