Dalam kurun waktu sepekan kurang lebih terjadi tiga kali tindak kriminal berupa pemerkosaan yang menyita perhatian publik, diantaranya kasus pemerkosaan seorang siswi SMA oleh driver ojek online di Matraman, kemudian kasus pemerkosaan seorang gadis oleh supir angkot di pinggir tol Pasteur, dan kasus pemerkosaan oleh seorang Ayah kepada anaknya yang masih belia.
Apa yang telah terjadi mengundang keprihatinan sebagaimana menggambarkan realita fenomena gunung es akan bentuk kekerasan kepada perempuan dan anak, hanya beberapa yang timbul ke permukaan tetapi yang tidak terekspos mungkin lebih banyak dari yang diperkirakan. Sangat disayangkan, bentuk kekerasan kepada perempuan dan anak yang relatif tinggi ini tidak dibarengi oleh tindakan berupa sanksi hukum dan sosial yang berat.
Acapkali kasus-kasus serupa layaknya angin lalu dimana heboh sesaat tanpa ada tindak lanjut, seolah menanti korban-korban berikutnya. Para pelaku hanya menjalankan proses dan menerima sanksi hukum atas perbuatannya, akan tetapi derita beban psikologi dan kehidupan sehari-hari korban tidak terbayang betapa berat dan suramnya. Belum lagi ditinjau dari efek domino dimana masa depan korban menjadi taruhannya, memperjelas ketimpangan yang terlampau tinggi antara apa yang diterima pelaku berbanding terbalik dengan apa yang dihadapi oleh korban.
Hal ini mengingatkan kita akan polemik sanksi hukum berupa "kebiri" kepada para pelaku kejahatan seksual yang hingga kini nampaknya sedang mati suri, seolah tak terdengar lagi tertutupi oleh begitu banyaknya permasalahan di negeri ini. Rencana untuk mengungkap foto-foto para pelaku kejahatan seksual kepada publik dan penerapan detektor guna memantau aktivitas mereka pun hanya berupa kiasan, janji-janji manis tetapi hanya di mulut saja layaknya masa kampanye.
Di satu sisi penerapan sanksi hukum berat kepada pelaku kejahatan seksual berujung tanda tanya, kepedulian dari khalayak umum khususnya kaum wanita maupun organisasi yang membidangi wanita dan anak dimana mereka merupakan korban atau objek dari pelaku kejahatan seksual sama sekali tidak terdengar. Rentetan kejahatan seksual tentu perlu dibarengi peningkatan kewaspadaan diri dari kaum wanita, tetapi ketika kejahatan seksual terjadi apakah cukup dianggap sebagai nasib sial?
Menjadi pertanyaan kepada kita semua, kiranya langkah tepat apa yang perlu ditindaklanjuti guna menekan tindakan kejahatan seksual ini agar tidak merajalela? Apakah penantian panjang akan jawaban pertanyaan tersebut sepadan dengan jatuhnya korban demi korban ditangan para penjahat seksual di luar sana? Apakah pemerintah akan terus menerus berdiam diri dan hanya akan merespon jikalau publik merongrong saja? Semoga saja hal ini menjadi perhatian dan semoga ada secercah harapan akan jawaban dari penyelesaian maraknya kekerasan kepada perempuan dan anak. Demikian artikel Penulis, mohon maaf bilamana ada kekurangan dikarenakan kekurangan milik Penulis pribadi. Terima kasih.