"Katakanlah: "Dia-lah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan, dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia". (QS. Al-Ikhlas : 1-4)
Setiap manusia adalah tuhan kata Nurcholish Madjid atau akrab disapa Cak Nur.
Menurutnya, setiap manusia memiliki sifat-sifat yang dimiliki Tuhan yang di dalam konsep keyakinan Islam diterangkan dalam Asmaul Husna (nama-nama baik Allah).
Pada diri manusia, kata Caknur, bila mencapai sifat-sifat ketuhanan, maka seseorang mampu membuktikan kebenaran Tuhan dalam ajaran Islam.
Pandangan Caknur ini tentu saja tidak sembarang pendapat. Caknur merupakan "begawan intektual muslim" yang hingga kini sulit dicari tandingannya.
Perenungan Caknur terhadap ide-nya memang bukanlah hal yang begitu baru. Khususnya dalam kajian filsafat dan sejarah Islam di nusantara.
Dalam sejarah Walisongo dimasa-masa penyebaran Islam di pulau Jawa, tersebutlah nama Syekh Siti Jenar. Siti Jenar merupakan Seorang sufi yang 'terbunuh' baik secara pikiran maupun nyawanya.
Pandangan Syekh Siti Jenar yang kontroversial tersebut bermula ketika dirinya menyatakan bahwa dalam diri manusia terdapat penyatuan antara manusia dengan tuhan.
"manunggaling kawula gusti" merupakan inti ajaran Syekh Siti Jenar. Secara singkat gagasan Siti Jenar meyakini bahwa penyatuan Allah (Tuhan) di dalam diri manusia merupakan esensi keberislaman seseorang.
Ketika umat mencapai tingkat ini maka dirinya bisa membebaskan dirinya dari solat, zakat, puasa dan berhaji.Sebab, kata Jenar, dalam tingkatan inilah seseorang sudah mencapai tingkat penyatuan diri (Makrifat) antara Tuhan dan dirinya.
Jenar juga berpendapat bahwa Allah itu ada dalam diri manusia, yaitu dalam budi (ketinggian moral/etika/kebaikan).