Hal tersebut karena kurangnya pengetahuan dan kesadaran dalam hal seni yang kemudian menganggap bahwa mural hanya sebuah kegiatan yang dapat merusak tembok-tembok jalan dan fasilitas umum, belum lagi kebutuhan yang diperlukan untuk membuat mural memerlukan biaya yang cukup mahal.
Seperti yang disampaikan oleh ketua tim mural desa Kedungkandang, dalam menyikapi orang-orang yang memandang rendah mural adalah dengan diberi edukasi. Menurutnya orang-orang yang buta akan seni dan kreativitas sehingga merendahkan suatu karya, perlu diberi edukasi dan sosialisasi dengan cara mengajaknya turun langsung dalam pembuatan mural, dengan begitu mereka akan lebih mengetahui fungsi mural sebagai keindahan seni.
Mural sebagai media kritik sosial
Meskipun sering menuai kontra dari masyarakat, hal tersebut tidak menghalangi para muralis untuk tetap berkarya. Bagi masyarakat yang memang mengerti dan menyukai seni, mereka lebih mengapresiasi hasil mural yang dibuat oleh muralis dengan menikmati hasil mural tersebut.
Dengan begitu kehadiran mural di Kota Malang tidak sepenuhnya dipandang buruk oleh masyarakat, sebagian besar masyarakat melihat dan menganggap mural sebagai seni yang indah dan pantas untuk dinikmati, bahkan sampai ada masyarakat yang membentuk tim mural di tempat tinggalnya sebagai wadah gerakan sosial.
Keberadaan mural memang pantas di apresiasi, namun disatu sisi mural tidak dapat dilakukan secara bebas dan semena-mena, karena terkadang isi pesan yang ingin disampaikan muralis dalam lukisannya tidak selalu sama dengan apa yang masyarakat lihat.