Mohon tunggu...
Iya Oya
Iya Oya Mohon Tunggu... Administrasi - Laki-laki

90's

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Anjuran Hidup Tanpa Tuhan

4 Juni 2019   02:20 Diperbarui: 4 Juni 2019   02:24 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Lho, di zaman mana manusia tidak mencari kebenaran? Di zaman apa manusia tidak menganggap sesuatu sebagai kebenaran? Di zaman apa manusia tidak memuji, memuja, menomorsatukan dan mengagungkan sesuatu?

"Bukannya itu pasti? Bukannya itu niscaya? Karena manusia berpikir. Karena manusia membutuhkan pegangan. Membutuhkan kejelasan. Membutuhkan kepastian di dalam ketidakpastian hidup di dunia ini.

"Bisa saja dia menganggap pikiran atau ideologinya sebagai kebenaran, yang itu kemudian dia jadikan prinsip di atas Tuhan yang sebenarnya."

Persoalan ketuhanan memang seringkali dipahami secara pasif. Ini masalah klise yang tak pernah dipersoalkan. Tuhan diterima apa adanya. Tuhan tidak dicari. Tidak disadari. Walaupun usaha mencari Tuhan bukanlah mencari Tuhan itu sendiri. Barangkali persoalan ini sudah sedemikian dianggap "aman". Dianggap sebagai sesuatu yang tak perlu dipersoalkan. Dianggap sudah beres. Padahal, secara tak langsung ini berdampak pada sikap --karena sikap dipengaruhi oleh cara berpikir atau pikiran.

Saprol benar ketika dia mengatakan bahwa manusia pasti akan mencari kebenaran --walaupun tidak semua orang. Tidak pernah manusia tidak memuja sesuatu. Karena penyembahan terhadap sesuatu bukanlah soal formalitas atau perintah belaka. Dalam sebuah penyembahan terdapat banyak sikap yang didasari atas kesadaran. Sedangkan kegiatan menyembah itu adalah semacam wujud ekspresi dari berbagai hal yang dirasakan atau perasaan manusia. Jadi tanpa adanya rasa membutuhkan, rasa rindu, rasa kagum dan lainnya, sebuah penyembahan hanyalah sebuah kekosongan belaka. Artinya, rasa berketuhanan muncul dari sikap manusianya. Begitu pun keimanan, berawal dari manusianya. Walaupun kita tahu kalau Dia yang menentukan, Dia yang menganugerahkan, tapi kita tak bisa segampang itu memaknai iman itu sebagai sesuatu yang datang dari atas, sampai-sampai mengabaikan usaha yang kemudian akan berakhir pada kepercayaan dan keyakinan.

Persoalan lain, Tuhan pun seringkali dipahami sebagaimana sebuah objek. Padahal hal-hal yang membuat manusia mengagungkan Tuhan --atau apapun-- adalah karena adanya sifat-sifat tertentu yang abstrak bentuknya. Sesuatu yang bersifat abstrak semacam itu yang menyentuh pikiran dan hati manusia sehingga ada ketertarikan.

"Mungkin masalahnya kau belum mencari," kata Saprol.

"Apa yang kau lihat itu cuma merupakan kesalahan kita sejak awal. Karena agama pun tidak dimaknai esensinya, melainkan sekedar bentuk luarnya saja. Agama diajarkan, tapi yang mengajarkan jarang sekali mampu mengantarkan pemeluknya kepada Tuhan. Bukan agamanya... tapi metode orang yang mengajarkannya. Agama seringkali hanya mentok di agama itu sendiri. Bahkan cenderung hanya untuk penganut agama itu sendiri. Padahal faedahnya untuk segala hal; apapun dan siapapun.

"Tapi... Coba aja dulu kau hidup tanpa Tuhan. Aku yakin kau pasti akan bertuhan juga. Walaupun kau mungkin tidak menuhankan Tuhan yang sebenarnya, tapi nanti kau pasti kau akan sadar bahwa kau harus menuhankan Tuhan Yang Tepat.

"Cobalah..." demikian Saprol mengakhiri kalimatnya dengan sebuah anjuran yang sangat sangat eksperimental.

Yaaah... Memang kita hidup terkadang harus bereksperimen, kan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun