Mohon tunggu...
Wahyuni Susilowati
Wahyuni Susilowati Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Jurnalis Independen

pengembaraan raga, penjelajahan jiwa, perjuangan menggali makna melalui rangkaian kata .... https://www.youtube.com/c/WahyuniSusilowatiPro

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Legenda Yeti, Himalaya, Dan Sang Saka Di Renjo La Pass

8 September 2011   00:25 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:09 1650
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

[caption id="attachment_133468" align="aligncenter" width="604" caption="...Mengibarkan Sang Saka di Renjo La Pass...(Dok Sieling)"][/caption] Pernah dengar legenda makhluk menyerupai gorila raksasa berbulu lebat dan berjalan tegak yang tinggal di kawasan pegunungan bersalju Himalaya yang sampai kini masih merupakan sebuah teka teki? Berikut ini ada hipotesis menarik tentang mahluk yang populer dengan sebutan Yeti tersebut.

“Sekarang Ling jadi tahu yang dibilang Yeti (makhluk Himalaya yang misterius itu) siapa.Dari pengalaman Ling, itu pasti manusia yang entah kenapa tinggal liar di gunung bersalju. Pasti awalnya kesasar, kabur atau apa, mungkin ga bisa pulang. Kedinginan ber tahun-tahun,pakaiannya lama kelamaan hancur. Tentu si tubuh makin lama menyesuaikan diri ama ganasnya alam. Mulailah tumbuh bulu di seluruh badan sampai kaki tangan tentunya, akhirnya...yah, jadi makhluk jabrik ga karuan...

Karena sudah lama tak bertemu manusia lain dan dirinya sudah gondrong gitu, tentu ada rasa malu, apalagi tanpa pakaian. Jadi dia nyumput, sesekali dia keluar dan pernah kepergok manusia waktu dia mencari makan atau mengagumi danau-danau.Orang yang lihat pasti terkejut tak paham itu makhluk apa, (dibilang )kingkong bukan (tapi )manusia juga bukan. Akhirnya makhluk misterius itu dinamakan YETI, padahal dia pasti punya nama, mungkin JEFF, TOM atau WUSULING. Tentu dia ganas karena lapar dan ketakutan pula, atau pikirannya sudah kurang waras pan sudah lama ga bicara dengan manusia. Lupa bahasa ibu, dia cuman bisa menggeram, teriak atau menangis.

Entah benar atau tidak, buktinya Yeti itu kan paling cuman ada 1, orang belum pernah nemu 2 -3 Yeti kan? Bukti lagi, kejadian orang melihat Yeti kan sdh puluhan tahun lalu (kaitkan dengan usia manusia yang rata-rata hidup sampai 70 - 90 tahun (kalau sehat tuh) setelah itu mati, kan? Nah ,karena Yeti itu berasal dari manusia yang beraklimatisasi baik tubuhnya maupun kehidupannya, saat ini dia pasti sudah lama mati. (Itu sebabnya) orang-orangga pernah liat Yeti lagi !”

[caption id="attachment_133469" align="alignleft" width="300" caption="Gaya Sieling saat diwawancarai (Dok WS)"][/caption] Kutipan di atas di ambil dengan sedikit penyesuaian dari catatan pendakian tertanggal 13 Januari 2010 milik Sieling Go, pendaki wanita senior dari Klub Mahitala Unpar Bandung yang kini banyak melakukan aktifitas pendakian dalam wadah Eiger Expedition. Menikahi Paul Sukran pada 1988 dengan tiga buah hati Dion (20), Kienan (19), dan Fay (16); Sieling bisa dikategorikan pendaki serius yang memiliki jadwal rutin menapaki berbagai puncak gunung dengan level pendakian tergolong sulit tiap tahunnya. Perawakan jangkung-semampai, wajah manis, dan kegemaran bercanda wanita low profile yang enggan mengungkap tahun kelahirannya ini menyembunyikan dengan sangat baik prestasi penjelajahan alamnya yang bisa dibilang luar biasa.

Debut Sieling berawal dari pendakian ke Gunung Gede (2,958 m dpl) yang dilakukannya bersama empat orang kakak kelas saat dia masih duduk di kelas satu SMA. Selanjutnya pada 1983 dia menyambangi Rinjani (3276 m dpl) di Lombok yang membuatnya jatuh cinta pada keindahan danau hingga tahun berikutnya, Sieling mengkhususkan diri mengunjungi berbagai kawasan yang memiliki danau-danau cantik. Namun selain pendakian, Sieling juga memiliki pengalaman berkesan saat menjadi sukarelawan World Wildlife Foundation (WWF) PBB yang diberi tugas menangani kasus penyelundupan burung cendrawasih di Irian Jaya (sekarang Papua). Fakta di lapangan (1983) menunjukkan bahwa,layaknya sistem korup nan menggurita di Indonesia, transaksi ilegal satwa cantik dalam bentuk awetan dengan tujuan Korea itu ternyata melibatkan pula banyak oknum pejabat sipil maupun militer dari berbagai level yang saat diajukan ke pengadilan akhirnya dipeti-eskan. Sieling dan kawan-kawan akhirnya memilih melakukan kegiatan sosial untuk sedikit meringankan beban masyarakat setempat.

Setelah jeda beberapa tahun untuk berkonsentrasi mengurusi rumah tangganya, pada Oktober 2006 bersama Mahitala-Unpar, Sieling melakukan ekspedisi ke Everest Base Camp (EBC) di ketinggian 5,300 m dpl yang merupakan jalur trekking paling populer di Khumbu Valley – Himalaya. Pada kunjungan pertamanya ke Himalaya ini saat berada di ketinggian 4000 m Sieling terkena acute mountain sickness (AMS) berupa timbulnya gejala sakit kepala, interval napas kian memendek, hilangnya selera makan, dan kelelahan ekstrim. Konon hal itu disebabkan oleh berkurangnya molekul oksigen dalam darah akibat kelambanan tubuh beradaptasi dengan penambahan ketinggian. Namun pengalaman tak sedap itu justru memacu tekad Sieling untuk melakukan pendakian solo, bahkan sampai dua kali, kesana pada tahun 2007. Berikut ini adalah cuplikan jejak ekspedisinya yang ditulis berdasarkan catatan-catatan pendakian Sieling Go.

[caption id="attachment_133471" align="alignleft" width="300" caption="Sieling dan tim beristirahat sebelum lanjut ke Lungden (Dok Sieling)"][/caption] Pada pendakian solo pertama di akhir Maret 2007, rute yang dipilih melalui sisi Barat Namche Bazaar yang terletak di perbatasan Rowaling Himal dan Khumbu Himal melintasi Phurtse-Thame- Marulung dan Lungden. Jalur itu banyak dipilih oleh para trekker maupun climber yang hendak menuju Kalla Pattar dan EBC untuk keperluan aklimatisasi (penyesuaian diri dengan penurunan suhu yang signifikan seiring dengan bertambahnya ketinggian medan pendakian –pen.). Sieling didampingi tim pendakianlokal yang terdiri dari climbing guide Sujan, cum porter Bhimsen, dan porter kakak-beradik Pasang memulai perjalanan ‘sesungguhnya’ saat melakukan pemanjatan zigzag menuju Namche Bazaar (3,440 m). Selanjutnya pada 25 Maret 2007 dengan melalui biara plus memanjat sisi bukit, mereka bergerak menuju Phurtse (3,390 m) yang kaya akan bebatuan raksasa aneka warna di kawasan hutan cemara.

Setelah beristirahat dua jam di Thamo (3,493 m), perjalanan dilanjutkan menuju Thame dengan menyeberangi jembatan Sangu yang terbentang di atas sungai Thame Kola. Di lintasan sempit-terjal itu mereka direpotkan oleh rombongan dzopkyo (hewan blasteran banteng dan yak) pengangkut barang. Badan mesti benar-benar dirapatkan bahkan sedikit memanjat ke tepi sungai yang tegak lurus-curam itu untuk berjaga-jaga jangan sampai ada dzopkyo yang terpental ke dalam sungai.

Lembah Thame (3,820 m) yang tenang dengan hamparan ladang yang luas dipilih sebagai tempat bermalam sekaligus aklimatisasi, namun kecantikan lembah yang dikelilingi gunung-gunung tinggi bersalju itu begitu tampak nyata di pagi hari hingga Sieling memutuskan untuk menghabiskan sehari lagi di sana tanpa guide. Pada 27 Maret, tim melanjut perjalanan dengan menembus salju tebal menuju Marulung (4,210 m) yang tak seberapa jauh dari Thame. Pergerakan relatif santai, hanya saja deraan angin yang sangat kuat menyedot habis energi mereka. Setelah beristirahat secukupnya, langkah kembali diayun menuju Lungden (4,350 m) yang merupakan lembah terakhir sebelum mereka melakukan pemanjatan menuju Renjo La Pass. Sempat terjadi perdebatan sengit antara Sieling dan Sujan akibat informasi pemilik penginapan tempat mereka bermalam yang menyebutkan jalur menuju Renjo tertutup bagi umum sejak musim dingin lalu akibat hujan salju yang diikuti badai salju terus menerus terjadi hingga jalur pendakian tertutup timbunan materi es yang kian memadat itu.

Namun Sieling menganggap mereka telah sampai sejauh ini ditambah pula perlengkapan navigasi, suplai logistik [caption id="attachment_133472" align="alignright" width="300" caption="Berpose di samping 'signstone' (Dok Sieling)"][/caption] melimpah yang dibawa dari Indonesia, tenda-tenda kokoh, dan persiapan matang ditunjang semangat tim yang tinggi; jadi rugi banget kalau tidak mencoba untuk mendaki lebih tinggi. Dukungan Pasang senior akhirnya membuat Sujan menyetujui keinginan Sieling dengan catatan, itu dilakukan selama tak ada badai salju.

Tantangan berikutnya yang mesti diatasi Sieling di ketinggian 5,200 m adalah cairan yang keluar dari hidungnya mulai bercampur darah. Beberapa kali tanpa didahului gejala nausea atau sakit kepala, dia jatuh pingsan. Anehnya, setelah siuman Sieling justru tidak menyadarinya dan meski hal itu berlanjut, dia merasa seolah tak terjadi apa-apa. Hanya benjol di kepala yang membuktikan dia sempat berkali-kali pingsan. Rupanya AMS kembali menyerang wanita pendaki itu. Sujan memutuskan mereka harus bergerak naik secepat yang mereka mampu menuju puncak lalu turun kembali ke Gokyo. Terlalu lama beristirahat hanya akan memperburuk kondisi Sieling, apalagi di ketinggian yang berisiko tinggi itu, pasokan oksigen kian jauh berkurang.

Minum air hangat dan tidak panik adalah kiat meredam gejala AMS, pengalaman Sieling dalam ekspedisi sebelumnya membuat tim sudah membuat persiapan untuk menghadapi kondisi darurat ini. Jenjang pendakian yang sulit mesti mereka jejaki untuk mencapai Renjo. Pijakan sempit dan licin di sana-sini menjadi satu-satunya tumpuan kaki ditambah dinding-dinding tebing curam serta bidang panjat yang tak stabil adalah medan yang harus mereka lalui. Semangat mereka terpacu oleh fakta bahwa La Pass sudah di depan mata. Begitulah pada 29 Maret 2007, Sieling berhasil mengibarkan Sang Saka di Renjo La Pass (5,350 m). Sejarah mencatat bahwa merah-putih pertama kali ditancapkan di puncak itu pada tahun 2002 oleh Paimo, climber sekaligus biker dari klub Eiger-Bandung.

Ternyata bukan hanya Sieling yang terharu karena menjejakpuncak Renjo La Pass ternyata juga baru pertama kali itu dialami oleh Sujan,Bhimsen, dan Big Pasang. Sujan yang sudah tahunan menjadi pemandu wisata di area itu sampai berujar,”Inilah petualangan pertamaku.”

Di ketinggian puncak ke arah Timur, tujuan mereka selanjutnya Gokyo membentang cantik dengan hamparan danau Dudh Pokhari. Begitu juga gunung tertinggi di dunia Mount Everest (8,850 m) dengan Kalla Pattar dan Ngozumba Glacier-nya terlihat sangat menakjubkan dibingkai kebiruan langit yang cerah. Mereka beristirahat sejenak di Renjo sebelum beranjak turun untuk melanjutkan kembali perjalanan ke Gokyo (4,790m).

[caption id="attachment_133473" align="aligncenter" width="720" caption="Terbius kecantikan alam di tepi danau Dudh Pokhari yang beku (Dok Sieling)"][/caption]

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun