Mohon tunggu...
Saeran Samsidi
Saeran Samsidi Mohon Tunggu... Guru - Selamat Datang di Profil Saya

Minat dengan karya tulis seperi Puisi, Cerpen, dan karya fiksi lain

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

"The Power of Emak-emak" Langkah Politik Dapur Ngebul Para Ibu

17 September 2018   15:55 Diperbarui: 17 September 2018   16:07 886
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Apa si jane, The power of emak-emak? Istilah ini katanya mulai populer karena banyak nitizen yang mengunggah pengalamannya melihat tingkah polah para ibu-ibu dalam berkendaraan di jalan raya yang dianggap extraordinary berbuat abuse of power kemudian direkam diunggah ke medsos jadi viral.

Berbahaya, ketika sang emak nyalakan sign righting motor kanan belok kiri lalu ngobrol dengan pengendara lain sambil jalan, ngangkut anak-anaknya ngantar sekolah bak sirkus, lewat jalan tol hingga berani lawan  polisi lalu lintas yang hendak menilang, dilakoni mengamuk sampai mengigigit.

Emak-emak? Dulu kan makna konotasinya negatif, peyoratif, yaitu ibu-ibu kampung yang kurang pendidikannya beda dengan ibu atau nyonya yang asosianya ningrat, kaya atau orang gedongan, konotasinya positif. 

Kini makna emak-emak sudah beralih konotasinya dari peyoratif menjadi amelioratif. Kelompok wanita dewasa, ibu-ibu yang punya status tinggi, di zaman now emak-emak sudah termasuk kelompok milineal sekelompok dengan "kids zaman now", emak-emak naik level.

Dulu, ketika ibu masih sugeng saya, mbakyu dan mas saya berusaha meningkatkan status ibu yang melahirkan mereka dengan mengubah panggilan biyung menjadi mamak. Jaman dulu keluarga wong ndeso anak-anak akan memanggil biyung untuk  wanita yang melahirkannya. 

Yah, gara-gara biyung pernah ikut salah satu anaknya di Jakarta lalu ketika pulang ndeso biar keren panggilan biyung diganti mamak. Katanya meniru panggilan emak di Betawi. Saya yang bontot tidak lagi berteriak biyungeeee ... diganti teriak mamakeeeeee ....

Kembali ke emak milenial. Saya pernah tiga kali  hampir, malah tabrakan dengan emak-emak ini, ya,  gara-gara polah emak dalam berkendara motor ini. Tidak memahami masalah sign motor dan cara memotong kendaraan lain, hanya main serobot saja. 

Jadi kalau ada emak-emak yang nekat melawan polisi yang menilangnya dengan ngamuk dan umpatan-umpatan, tidaklah heran. Wong masalah keselamatan berkendaraan saja tidak dihiraukan. Tapi, itu tidaklah sambrah uyah, lho. Tidak semua ibu-ibu yang beramelioratif menjadi emak-emak melakukan tindakan berbahaya ketika berkendara di jalan raya.

Kalau ada wanita, walau orang desa, nekat  bawa dagangan ke pasar dengan motornya mengusung barang dagangan sampai ngundhung-ngundhung yang bisa membahayakan dirinya atau orang lain di jalan,bagaimana? Lha, kenekatannya dia, kan untuk memangkas rantai transportasi untuk menghemat biaya. 

Mau pakai becak kasihan tukang becaknya. Pakai dokar (andhong, delman) apalagi pedati sudah musna, atau pakai taxi barang bak terbuka? Ongkos  gedhe untung mengecil. Lha, sekadar nyambung urip, je. Apakah wong wadon pedagang atau petani ini termasuk emak-emak milenial?

Emak-emak memang lagi ngetren kini, viral,  bukan lagi  rempong. Emak-emak milenial ini lagi melambung  reputasinya bersaing dengan naiknya dollar menjadi komoditas politik di tahun politik. Amunisi yang lumayan untuk meningkatkan popularitas serta menambah pundi-pundi elektoral, banyak dimanfaatkan para politisi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun